Selasa, 24 Maret 2009

Srambang (2)

Perjalanan ke Srambang Ngawi (2)


Saat Tekad dan Aksi Nekat Berjabat Erat


 “Ma, aku berangkat ke Srambang ya, Mama dan Naura ngga usah ikut.”, pintaku sewaktu berpamitan, selepas waktu dhuhur saat telah tiba di rumah Bulik di daerah Karangasri, Ngawi. Memang sih, rencanaku berubah. Mulanya aku pengen mengajak keluarga, tapi mendung gelap di sisi selatan Ngawi dan kerepotan istriku membantu persiapan acara keluarga, membuatku me-revisi planning awal.


 


Setelah permit terucap, kupacu kendaraanku ke  jantung kota Ngawi untuk menuju ke arah Sragen. Hanya solorun, sorangan wae. Setelah lampu merah perempatan Kertonyono, kupelankan laju si Aquablue, karena aku bersiap berbelok ke arah kiri, menyusuri jalan ke arah Kec. Jogorogo. Sebuah papan penunjuk jalan ke arah Paron, -daerah yang dilalui jalur menuju Jogorogo-, aku temukan. Dapat juga akhirnya jalan utama menuju lokasi air terjun Srambang. Jalannya relatif mulus dan lebar meski kontur tanah agak bergelombang. Suasana lalu lintas juga sepi, karena hujan gerimis sedari tadi turun, sehingga membuat malas orang untuk bepergian. Hawa gunung yang sejuk segar mulai terasa. Di kejauhan tampak Gunung Lawu kokoh membenam di permukaan bumi. Mendung gelap beringsut pergi, meski hujan kecil tidak juga kunjung berhenti. Untung, kabut di atas gunung masih tipis, sehingga guratan lereng Lawu masih jelas tertangkap di relung mata. 


 


Selepas Paron menuju Jogorogo, jalan mulai menyempit. Pemandangan di kanan kiri jalan dipenuhi areal persawahan padi yang sedang menguning dan kebun tebu rakyat yang sedang tumbuh mengisi, pertanda daerah ini subur dan mendekatkan berkah bagi para petani. 1



Sampai akhirnya tiba di pusat kota Kecamatan Jogorogo, yang hampir berjarak 25 km dari Kota Ngawi. Cukup jauh juga. Jalan yang mulus berakhir di pertigaan Pasar Jogorogo. Di sini aku sempat bingung, kok tidak ada plang nama petunjuk ke arah Srambang. Akupun bimbang, apabila lurus, jalannya berkualitas murahan, hanya beraspal curah, bukan hotmix lagi, sedang belok ke kiri (sesuai papan petunjuk) adalah jalur alternatif ke Maospati. Coba berspekulasi ambil jalan lurus, percaya saja sama instingku.


 


Mulai dari sini, medan mulai berat, naik turun penuh kelokan tajam. Apalagi kondisi jalan yang rusak, penuh lubang akibat perbuatan air hujan dan mengelupasnya aspal jalan, membuat kendaraan semakin kesulitan untuk melaju. Jalur ini tepat berada di tengah-tengah perkampungan yang (maaf), istilah kami ndeso, jauh dari hingar bingar kehidupan modern. Rumah-rumah wargapun sangat sederhana dan wajah-wajah penghuninya bersahaja.


 


Dalam batinku, “Kok tidak sampai-sampai ya, padahal kaki Gunung Lawu sudah kudaki.” Bahkan timbul keraguan, jangan-jangan bukan jalan ini yang dimaksud. Malu bertanya, sesat di jalan. Itulah peribahasa yang tepat bila aku terjerumus oleh sikap sok tau. Akhirnya aku bertanya kepada pemilik warung makan kecil-kecil di pinggir jalan. “Inggih Mas, leres niki redine. Kirang langkung 4 km malih,” ujar seorang kakek. (Iya Mas, benar ini jalannya. Kurang lebih 4 km lagi).



Kulanjutkan kembali perjalanku. Ah…mengapa aku tidak membeli penganan di warung kakek tadi? Belaiu sudah banyak membantu, semestinya aku berterima kasih dengan cara membeli jualannya. Duh…menyesal, ternyata aku belum ngeh cara halus untuk membalas budi. 


 


Jalanan semakin parah, sempit dan terjal. Ditambah hujan yang turun semakin deras, seakan mencurahkan semua isi langit. Ugh…kalau hanya untuk bersenang-senang, pasti akan kuputar balik kendaraanku menuju Ngawi. Bagiku, daerah ini terlalu asing dan serasa di ujung dunia. Buat apa sengsara seperti ini?


2


 


But…apa yang kulihat di depan? Hore!!! Empat buah medium bus PO Widji Lestari membawa rombongan anak-anak SMP di Tuban siap berpas-pasan denganku. Pasti mereka perjalanan pulang dari Srambang. Hehehe…masak aku kalah sama anak-anak sekolah.


 


Akhirnya tiba di satu perempatan jalan dengan tugu kecil, monumen kelompok persilatan Setia Hati Teratai, di tengahnya. Alamat bingung kembali. Celingak celinguk, tak ada arah petunjuk ke arah air terjun Srambang. Bertanya lagi kepada ibu-ibu penjaga warung kelontong. “Belok ke kiri Mas, 100 m lagi,” jelasnya. “Ya ampun, gimana orang mau ke Srambang, papan penunjuk jalan dan penanda lokasi air terjun Srambang aja ngga ada. Belum lagi jalan yang amburadul, pasti orang malas untuk berkunjung”, gumamku.


 


Setelah membayar pass masuk sebesar Rp5.000,00 untuk mobil (mahal bener ya???), langsung turunan tajam menghadang. Jalan aspal telah berakhir, yang tersisa hanya jalan makadam. Kuparkir kendaraanku di sebuah rumah penitipan, yang di dalamnya tampak beberapa buah motor pengunjung. Segera kukunci sambil berpesan kepada pemilik rumah untuk menjaganya. Tapi herannya, Pak Penjaga Mobil ini orangnya cool, jaim banget dan jauh dari keramahan. Hanya ngomong ketika ditanya, itupun hanya satu dua patah kata.


 


Buktinya, ketika aku tanya,


 


“Pak, air terjun masih jauh?”


“Masih”


“Seberapa jauh Pak?”


“Pokoknya jauh Mas.”


 


Duh…kalau sudah bilang ‘pokoknya’, susah deh…Sudahlah. Semoga itu hanya karakter dia saja, bukan keseluruhan masyarakat Srambang.


 


Namun, apakah sikap demikian yang seharusnya ditunjukkan kepada orang yang baru pertama hendak menginjak bumi Srambang?  Jadinya memberi kesan kepada pengunjung bahwa Srambang hutan larangan dan penuh misteri.


 


 


Hujan mulai reda, meski masih gerimis kecil. Untung, di dalam mobil tersedia payung, sehingga banyak membantuku agar nantinya tidak berbasah-basahan dengan air hujan. Kukembang piranti pelindung hujan, bersiap-siap memulai petualangan baru.

2 komentar:

  1. markaz pandhoe wiratha20 Mei 2010 pukul 03.06

    Lokasi Mas Didik di Karangasri? Berarti dekat dengan Pak Giy (Sugianto TU SMP Negeri 1 Pangkur)?

    BalasHapus
  2. Yang di Karangasri itu bulik saya Mas, kalau gubuk saya di Rembang, kurang lebih 100 km dari Ngawi.

    Waktu itu hanya dolan saja ke Karangasri, terus kepikiran buat menjelajah alam Srambang.

    Jadi tidak sempat berkenalan dengan Pak Giy. hehe...

    BalasHapus