Selasa, 05 Januari 2010

Obituari Gus Dur; Mangkatnya Wali Pluralisme dan Demokrasi



Menjelang penghabisan kalender lunar 2009 yang tinggal menyisakan dua hari lagi, di ambang detik-detik pelampiasan euforia ritual dalam menyambut pergantian tahun, di tengah carut marut pengungkapan dugaan centurygate yang menyeret Menkeu Sri Mulyani dan Wapres Boediono, serta launching buku “Membongkar Gurita Cikeas” hasil pena GJ Aditjondro yang menusuk orang-orang dalam lingkaran istana, lembayung senja 30 Desember mengabarkan warta mengagetkan.

-- Gus Dur telah berpulang… --

Innalillahi wainnailahi rajiun… sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya-lah kami kembali.

Bumi nusantara meradang, air mata ibu pertiwi menitik. Duka itu begitu mendalam, mengguratkan kesedihan yang tak terperi di hati rakyat Indonesia. Sisi logika membungkam keniscayaan, bahwa setiap yang bernyawa pasti akan ditimpakan kematian. Seakan bangsa ini tidak mau legowo menerima titah penguasa alam. Figur Gus Dur yang masih sangat-sangat dibutuhkan untuk mengawal perjalanan demokrasi yang mulai berlari-lari kecil dari sebelumnya lumpuh, telah paripurna menyempurnakan ke-khalifahan-nya.

Bagiku sendiri, yang tumbuh dan besar di “entitas sarung-an”, Nahdlatul Ulama (NU), nama Gus Dur lekat terpatri dalam lubuk sanubari, mendarah daging. Ibaratnya, NU dan Gus Dur adalah satu kesatuan tunggal yang tak bisa dipisah-pisahkan. Bicara tentang NU, sama saja membicarakan Gus Dur, begitupun sebaliknya. Bagi warga nahdliyin, Gus Dur tak ubahnya wali, superman, yang selalu ditunggu wejangan-wejangannya, diteladani tindak tanduknya dan diharap karomah dan keberkahannya. Kunjungan cucu pendiri NU ini ke daerah-daerah untuk menebarkan ceramah-ceramah pencerahan tak pernah sepi, selalu dibanjiri santri-santrinya. Karena mereka menahbiskan, Gus Dur adalah ulama nomor wahid dan ulama adalah penerus para nabi.

Masih ingat ketika jaman kuliah di Kota Gudeg akhir 90-an silam, dan kala itu sedang musim kampanye parpol menghadapi Pemilu 1999. Mendengar berita Gus Dur hendak jadi jurkam partai yang dibelanya, demi mewujudkan obsesi lamaku untuk melihat Gus Dur secara langsung, aku pun menyamar menjadi partisan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Padahal belum tentu partai bintang sembilan itu jadi pilihan suaraku. Kenekatanku hanya semata ingin mendengar guyonan khas ala Gus Dur, bukan retorika politiknya, yang konon pasti tersentil di setiap acara yang menghadirkan Gus Dur. Berbekal kaos partai dan motor Grand Impressa-ku untuk show of force keliling Jogja, arak-arakan berhenti di Stadion Kridosono, tempat kampanye dipusatkan.

Dan perkiraanku tak meleset. Dalam kampanye terbuka tersebut, setelah sesi Matori Abdul Jalil (alm) berkoar-koar membujuk massa, gantian Gus Dur memberikan orasi yang menyengat konstituen agar nanti mencoblos partai yang saat itu mendapat nomor urut 35.

Dalam orasinya, Gus Dur menyampaikan ke-jenaka-an yang bernas saat menjewer partai-partai lain yang meng-klaim dirinya partai orang NU.

Kurang lebih Gus Dur berujar, “ NU itu ibarat ayam, PKB adalah telurnya dan partai lain adalah t*inya”. 

Tidak penting untuk dibahas maksudnya yang jelas-jelas eksplisit, namun demikianlah cara Gus Dur meneguhkan pendapat dan pandangannya. Mencubit tapi yang dicubit tidak merasa tercubit.

Banyak sikap dan kebijakannya yang sifatnya menentang arus, yang ujung-ujungnya menuai protes, pro dan kontra dan terkesan ambigu. Karena memang Gus Dur dilahirkan sebagai orang yang menentukan jalan hidupnya sendiri, meski pilihannya sulit diterima oleh orang yang berpandangan sempit. Di antaranya kedekatan dengan Perdana Menteri Israel, Simon Peres, de-politisasi ulama dengan mereposisi NU agar kembali ke khittah-nya, statemen tentang Megawati adalah pemimpin perempuan masa depan, ucapan “assalamu alaikum” boleh digantikan selamat pagi, kasus Buloggate dan Bruneigate, penolakan terhadap TAP MPR yang melarang ajaran komunisme di Indonesia serta gagasan agar mantan presiden Soeharto diadili, hartanya disita dan selanjutnya dimaafkan.

Gus Dur seakan dihadiahkan kosmos jagad raya sebagai pemimpin bagi bangsa Indonesia. Konstelasi tiga kutub kekuatan politik yang berseberangan pascapemilu, yakni kubu orba, pihak islam, dan para nasionalis pendukung presiden wanita kian menajam. Tanpa bersusah payah, tanpa perlu mencari dukungan, terlebih lobi-lobi tingkat tinggi, Gus Dur lah sosok yang tepat, zero risk, diterima semua golongan, serta paling kecil tingkat resistensisnya sehingga sejarah mengangkatnya sebagai presiden RI ke-4, kendati awalnya Gus Dur menolak dicalonkan Namun, itupun cuma sebentar duduk di tampuk kepemimpinan RI I, karena lagi-lagi aksi kontroversialnya yang susah dipahami anggota dewan yang akhirnya meng-impeachment dari jabatannya.

Justru, singkatnya waktu saat menakhodai kapal MV Indonesia Tercinta menelurkan banyak jasa demi kemajuan iklim demokrasi dan pluralisme di ranah persada. Mulai menghapus status tahanan politik eks PKI dan keturunannya, suaka bagi kaum minoritas etnis Tiongha dengan diakuinya agama Konghucu sebagai agama resmi, hingga mengapresiasi tinggalan budayanya seperti perayaan Imlek dan pergelaran Barongsai.

Tak dapat dipungkiri, peran Gus Dur sangat luar biasa dalam membangun fondasi masyarakat sipil, toleransi kehidupan beragama, multikulturalisme, dan humanisme universal. Perannya begitu sentral dalam meng-goal-kan tujuan berdirinya republik ini. Sekat-sekat primordial didobrak, fundalisme ajaran tertentu digugat, protokolisme dan sakralisasi lembaga kenegaraan ditebas, serta image pesantren adalah simbol ke-konservatif-an umat Islam disulapnya, berganti paham pluralisme, inklusivisme, egaliterisme dan modernisme.



Sosok Gus Dur menggoreskan warna cerah gemilang di atas kanvas demokrasi, mengukir indah jejak-jejak peninggalan pemikiran tentang kebebasan, kemajemukan dan keberagaman, menebarkan aroma harum makna dan hakikat ke-bhineka-an dalam bingkai toleransi, menguncup-mekarkan de-formalisasi warisan feodalisme serta meninggikan derajat dan kiprah umat Islam di kancah politik yang sejak negara ini berdiri berbaju sekuler.

Seribu satu talenta tertanam dalam raganya yang ringkih. Namun, dalam kesempitan halangan fisik, terkandung samudra jiwa nan bersahaja dan sederhana. Bukan sekedar kyai ataupun ulama, beragam gelar baik yang bersifat official maupun non-official, cendekiawan muslim, intelektual-moralis, politikus, budayawan, kolumnis, analis bola, pengamat film, guru bangsa, tokoh pemersatu, pengayom kaum minoritas, ketua ormas terbesar keagamaan di tanah air, hingga RI-1 digenggamnya.

Dia tak hanya duta Islam, dia milik semua anak bangsa, lintas agama, lintas suku, lintas budaya, lintas ras, lintas profesi, lintas strata ekonomi serta lintas generasi. Semua berhak merasa memilikinya, meski terkadang kita kurang dewasa dan cenderung ke-kanak—kanak-an dalam menilai ucapan, kebijakan dan sikapnya yang kita pandang kontroversial.

Namun, kini Gus Dur tinggal kenangan. Bunga-bunga rampai pesona Gus Dur menghias langit Indonesia. Sepak terjangnya, guyonan segar lagi cerdas, sikap dan ucapan kontroversial, aksi jurus maut dewa mabuk dalam menghadang “lawan-lawan” politiknya, ceramah intelektual nan mencerdaskan, tausiyah-tausiyah yang menggugah serta gagasan briliannya tak akan lagi ada. Membuat kita termangu, bahwa sebenarnya kita belum siap ditinggal pergi Gus Dur.


Belum tentu 100 tahun mendatang akan lahir insan fenomenal selevel Gus Dur.

Selamat jalan Gus…Engkau boleh pergi, namun torehan jasa bhakti, pengabdian dan sumbangsih perjuanganmu tak akan pernah pergi dari buku catatan perjalanan bangsa ini.

2 komentar:

  1. Kepada Yth.
    Bapak Didik
    Di tempat

    Dapatkah Bapak memberikan nomor kontak Bapak yang dapat saya hubungi? Saya Shinta dari The Wahid Institute, kami ingin menggunakan tulisan Bapak di atas dalam buku kami yang akan diluncurkan bertepatan mengenang dengan 40 hari Gus Dur.

    Saya tunggu balasan Bapak secepatnya.

    Terima kasih

    BalasHapus
  2. Maaf Mbak Shinta, saya baru sempat membalas. Sudah seminggu ini saya ada di luar kota.

    Nomor saya di 0811946374.

    Dengan senang hati saya mengijinkan andai tulisan saya bisa mengisi buku yang akan Mbak Shinta terbitkan.

    BalasHapus