Rabu, 17 November 2010

Gajah Kebayoran On The Move... (Bagian ke-1)


--- Long weekend, H-7 Lebaran hingga H+14, musim Haji, liburan sekolah, Natal dan Tahun Baru, plus Harpitnas (Hari Kejepit Nasional) ---

Dalam kalender tahunan imajinerku, tanggal-tanggal penyusun holiday seasons di atas sudah lazim kutimpa dengan ujung spidol warna merah, kugoreskan garis silang di dalam bingkai angkanya. Tanda yang berarti "terlarang" itu sebagai reminder, bahwa pada momen-momen tersebut, aku kudu mengebiri berahiku yang suka “berselingkuh” dari bus-bus yang selama ini jadi sandaran ritual wira-wiri.

Aku demen berselingkuh !?

Sebagai penglajo rutin, menyandang gelar loyalis satu PO alias POmania amatlah menjemukan. Semakin lama berkubang di dalamnya, kurasai monotonitas ritme berikut derap iramanya. Dunia bus yang begitu luas serasa menciut, wawasan serta pergaulan sosial terbatasi.

Bahkan kalau tidak hati-hati, “ia” bisa membunuh obyektifitas ke-busmania-anku dalam menyorot PO-PO lain. Handicap dalam diri seorang buslover inilah yang sedapat mungkin kueliminir.

Tak bisa kupungkiri, di awal perkenalan dengan entitas komuter, aku terjerumus pandangan sempit, terjebak dalam lingkaran POmania. Mengenakan “kacamata kuda”, membabi buta men-judge “my bus is the best, no other is like it...”.

Jadilah pulang pergi bersama PO yang sama, yang beda hanya kode bodi. Duduk di kursi yang bentuknya serupa, yang beda hanya posisi. Kedai makan singgahan tahunya di situ, di sana atau di sini, yang beda hanya harga menu yang tersaji. Bertemu kru itu-itu saja, yang beda hanya panggilan diri. Koleksi tiket sampulnya seragam, yang beda hanya nomor seri. Pun saat menjalin hubungan dengan agen, dia lagi dia lagi, yang beda hanya lokasi di mana lapaknya berdiri.

Kalau ditanya orang soal PO lain, “Pernah naik bus itu, Mas?”, “Bagaimana rasanya?”, “Bagus tidak pelayanannya?” dan lain dan sebagainya, aku cuma bisa menggeleng. Malu rasanya. Selaku insan yang dengan bangganya mengaku busmania, tapi tak berkutik ketika dijadikan sumber referensi bagi yang membutuhkan.

Ah, apa seninya berkelana di jalanan kalau begitu?

Lagi pula, dahulu aku juga acapkali menelan “pil pahit” yang dihadiahkan bus kesayanganku. Nama indah sebuah perusahaan transportasi yang tertanam dalam relung sanubari tak serta merta menjamin bahwa PO itu akan selalu mendekatkanku pada puncak kepuasan. Nyatanya, dia seringkali tergelincir sebelum sampai pada tujuan yang kuasakan. Nothing is perfect, tak ada apapun yang sempurna…

Itulah “cubitan pedas” yang akhirnya mendukung premisku bahwa “Setiap bus menyimpan “berlian” yang berbeda, tinggal bagaimana aku mendulang kemilaunya”.

So, kian lengkaplah dalih yang menjustifikasi “ulah ketidaksetiaanku” pada PO tertentu. Aku lebih merdeka jadi penumpang kutu loncat, yang bebas terbang kemudian mendarat dimanapun, lalu pindah hinggapan kemanapun yang hendak kutuju.

Beruntung Rembang -- kampung halamanku – disinggung beragam trayek serta bus dari/ ke ibukota. Di saat aku bosan, misalnya, dengan satu PO “Plat K”, aku bisa melirik PO tetangganya. Ketika aku “overdosis” dengan armada Cepu-Jakarta, aku bisa mengobatinya dengan armada timur-an. Atau tatkala dibekap ke-bete-an menunggang yang direct line, aku bisa melawannya dengan berestafet, transit Semarang atau Blora. Yang demikian caraku mengakali trip 600 km tiap akhir pekan, agar semakin lama, citarasa “bersetubuh” dengan bus tak kian hambar.

Nah, rentang Oktober sampai dengan permulaan November, bagiku adalah wadah pesta pora perselingkuhanku.

Bagaimana tidak?

Setelah ditinggal berlalu Idul Fitri, sementara bulan haji, Natal dan pergantian tahun masih jauh menghadang, slottime ini begitu menyenangkan untuk dilalui. Inilah saatnya melakukan perburuan sensasi serta petualangan anyar “memeluk” bus yang belum pernah kucicipi “kehangatan”nya.

Sudah lumrahnya, okupasi bus-bus jarak jauh melorot -- khususnya untuk jalur Malang, Madura, Jember, Banyuwangi, Surabaya, serta Denpasar -- lantaran penumpang non-reguler menahan diri untuk bepergian. Imbasnya, bus-bus seolah menghiba raga, menjual jasa lebih murah, membanting harga agar tetap terbeli dan tentu, penumpang “numpang jalur” sepertiku pun dengan gembira ria diangkutnya. Merekalah yang memajang pesona, mencari simpati serta menebar bujuk rayu kepada calon penumpang. Bukan konsumen yang repot dan kepayahan mencari armada selayaknya pada saat musim ramai.

Keleluasaan dalam memilih bus, keunggulan nilai tawar, fare yang negotiable, adanya peluang buy one get one free (beli 1 tiket dapat 2 kursi), ditambah laba immateriil, yakni “the new advanture” dengan bus asing adalah keuntungan dari aksi coba-cobaku. Biarpun kantong yang kurogoh lebih dalam ketimbang ongkos dedicated bus ke Rembang, bagiku, tetep jauh lebih murah dibanding selaksa makna yang kuraih.

Pengalaman merupakan barang yang tak bisa dinilai cost produksinya, bukan?

Dalam upaya hunting sensasi dan experience seeking, aku menerapkan metode sederhana. Tak perlu nge-book tiket sebelumnya, cukup on the spot atawa go show saja. Datang langsung ke terminal, lihat-lihat, pilih bus, nego, naik, berangkat dan tinggal menikmati suasana on board. Itu lebih menantang adrenalin, menguji keberanian, ada pertaruhan nasib di dalamnya, serta efek harap-harap cemasnya begitu nendang.

Tak ada kamus “kecewa, dongkol, kesal, geregetan, muak, gondok dkk” sesudah perjalanan. Sepahit-pahitnya perjalanan di kamar kabin bus “baru”, tetap akan jadi cerita manis untuk dikisahkan. Beda dengan “luka hati” akibat perbuatan tak mengenakkan bus langganan. Yang demikian justru sayatannya lebih pedih, dan butuh tempo lama untuk penyembuhan.


1 komentar:

  1. Wow..

    dari ketidaksengajaan... ketemu blog baru... gila bener neh blog..

    BalasHapus