Kamis, 17 Maret 2011

“Barbar Kids” Rhapsody (5)


“Nderek Anto, Pak?” tanya Pak Wisnu setelah lampu sein kiri The Gold berkedip. Logis dengan apa yang diputuskan HM21, mengingat kendaraan yang njebur ke jalan lingkar tertahan dan naudzubillah karut-marutnya. (Ikut Anto, Pak?)

“Pak, Anto niku kliru, malah mlebet kota. Pun, medal lingkar mawon. Titeni, ingkang bener rak awakke dhewe.” jawab Pak Shantiko yang seakan haqqul yakin dengan pertimbangannya. (Anto itu keliru, malah lewat kota. Lewat lingkar saja. Ayo dibuktikan, yang benar pasti kita)

Ternyata, kemacetan di ringroad diakibatkan oleh terperosoknya truk tronton ke dalam sawah, dengan seperempat baknya mencaplok badan jalan. Patroli Jalan Raya pun memberlakukan sistem buka tutup.

Setelah masa tempuh terbuang 15 menit-an, antrian terurai. Saat berlomba-lomba adu start, Pahala Kencana divisi Kudus B 7600 PV plus B 7401 NL menekuk derap langkah bus yang dilengkapi handrail di kaca samping ini. Duet armada RG Pak Hendro Tedjokusumo itu tak tersaingi, lenyap menyelinap di keremangan malam.

“Mas, The Gold belum nemu jalur utama, tadi tak bisa lewat kota, dijagain polisi, dibuang kiri ke jalur lama. Malah matot.”

Datanglah kabar dari Mas Fathur saat busku menyalip Kramat Djati B 7265 IS, menyusul kemudian bus plesiran Yen Jaya di teritorial Suradadi. Aku pun pernah merasai “siksa” jalur lama yang dimaksud. Yang muternya jauhnya minta ampun, terlebih kondisinya rusak. Terbukti, Pak Anto kalah awu (abu) disandingkan Pak Shantiko. Hehe…

Faktanya, Barbar Kids menang ubet (lincah) dan lebih tajam insting penjelajahan wilayahnya. Sekarang trap klasemennya lebih unggul dibanding Sang Emas Marcopolo.

Lagi dan lagi, lawan-lawan dilampaui di seputaran Munjung Agung, Tegal. Tercatat Lorena LB-461 Purwodadi, bus wisata Gunung Sembung D 7995 AB, lungsuran Rosalia Indah yang digunakan untuk operasional Ponpes Nurul Huda, Handoyo AA 1689 CA serta Selamet Transformer K 1435 GA.

Penyakit akut malam Senin itu menyerang lagi. Kurang lebih 4 km menjelang pertigaan Pejagan, buntut traffic jam telah menjuntai. Pak Shantiko tak perlu repot-repot dalam berkelit. Dipandu Dewi Sri, berdua bergotong-royong merintis “jalan baru” dengan membajak jalur kanan. Hasilnya, lumayan memangkas waktu.

“Depan polisi, cepat cari putaran!” teriak sopir Sinar Jaya yang arahnya kres. Tak dapat dipungkiri, solidaritas antar sopir masih erat terjalin. Bisa berhemat, mereduksi pengeluaran dana mel-melan buat polisi.

Sayang, satu-satunya u-turn yang tersisa -- itupun lebarnya sempit, tak layak untuk dilintasi bus yang hendak pindah jalur -- justru telah dipasangi palang portal dari bambu, ditancapi rambu-rambu larangan serta dihalangi bongkahan separator jalan.. Mau tak mau, Pak Wisnu dan kenek Dewi Sri bahu-membahu, kerja bakti menyingkirkan kendala ini, seolah merekalah regulator jalan raya, seenaknya sendiri mengatur jalan. Hmm…tengah malam mendapat kerjaan dadakan di luar SOP perusahaan. Alangkah lucunya negeri ini?

Setelah maju mundur agar mendapat haluan, moncong Selamet mulai nongol ke jalur semula. Sialnya, beberapa truk tak mau mengalah untuk memberi kesempatan. Kesabaran di air muka Pak Shantiko tampak habis. Karena pembawaan nguyek factor-nya, beliau melakukan quick kick down terhadap tuas gas, alhasil memotong paksa langkah Hino FM 320 saat akan bergerak maju.

Karena dongkol, didukung watak temperamen serta tersulut emosi, sopir truk angkutan turun, dan menyumpahserapahi Pak Shantiko.
“Nek ra becus nyetir, rasah neng kene!!!” caci orang berpostur tambun kucel itu. (Kalau tidak becus nyetir, ngga usah di sini)


Dengan wajah dingin, tanpa ekpresi dan seakan-akan tak punya dosa, Pak Shantiko dengan santai tak menggubris ajakan adu mulut.

“Mbok sing sabar Kang. Opo susahe bagi-bagi dalan. Trimo nggowo bekakas thok mbok ngalah, aku iki nggowo nyowo…” kilah beliau dengan kalem. (Mbok yang sabar Kang. Apa susahnya berbagi jalan. Cuma bawa barang mati mbok ngalah, aku ini bawa nyawa)

Hihi…pasnya Pak Shantiko ini dijuluki silent killer. Tanpa banyak bacot, langsung menggebuk musuhnya hingga mati kutu.

Zzz…aku terkapar dalam peraduan.

Tersadar bugar kembali saat bus berlivery pemandangan Kota Pati tahun 3000 ini menginjak ranah Pangulah, Cikampek.

Kutelusuri letak jam digital di display ponsel, wow…04.38! Cepet juga rupanya, biarpun armada lawas. Semoga juga berkuasa mengejar waktu, agar aku bisa ontime menjejak kebun pencaharianku.

Kali ini, posisi kru telah bertukar tempat, steering wheel di bawah wewenang penuh Pak Koplak. (Maaf, saya tidak tahu namanya. Pak Wisnu memanggilnya dengan sebutan demikian.)

Rupanya, pola pergantian shift bagi driver yang dianut PO Selamet adalah ½ - ½, ingkar dari kebiasaan PO Muriaan, yang cenderung memakai aturan ¼ - ½ - ¼.

Dalam takaranku, masalah speed, pria yang selalu mengenakan peci ini “sadis” serta lebih on fire dibandingkan Pak Shantiko. Bus yang masa uji kirnya habis di bulan Juni 2011 ini seolah haus untuk sesegera mungkin menuntaskan akhir tripnya.

Baru sebentar melek, disuguhi aksi pengasapan terhadap Kramat Djati 7029, Sumber Alam 0306210 serta Santoso seri E.

Kealiman Pak Koplak memang tak dapat disangkal. Padahal koplak sendirinya maknanya gila. Hehe…

Di Jomin, sebuah masjid kecil di pinggir jalan disinggahi, memberi slottime bagi yang punya kewajiban untuk menunaikan, berbarengan dengan Shantika Galaxy Air Suspension chanel Ponorogo. Selesai sholat, kulihat Pak Koplak wirid begitu lama, menunjukkan kedalaman kadar religiusitasnya.

30 menit kemudian, lelaki yang yang sudah mendekati masa pensiun ini unjuk gigi di “nadi” tol Cikampek-Jakarta. Inilah sesungguhnya show off beliau.

Kelihaian memenej pedal akselerator serta memanuverkan kaki-kaki Don King berbuah prestasi manis. Dalam buku catatanku, tertera nama-nama yang dicoret dari medan percaturan. Mulai dari Sari Mustika H 1585 CA, Proteus HT 574, Sinar Jaya Petarukan, bus kesayangan Koh Hary, Madjoe Utama “Amanda”, Warga Baru 051, Santoso B, Sumber Alam 1710 EC, Sumber Alam 1530 BC, Agra Mas 2056, Sumber Alam 0203284, Santoso Seri X, Sumber Alam Panorama DX 37AC, Dewi Sri G 1422 GR, Mayasari Bhakti AC 121 Blok M-Cikarang, Hiba Utama 65 Evolution, Jackal Holidays D 7999 JH, Handoyo AA 1412 CA, Sumber Alam Bogor AA 1476 CL, serta sebagai pemuncaknya, menyalip Haryanto eks OBL, B 7588 IG.

Luar biasa bukan?

Aku pun me-request turun di Jatibening, lantaran gerbang pembayaran tol Pondok Gede Timur -- yang umurnya tinggal mengitung hari -- masih menjadi biang kemacetan utama arus kendaraan yang mengarah ke jantung kota.

Untungnya, aku langsung ditampani bus yang masih satu grup dengan Warga Baru, PO Walet Biru berkode 9701. Armada dengan trayek Cikampek-Tanjung Priok itu pun tak kalah gaya gedornya. Gocekannya dalam menembus kepadatan lalu lintas Senin Pagi mulai Jatiwaringin, Cawang hingga Rawamangun sanggup meruntuhkan kesombongan piranti kehadiran yang ditanam di lobi kantorku.

Tiga kali lagi putaran jarum menit menyentil angka delapan, aku telah lunas menyetor sidik jari ke sensor pembaca finger print, yang berarti pula, aku masih bersih dari keterlambatan di Bulan Februari.

Fabulous ending of my journey!!!

Bukan hendak memandang sebelah peran PO Walet Biru, namun respek dan rasa hormat ini seutama-utamanya kusanjungkan kepada PO Selamet, yang dengan perjuangan sengitnya menundukkan dominasi jarak sejauh 500-an kilo.



Wabil khusus kepada Pak Shantiko dan Pak Koplak. Di pundak mereka, sekedar “per gerobak” yang diramu dengan sedikit sentuhan nakal “barbar kids”, sebuah falsafah kuno “slaman slumun slamet” di-upgrade-nya menjadi “greget (semangat), ubet (lincah), cekat-ceket (tak buang-buang waktu) tur cepet (cepat)”, diselaraskan dengan dinamika zaman kekinian.

Andai aku seorang bule, I will say : “They aren’t only Barbar Kids, but they are Wonder Kids, too…”

T – a – m – a - t


7 komentar:

  1. Dalam setiap pulang atau pergi rembang-jakarta, apakah selalu mas didik rancang armada apa yg akan dinaiki dan disertai alasannya ? Apa pernah berangkat tanpa planing sama sekali ?

    BalasHapus
  2. Salam Blogger Rembang mas, kalau berkenan monggo gabung di Gerbang (Komunitas Blogger Rembang) mas, suwun.

    BalasHapus
  3. Salam kenal pak, ditunggu gabungnya di Gerbang (Komunitas Blogger Rembang). Matur Nuwun

    BalasHapus
  4. busmania freelancer18 Juli 2012 pukul 11.57

    tulisan barbar ini membuat saya jd pingin ngrasain naik selamet...padahal selama 2 tahun ini saya pulang pergi jkt - semarang setiap minggunya, tapi ga pernah naik selamet, saya terlalu dibutakan oleh kemewahan muria'an yg laen..hehehehhe.._saya busmania freelancer_

    BalasHapus
  5. Monggo, Mas, dicoba saja. Dunia bus tak selebar garasi Pu Nusantara, PO Haryanto atau PO Shantika. Hehe...PO dari Muria tinggal satu yang belum saya coba, Mas, yaitu Bay Megah. Semoga dalam waktu dekat terealisasir.

    BalasHapus
  6. Kalo baca capernya mas Edhi ini, serasa ikut dalam perjalanan naik bisnya.....
    Lanjutkan mas buat capernya....selalu ditunggu yang terbaru.......

    BalasHapus