Rabu, 24 November 2010

Berujung Nelangsa (Bagian Ke-2)



21.05

Setali tiga uang, rute menantang sekaliber Plelen--Banyuputih-Subah bukanlah iming-iming yang mampu menumbuhkan gairah ragaku untuk menikmati perjalanan. Terlebih, semenjak keluar dari Rumah Makan Bukit Indah, Gringsing, hingga menyusuri Alas Roban, K 1744 BC nyaris tak bertemu lawan sepadan. Hanya Kramat Djati Old Travego yang diblacklist dari persaingan.

Aku juga heran, mengapa tak seperti biasanya, suasana malam itu begitu sepi?

Kurebahkan punggung jok buatan Rimba Kencana, merelaksasi diri dalam kesejukan hawa dingin yang dikondisikan oleh produk Thermo King generasi IV.

Suatu ketika, kurasakan bus tak bergerak sama sekali. Kubuka mata, mengedarkan pandangan sekeliling. Pufh...kendaraan yang tumpah ruah di jalan berhenti total. Penyakit Minggu malam-malam Senin!!!

Dari jauh, kulihat papan penunjuk arah dengan latar hijau; tertera dua jurusan, tanda panah lurus Losari-Cirebon, panah ke samping kiri Tol Pejagan-Purwokerto. Ini pastilah pertigaan akses menuju jalan bebas hambatan Pejagan-Kanci-Palimanan, yang mulut “gang”nya terhalang perlintasan kereta api. Pasca pengopreasian tol yang dikelola PT Bakrie Toll Road, spot ini merupakan sumber kemacetan baru di Pantura.

Posisi PO Bejeu berada di jalur kanan, menerobos batas separator, merenggut lajur 2 arah timur. Aksi menantang dan berbahaya, yang merefleksikan kelakuan adigang adigung adiguno entitas bus malam.

Satu persatu, lalu lintas yang berada di “rel yang benar” terurai, bergerak perlahan ke depan. Gelombang bus malam mengalun pelan, bercampur konvoi truk-truk barang diseling beberapa mobil pribadi. Terdengar peluit Pak Polantas memberi aba-aba kepada pemakai jalan, berusaha mencairkan keruwetan yang diakibatkan oleh ulah main serobot sopir-sopir yang tak sabaran.

Namun teganya, bus-bus yang menyusup dan terdampar ke wilayah yang bukan haknya tak diberi haluan sedikitpun oleh polisi. Di depan bus yang berkandang di Pengkol, Jepara, ini, tampak Bogor Indah berbodi Skania yang menempel Nusantara HS 217, sebagai pimpinan geng anak-anak bengal. Belum lagi, bus-bus yang di belakang Royal Platinum Class ini. Antriannya mengular.

Hampir 30 menit, bus-bus nakal seolah dihukum tanpa peradilan, tak boleh bergeser barang semeterpun. Sementara, di sisi kiri, arus kembali lancar. Bus-bus yang kloter pemberangkatannya di belakang Bejeu mulai melenggang mendahuluinya.

Duk...duk..duk...pentungan petugas dihantamkan pada lambung Galaxy Tentrem saat armada-ku berupaya menyorong Bogor Indah agar selangkah maju. Dan terdengar omelan korps baju coklat muda kepada orang dibalik kemudi.

Sebagai denda vonisnya, semua bus diperintahkan mundur untuk mencari putaran yang bisa mengembalikan ke jalur semula. Gara-gara perintah ini, gigi transmisi Bejeu dicantolkan pada “R” mode dan atret hampir 1 km. Benar-benar melelahkan...

02.15

Kulirik penanda waktu di sudut kiri atas. Duh...alamat telat itu keniscayaan. Idealnya, jam setengah dua-an, setidaknya bus sudah paripurna menuntaskan bentang ruas tol sejauh 70-an km itu.

Yang membuatku setengah terperanjat, bus yang melayani line Tayu-Pati-Pulogadung tak berbelok, namun lurus ke arah Cirebon, ingkar dari adatnya. Usut punya usut, ada paket yang harus di-unloading di Losari. Dan dugaanku tepat, bus akhirnya tersendat lagi oleh pembangunan flyover Gebang. Aku menyerah...hanya mukjizat yang bisa menghantarkan Bongkotan Jati Utama tiba on time di Pulogadung.

Aku terpejam kembali.

Sayup kudengar gaung azan subuh menyelinap masuk ke dalam ruang interior berkapasitas 40 seat. Kukucek mata dan terlihat di sampingku sebuah masjid besar. Samar-sama kubaca “Kecamatan Terisi” di plang identitasnya.

“Terisi...”. Sungguh, daerah yang bagiku "negeri antah berantah" dan pastinya, bukan terletak di jalan Pantura. Masuk wilayah Cirebon, Indramayu, Subang atau Majalengka-kah?

Kutunaikan sholat wajib “darurat” di atas bus dan selanjutnya meneruskan tidur ayamku.

05. 45

Cahaya mentari telah menyemburat, bertengger di atas cakrawala timur. Kabut tipis belum sepenuhnya sirna dari awang-awang. Di kanan kiriku, himpunan vegetasi dirajai oleh daun-daun jati berusia muda, bak permata hijau yang memijarkan pesonanya. Hujan semalaman menyisakan basah serta genangan di hamparan bumi.

Entahlah, aku tak tahu pasti ini di mana. Yang jelas, jalur alternatif, berkaca pada kondisi jalan yang sempit tanpa marka. Mungkin hanya kelas III. Rasa-rasanya, sejumlah bus yang aku naiki pernah melintas jalan ini, namun karena jam lewatnya tengah malam, sehingga membatasiku untuk mengenal lebih dalam kawasan ini.

Teppp...riuh bunyi kompressor AC di atap lorong tengah menghilang. Tak selang lama, suara itu hidup kembali dan kemudian mati lagi untuk selamanya. Kutekan louver di atas kepala, tak ada sedikitpun angin yang berhembus.

Ini tanda-tanda ada masalah di sistem pendingin udara.

Sahih! Pengemudi segera menepikan busnya dan meminta asistennya untuk mengecek ruang mesin. Tiba-tiba...tiittttt...bunyi alarm nyaring menyalak. Cepat-cepat, kunci kontak di-off-kan.

Jangan-jangan, itu sensor engine overheat bekerja. Pasti, tali AC dan radiator putus, tebakku.

Sembari menunggu pemeriksaan, para penumpang turun, mendarat ke tanah yang becek di tepian jalan. Beruntung, ada sungai kecil yang mengalir deras, sehingga ada tempat bagi yang ingin melaksanakan hajat kecil maupun besar. 13 jam berjibaku di dalam kendaraan, tentu bukanlah hal yang menyenangkan bagi mereka untuk ditolerir.

Di “buk” jembatan, terpampang prasasti “Jembatan Cikamurang-Sanca” yang sekaligus petunjuk bagiku bahwa inilah rute buangan Sadang-Subang-Cikamurang untuk menghindar dari siksa amburadulnya Pantura.

Di dekatnya, berdiri tiang tripmeter atau penanda jarak, bertuliskan “Subang - 32 km”.

“Aduh, ternyata Subang masih jauh,” kesahku sambil menghela nafas.

1 komentar:

  1. di jalur ini, tepatnya jembatan sasak bangke, saya terjungkal masuk jurang sasak bngke tengah malam jam 2 karena berpapasan dengan bus malam. jalan sempit , bus ugal ugalan serasa jalan milik sendiri. penumpang 10 orang termasuk saya, alhamdulillaah tak sedikitpun lecet apalagi luka. hanya mobil saja yang hancur. Daihatsu luxio. Jembatan yang angker. tempat buang mayit para bandit.

    BalasHapus