Selasa, 04 Agustus 2009

Mengenang “Kakek Bangsa”, Mbah Surip

Mbah Surip(1)


Saat berkutat dengan angka-angka di meja, ditemani nyala TV yang sayup-sayup mendendangkan lagu “Tak Gendong”, tiba-tiba mata ini terbelalak saat melirik layar kaca. Entah siapa yang manteng saluran Trans TV sejak pagi, yang jelas saat itu sedang live in concert “Insert” (meski infotainment bagiku adalah slot sampah), memberikan tagname acaranya “In Memoriam Mbah Surip”.


 


“Lho, Mbah Surip meninggalkah?” tanyaku pada rekan kerja sebelah.


 


Justru dia terperanjat. “Kata siapa?”  jawabnya tak kalah kaget.


 


Seakan tak percaya, kubuka situs www.detik.com. Di  deadline berita tertera “Mbah Surip ‘Tak Gendong’ Meninggal Dunia”.


 


Innalillahi wainna ilaihi rajiun…Sesungguhnya kami adalah milik Allah, dan kepada-Nya-lah kami akan kembali.


 


Aku sendiri kurang mengenal siapa sosok Mbah Surip, sebelum jagad permusikan tanah air dipenuhi pelangi tembang “Tak Gendong”. Tergelitik rasa ingin tahu perjalanan hidup Urip Ariyanto – nama asli pelantun “Tak Gendong” --, kubolak-balik pages hasil googling dengan kata bantu “Mbah Surip”. Terlebih setelah wajahnya rajin menghiasi media tabung kaca, akhirnya lambat laun terkuak misterinya. Seorang kakek dengan dandanan yang nyentrik, berkostum ala kadarnya untuk tidak dibilang acak-acakkan, berambut gimbal hingga panjang sepundak dan berkupluk topi ala rasta, warna-warni merah, kuning, hijau. Gayanya pun khas, kocak, gokil dan bebas berekspresi. Kemana-kemana menenteng gitar kopongnya. Sebuah eksentrisitas yang mewakili jiwa seni di nadinya.  


 


Namun, bukan penampilan yang merenggut perhatianku. Justru, syair-syair lagu Mbah Surip yang polos, telanjang, spontan dan apa adanya, dibungkus dalam genre musik reggae Jamaika, itulah poinnya.  Dalam bait-bait tembangnya yang terkesan asbun (asal bunyi), ternyata menyimpan kedalaman makna. Menyimak lagu “Tak Gendong” atau “Bangun Tidur”, sungguh sarat ajaran filosofi hidup. Seperti lagu “Tak Gendong”, yang menurut Mbah Surip mengajak kita untuk belajar salah. Yang digendong boleh siapa saja, entah baik, nakal, galak atau jahat. Ibarat bis umum, tidak peduli siapapun penumpangnya, entah gelandangan, copet, pekerja, atau siapa saja. Mengendong adalah cerminan akhlak terpuji,  menolong yang jatuh, memberikan tumpangan bagi yang lemah, mengangkat yang sedang terjerembab untuk kemudian memuliakannya, tanpa pilah-pilih siapa yang akan dibantu.


 


Tak jauh berbeda dengan lagu “Bangun Tidur”. Lewat rangkaian syair sederhana, pria kelahiran Mojokerto  60 tahun silam ingin mengajak kita untuk bangkit dan berbuat sesuatu yang berguna, jangan terperangkap dalam kemalasan. Menjauhi  sikap ogah-ogahan, hanya mengisi waktu dengan tidur, tidur dan tidur. 


 


Hmm…mantep to?


 


 


Dan, yang tak kalah mencengangkan, kebintangan Mbah Surip bukan terbentuk dengan cara instan, tapi ditempa jalan panjang dan penuh liku. Tidak seperti artis karbitan, pria dengan “logat” ketawanya yang ngakak dan renyah, hah…hah…hah…hah…telah matang bergelut dengan dunia musik, dunia yang jadi pilihannya. Seniman jalanan pernah dilakoninya. Kehidupan yang pas-pasan pernah dikecapnya. Albumnya pernah dipandang sebelah mata oleh produser rekaman. Nomaden pun dijalani, demi pencarian ruang ekspresi bagi bakat seninya yang kental.  


 


Meski mengantongi gelar MBA dan pengalaman kerja di tambang minyak hingga overseas, tapi Mbah Surip tak mau mengingkari panggilan jiwanya. Nikmatnya kue dari hasil kerja yang mapan ditinggalkannya untuk berlabuh di komunitas seni Bulungan. Di wadah inilah Mbah Surip bertemu dan dihantarkan menuju dunianya. Darah seni semakin deras mengalir dan kian terasah ketajaman nalurinya, mulai bermain teater, melukis dan bermusik.    


 


Dan ketenaran yang direngkuh Mbah Surip sekarang adalah harga yang setimpal atas dedikasi dan sumbangsihnya dalam memberikan sentuhan moral dalam bermusik. Seluruh anak-anak bangsa, dari balita hingga orang dewasa, mulai petani hingga pejabat tinggi, dari anak pantai hingga orang partai, mengidolakan Mbah Surip. Lagu “Tak Gendong” meroket dan masuk jajaran  top hits tembang pribumi, menyeruak di antara album-album band anak muda. Dari awalnya hanya sekedar lagu tema iklan produk selular, “Tak Gendong” makin terlihat keperkasaannya. Siapa sangka, profit RBT (Ring Back Tone) “Tak Gendong” menembus angka 9 M dan Mbah Surip sendiri kecipratan 4,5 M. Berkah atas jerih payahnya.


 


Berada di puncak popularitas  tidak membuatnya berubah dan berulah. Mbah Surip tetaplah Mbah Surip. Dalam kesehariannya tetap sederhana, rendah hati, tidak haus pemberitaan, tetap tertawa lepas, tidak menjaga jarak, tetap mencintai para penggemarnya serta selalu low profile. Bahkan, tokoh sekelas Emha Ainun Nadjib yang sekaligus karibnya menahbiskan bahwa Mbah Surip adalah prototipe manusia Indonesia sejati, yang tidak pernah merasa susah, tidak pernah gelisah, tidak pernah sedih dan selalu tertawa; meskipun sering diledek orang, Mbah Surip tetap tertawa, tidak pernah dendam atau membalas balik dengan ledekan serupa. 


 


Pernah satu saat, ketika ditanya apa keinginannya dengan nominal rupiah yang melimpah, penghobi berat kopi ini dengan bergurau menjawab, membeli helikopter. Bahkan, sempat terlontar angan-angannya untuk bernyanyi duet dengan Manohara, selebritis dadakan yang lahir dari rahim cerita pilu Istana Kelantan.  Mbah Surip tidak serta merta gagap materi atau gila harta.  Tetap kocak dan gokil dalam memberikan pernyataan. Entah serius atau hanya sekedar banyolan, tidak pernah nyambung antara pertanyaan dan jawaban. Hingga ada pemeo, “Kalau tidak nyambung berarti Mbah Surip, kalau nyambung, justru bukan Mbah Surip”. Itulah magnet Mbah Surip.


Namun, suratan takdir tak dapat dilawan. Hari Selasa ini (4/8), jam 10.30, Gusti Allah memanggilnya. Kakek empat cucu yang lagi moncer-moncernya di tengah aula pesona popularitas berpulang.  Belum full menikmati buah dari tetesan keringat, nyawanya telah berpisah dari raga. Tak ada yang menyangka. Jutaan pemujanya seakan belum siap kehilangan. Di saat fans berharap lebih dengan lahirnya album berikutnya hasil olahan tangan dingin Mbah Surip, justru Mbah Surip telah berpuas diri dengan capaian yang telah dibangunnya. 


 


Saat kulongok account FB-ku, status facebookers dijejali ucapan belasungkawa. Media massa tak henti-henti mewartakan pernak-pernik kisah hidup Mbah Surip sebelum meninggal. Di mana-mana, tema obrolan tak jauh membicarakan kiprah hidup almarhum. Carut-marutnya alam politik, ricuh hasil pilpres, ketidakpastian hukum dan masih abu-abunya pengungkapan kasus bom JW. Marriot II seakan berhenti berdenyut, ditenggelamkan kabar ke-fenomenal-an Mbah Surip.


 


Bahkan, RI 1, Bapak SBY pun menyempatkan menyampaikan rasa duka cita mendalam, mewakili kesedihan seluruh rakyat republik ini. Tak lupa, calon presiden jadi 2009-2014 ini memuji dan mengaku bangga, bangsa Indonesia dikaruniai sosok pribadi nan jujur, lugu, penuh keteladanan dan bersahaja seperti yang ditunjukkan Mbah Surip. Mbah Surip adalah milik bangsa Indonesia.


 


Belum genap setahun Mbah Surip mengharu biru langit persada nusantara dengan mengusung atribut musikalitas yang atraktif dan easy listening, disempurnakan dengan keluhuran budi serta laku keseharian, namun sudah cukup bagi Mbah Surip untuk ditinggikan derajatnya sebagai legenda musik tanah air.


 


Selamat jalan Kakek Bangsa, engkau telah tunai “menggendong” amanat sebagai khalifah bumi. Nama kondang, tingkah polah, gaya  unik dan karyamu nan agung akan selalu lekat di sanubari anak-anak bangsa. 


 


I Love You…Full, Mbah Surip...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar