Selasa, 24 Maret 2009

Ferry Johan, Menyalurkan Hobi sebagai Profesi

Bagi sebagian orang, berprofesi sebagai pengemudi bis masih dianggap sebagai pekerjaan kasar, rendahan dan paksaan, karena tiada pilihan hidup yang lebih menjanjikan. Seringkali istilah sopir diakronimkan “ngaso mampir” (jika beristirahat pasti mampir), seolah demikianlah kelakuan dan tabiat negatif para pemburu rejeki di atas roda. Stigma miring ini semakin membuat pekerjaan duduk di belakang kemudi dipandang sebelah mata dan dijauhi. Padahal, dilihat dari sisi tanggung jawab dan skill, semestinya sopir bis mendapat kedudukan yang terhormat dan mulia, layaknya pilot pesawat udara, nakhoda kapal laut mapun masinis kereta api.


 


Namun tidak demikian bagi Ferry Johan, sopir bis Bejeu K 1744 BC yang penulis temui sedang membawa armada kebanggaannya, Galaxy Tentrem, melayani trayek Pulogadung-Jepara, Hari Jumat (20/03) kemarin. Anak Betawi ini justru bangga, penuh dedikasi dan total menjalani profesi sebagai sopir bis. Meski berijazah sarjana teknik elektro dari salah satu perguruan tinggi di Semarang, tak menghalangi niat mantap dan tekat bulatnya terjun dalam dunia bermain stir kemudi. Baginya, meliuk-liuk di antara kerumunan lalu lintas dengan kendaraan yang dibawanya mendatangkan kenikmatan tersendiri. Mengantarkan penumpang dengan selamat, aman dan tepat waktu, adalah tantangan yang mengasyikkan


 


“Saya dari kelas empat SD sudah bisa membawa mobil Mas. Itu sebuah tuntutan. Dahulu ibu saya punya bisnis catering. Ketika SMP, saya sering mengantar ibu berbelanja di pasar sehabis shubuh. Saya tidak takut kena tilang Mas, karena Bapak saya polisi. Hahaha…” ungkapnya sambil tertawa, membuka rahasia mengapa dirinya jatuh hati mengemudikan kendaraan.  Dari sinilah, pria kelahiran 32 tahun silam ini terobsesi dan bercita-cita kelak menjadi sopir profesional.


 


Sewaktu duduk di bangku kuliah, Mas Ferry sering mengisi waktu senggang perkuliahan dengan menjadi sopir tembak truk-truk angkutan barang.  Apalagi pria ramah ini mudah bergaul, sehingga banyak teman-teman kenalannya. Bila ada yang membutuhkan pengemudi, tak jarang dia sering mendapat tawaran. Bukan sekedar uang yang dicari, tetapi tujuan utama adalah menyalurkan  hobi  tercintanya.


 


“Jujur saja, saya ini berasal dari keluarga berada. Semua kebutuhan dicukupi orang tua. Tapi sebagai anak pertama, saya tak mau hanya menengadah tangan. Saya ingin mandiri dan merasakan betapa susahnya mencari duit.”,imbuhnya bijak. 


 


Meski pernah bekerja di kantor, tangan gatalnya tak bisa menahan berlama-lama berstatus karyawan swasta. Ijazah pendidikan baginya bukan sarana untuk mendapatkan pekerjaan, melainkan  selembar bukti bahwa dirinya telah memenuhi kewajiban menuntut ilmu.


 


“Saya sempat ditentang keras bapak dan ibu Mas, melihat anaknya hanya menjadi sopir. Untung, kehidupan keras di jalanan mendidik saya menjadi laki-laki yang tegar, memegang teguh prinsip dan keras dalam pendirian. Terlebih, istri saya berlapang dada menerima suaminya bergaji pas-pasan, jauh dari pendapatan orang kantoran. Sehingga saya semakin yakin, kebahagiaan hidup datang saat saya mengemudi dan bisa menafkahi keluarga,” papar ayah dua anak ini berterus terang. 


 


Pria yang sekarang tinggal di Kudus ini baru dua minggu bekerja di PO Bejeu. Semenjak lulus kuliah, Mas Ferry telah malang melintang, mengembara menjalani profesi sebagai sopir bis. Awal pertaruhan hidupnya dimulai dari salah satu PO pariwisata dari Kota Kudus. Dua tahun membawa bis charter-an, kemudian pindah ke PO Gajah Asri Raya. Di sini kemampuan dan keterampilannya membawa bis terasah dan semakin piwai. Berkali-kali dia ditugaskan membawa bis dengan tujuan Sumatra.


 


“Saya pernah mengemudikan bis hampir 20 jam tanpa berhenti. Sewaktu saya engkel membawa bis menyeberang hingga Sumatra”. Sebuah rekor pencapaian yang sampai saat ini masih dipegangnya.   


 


“Setelah Gajah Asri Raya semakin redup, nasib saya juga kian tak menentu Mas. Kadang seminggu tak pernah sekalipun membawa bis, sementara kebutuhan hidup tak bisa menunggu. Saya memutuskan keluar, meski sebenarnya berat. Dengan pengurus, mandor dan kru-kru, saya sudah sehati dan seperti saudara sendiri. Tapi ini masalah pencaharian Mas, jadi saya harus berketetapan meninggalkannya setelah lima tahun dibesarkan Gajah Asri Raya”, curhatnya.


 


“Alhamdulillah, saya menemukan dunia yang hilang setelah bekerja dua minggu di Bejeu. Manajemennya bagus, kesejahteraan lumayan dan kita-kita merasa diayomi nasibnya.” jelasnya, meski dia masih butuh waktu untuk dipercaya memiliki bis batangan sendiri. Saat kemarin, Mas Ferry menjadi sopir kedua, berduet dengan pengemudi utama Mas Supri “Prenjak”, diasisteni Pak Salimun sebagai kenek.


 


“Meski pendapatan seorang sopir hanya kecil dan berat dijadikan tumpuan hidup, saya akan tetap akan mengemudi bis Mas, selama saya masih kuat dan mampu. Bagi saya, profesi sopir bispun tak kalah prestise. Akan saya buktikan, bahwa sopir bis adalah pilihan profesi yang patut disejajarkan dengan pekerjaan lain, bukan pekerjaan murahan dan asal-asalan.”, janji pria yang selalu tampil modis dengan jaket kulit, kacamata hitam, sepatu kulit licin dan model rambut gaya dangduter ketika mengemudi, menutup pembicaraan.


 


Siapa berani mengikuti jejak Mas Ferry Johan ini?


ferry

4 komentar:

  1. Salut, menikmati pekerjaan karean hobinya, sambil berusaha memperbaiki citra pekerjaan tersebut. Sekali duduk, rawon dan es teh pun masuk ke perut ;-)

    BalasHapus
  2. 1000 : 1 orang yang punya keberanian seperti Mas Ferry ya Kak Faizi...

    BalasHapus
  3. Betul, Mas Didik. Pilihan pekerjaan, meskipun itu "berat" di mata "orang awam", tetapi tetap juga dilawan demi hobi dan niat baik. sekali lagi, salut.

    BalasHapus
  4. TAPI SAYANGNYA BANYAK YANG UGAL-UGALAN...
    MUNGKIN BAGUSNYA ADA SEKOLAH KHUSUS SOPIR
    SEMMISSAL A.S.I..= AKADEMI SOPIR INDONESIA GITU LHO,
    BIAR SOPIR JUGA BISA TERANGKAT MARTABATNYA MACAM PILOT AND MASINIS..HE..HE..SETUJU GAK MAS DIDIK ?

    BalasHapus