Selasa, 24 Maret 2009

Perlukah Kampungku ber-Mini Market?

indomaretPenghujung Bulan Februari silam, perhelatan grand opening sebuah minimarket waralaba di kampung-ku digelar. Sebuah paket belanja yang dikemas dalam modernitas pasar, dengan taste swalayan. Ruang interior nan nyaman dan berpendingin udara, berhias paras ayu pramuniaga, semakin me”menjarakan” pembeli betah berlama-lama, menjelajahi setiap sudut ruangan, memilah milih item barang yang ditawarkan. Pengunjung dari pelosok dusunpun rela berdesak-desakkan ikut nimbrung mencicipi kemewahan sebuah minimarket. Kurang jelas alasannya, memang sengaja berniat belanja, sekedar cuci mata atau hanya menuruti gengsi agar derajat sebagai orang desa terangkat.


 


Jangan bayangkan kampungku kota hidup serta maju secara peradaban, dengan ketersediaan berbagai fasilitas setaraf perkotaan. Hanyalah kota kecamatan kecil, dengan demografi mata pencaharian mayoritas penduduk adalah bertani, yang menyandarkan hidup di lahan-lahan tadah hujan. Iklim panas, krisis air bersih dan tanah tandus adalah sahabat  yang mesti diterima dengan lapang dada oleh masyarakat Sulang. Sekian puluh tahun  melawan ganasnya alam pesisir, yang entah sampai kapan perjuangannya akan berakhir. Tinggal di daerah pinggiran, beristana bilik bambu, panen padi (seringnya) sekali setahun dan menjalani hidup bersahaja adalah potret keseharian mereka. Kalaupun ada kasta yang “sedikit sejahtera” adalah kaum pesantren, golongan priyayi, abdi negara dan  pebisnis lokal, yang mendiam di jantung kecamatan. 


 


Bangunan superior itu berdiri “megah” di antara jajaran toko-toko milik perseorangan yang sederhana di tepi jalan Rembang-Blora. Baik sederhana dalam hal barang yang dijual maupun sederhana dalam pengelolaan. Ketimpangan wajah di antara keduanya mengemuka. Pasar tradisional di seberang jalan-yang selama ini jadi tumpuan hidup dan penggerak roda ekonomi-, siap mendapatkan pesaing baru. Secara historis, toko-toko kecil dan pasar rakyat  sebenarnya cukup menunjang sebagai penyedia bahan kebutuhan hidup sehari-hari warga, bahkan semenjak Sulang berdiri. Hebatnya, dari buah transaksi yang intens, terjalin kedekatan antara empunya toko dan pelanggan, sehingga untuk menyebut nama toko cukup menyebut nama pemiliknya. Misalnya toko Pak Mursyid, warung Jami’an atau kios Kaji Faqih. Sesuai kultur suku Jawa yang mengagungkan hubungan antar personal.  


 


Dengan kehadiran pendatang baru Indomaret, lambat laun peta belanja dan omzet perdagangan Sulang akan terkoreksi. Bangunan ekonomi yang telah tertata, mendapat tambahan kamar baru yang lebih bersih, praktis, cepat dan pasti dalam bertransaksi. Perilaku hidup perlahan berubah, teriming-iming  pandangan konsumerisme dan gaya hidup serba instan. Terjadi pertaruhan budaya yang telah mapan dengan budaya baru yang ekspansif menjual nilai kelebihan kepada masyarakat. Genderang perang bisnis ditabuh, mencari siapa yang akhirnya bertahan dan siapa yang tersungkur.  Tak ada tepo seliro, apik-apikkan aten, sungkan-sungkanan atau  sama rasa sama rata ketika kaki telah berpijak ke rimba belantara bisnis.


 


Yang jelas, kerajaan bisnis-baik yang dikendalikan pihak asing maupun domestik-mulai merangsek ranah ekonomi kerakyatan warga Sulang. Bisnis retail bukan lagi monopoli usaha kecil, tetapi sah-sah saja diseser pedagang bermodal besar. Bisnis milyaran rupiah direngkuh, bisnis eceran dicaplok. Warung-warung kecil ketar-ketir, jangan-jangan saat dibukanya gerai modern ini umur usahanya tinggal menghitung hari. Ungkapan “setiap usaha punya rejeki sendiri-sendiri, semuanya sudah ada yang mengatur” mulai goyah dipegang.


 


Berkaca dari realita kontemporer, geliat gurita konglomerasi bisnis hypermarket mulai mencekik pasar tradisional di kota besar. Minimarket, yang merupakan kepanjangan tangan bisnis hypermarket sendiri, booming dan menjamur hingga tumbuh di tengah perumahan hingga penjuru daerah, membuat tak sedikit toko-toko kecil megap-megap dan akhirnya gulung tikar. Usaha yang sekian tahun dijalankan meradang, tak kuasa menghadapi pertempuran dalam berebut kue profit. Tak ada wasit, protektor atau pembela, semua bertarung bebas di ring kancah bisnis. Tak ada pembagian kelas teri, kakap maupun hiu, semua tumplek blek, bergelut bergulat agar dapat melanggengkan kiprahnya.  Dengan bargaining power dan rantai bisnis berskala nasional, minimarket franchise mampu menggolakkan pasar dengan harga yang lebih murah. Ibarat duit koin, di satu sisi menguntungkan pembeli, di sisi yang lain membonsai peran pedagang tradisional yang bermodal pas-pasan. Dapat mudah ditebak siapa pemenang seleksi alam dalam evolusi industri bisnis.   


 


Tak ada yang salah, itulah hingar bingar dunia bisnis.


 


Semestinya ada jaminan perlindungan terhadap ekonomi rakyat dari pemangku kebijakan. Dalam Undang-Undang Dasar diamanatkan bahwa visi dan misi perekonomian negara adalah kerakyatan. Andai kita cerdas dan bijak,  kita perlu belajar sekali lagi dari krisis keuangan 1998. Siapa biang keladi krisis yang meluluhlantakkan perekonomian bangsa? Dan siapa yang tumbang duluan tertampar petaka moneter?


 


Robohnya imperium-imperium konglomerasi kala itu adalah fakta nyata. Sosok kerajaan bisnis yang didirikan di atas pondasi rapuh tumpukan utang, kelimpungan menghadapi jerat krisis. Sampai detik inipun, pemerintah nampaknya belum juga bangkit dari kesadaran, bahwa menyelamatkan sektor modern dengan cara all out seperti yang terus dilakukan selama ini mengandung konsekuensi yang teramat riskan. Pemerintah masih terobsesi dan selalu disugesti seakan-akan hanya dengan sektor modern itulah bangsa berdaulat ini dapat kembali bangkit dari keterpurukan.


 


Padahal terdapat kekuatan yang luar biasa yang justru telah menyelamatkan negeri ini dari kebangkrutannya, yaitu ekonomi rakyat. Secara statistik, perekonomian bangsa ini seharusnya sudah ambruk pada periode krisis (1997-1999), yang menunjukkan tren yang terus memburuk. Tapi, kondisi "sekarat" itu hanya terjadi pada sektor-sektor yang memang mampu tercatat dan terefleksikan dalam angka-angka statistik. Di luar angka-angka itu, sesungguhnya ekonomi rakyat masih menyimpan potensi, kehandalan dan daya tahan yang sangat besar.


 


Akankah pemerintah masih terus-menerus menutup mata dan tutup kuping terhadap eksistensi ekonomi rakyat? Kiranya sejarah telah membuktikan, bahwa memuja dan memanjakan sektor modern secara "membabi-buta" hanya akan menghasilkan konklusi akhir yang menyedihkan, yang rasa pahitnya tidak hanya dikecap oleh sekelompok orang, tetapi seluruh komponen bangsa. Pengabaian ekonomi rakyat dan sektor tradisional menjadi boomerang bagi kebijakan yang salah arah.


Ah…tiba-tiba bayangan liar menyeruak dalam angan-anganku. Aku tidak boleh tergagap-gagap, andai besok di selatan balai desaku berdiri outlet ayam goreng KFC untuk bersaing dengan ayam Kang Kamdani, di branglor dimasuki Alfa Mart untuk menghadang laju PD Barokah Lestari, di pojok perempatan dibangun Carefour karena iri dengan bisnis “gurem” warung Mbah Ndori atau di Tapaan nangkring Hugo’s Cafe untuk merebut pelanggan setia kopi lelet Cak Neri.


Tiba-tiba…


“Pa, beliin Naura icecream ke Indomaret…!”, rengek manja bidadari kecilku.


Gubrak…!!!  

5 komentar:

  1. Mas,boleh kirimin saya gambar foto Indomaretnya,karena pengen tahu aja,dan gambar diatas kurang gede,thanks yah Mas...

    BalasHapus
  2. Hmm...kapan-kapan kalau sempat saya ambil potret lanskap swalayan modern tersebut di tengah pertokoan tradisional. :)

    Terima kasih kembali sudah berkunjung.

    BalasHapus
  3. wah...sampean jan pinter nulis...bahasanya itu lho...opo sampean novelis ? cerpenis ? sastrawan...aku pengin copy darat...merdayoh nek nggone sampeyan...angsal mas ? Pengin ngangsu kawruh..he..he..

    BalasHapus
  4. hayah...sampeyan bisa aja.

    aku bukan apa-apa kok mas, cuma orang biasa yang lagi belajar nulis. ngga punya basic apa2 selain hobi membaca.

    ya monggo kalau mau maen ke rumah...:)

    BalasHapus
  5. aku juga punya temen asli sulang ( skr di Yogya ) namanya Akim ( Muhammad Jauhar Al Hakimi ) ..mungkin sampean kenal mas ?

    BalasHapus