Kamis, 14 Mei 2009

Barang Bawaan Makan Tuan

Apa alasan utama jalur Jakarta-Madura tetap gemuk, di saat penumpang Malang, Surabaya atau Denpasar surut karena himpitan LCC (Low Cost Carrier) pesawat udara serta keenganan penumpang didera derita kerusakan jalan pantura yang seolah tiada berujung? 


Tak dapat dipungkiri, orang Madura berjiwa petualang, senang bepergian. Terlebih bagi perantau di ibukota, hubungan batin dengan tanah tumpah darahnya tetaplah kental. Minimal sebulan sekali mereka siap berkorban menempuh jarak 800-an km demi menuntaskan kerinduan bertemu keluarga di daerah asalnya. Karena orang Madura kebanyakan bekerja di sektor informal, sehingga waktu bukan masalah mendasar bagi mereka. 


Tentu saja, ritual pulang kampung bukan sekedar setor badan, namun tak ketinggalan pula barang bawaan yang seabrek-abrek jumlahnya. Tidak aneh, bila satu penumpang bisa membawa sejumlah kardus, karung, ataupun pallet yang berisi oleh-oleh, bingkisan berharga atau barang titipan tetangga buat sanak saudara di desa asalnya. Bisa jadi dalamnya adalah hasil bumi, bahan pangan, lembaran sandang atau piranti elektronik. Bahkan sepeda pancal pun tak sungkan-sungkan dibawa, seakan di Pulau Madura tak ada toko sepeda. 


Keunikan inilah yang diendus operator bis yang membuka jalur ke Madura. Tidak perlu armada gres, model karoseri nan menawan, ruang kabin bersih dan smell good, jok empuk, kelengkapan selimut atau style driver yang speedfull. Cukup kebijakan PO tersebut untuk bersedia meng-ekspedisi barang apa saja selama masih bisa memungkinkan terangkut, dengan “akad” dengan kru,  free of charge


Coba sesekali naik bis Madura. Ruang bagasi sisi kanan dan kiri, rak gantung kabin, bawah kursi atau space kecil di depan toilet sarat barang-barang bawaan. Bahkan, pernah ada joke dari salah satu kenek bis Madura, andai di atap bis di-instal roof rack seperti bis-bis trans Sumatra, pasti bis itulah yang paling laris ke Madura.  


Kisah lucu “Barang Bawaan Makan Tuan” ini saya dapatkan saat ngobrol ringan dengan kenek bis Pahala Kencana (PK) Tanjung Priok-Bangkalan, bermesin Hino RG model Panorama DX Laksana, yang saya naiki ke Surabaya untuk mengikuti acara factory visit ke Adi Putro. Panorama DX


 


 


 


 


 


Menurut penuturan Mas Ahmad (kenek PK), kala itu dia ditugaskan meng-asisteni armadanya dengan tujuan Sumenep, kabupaten paling ujung timur Pulau Madura.  Ceritanya, ada penumpang (sebut saja Mat Jai) hendak pulang ke Bangkalan. Tiket yang dipegang cuma satu, tapi barang bawaannya bejibun, belasan kardus berukuran besar dan kecil, yang entah apa isinya. 


“Sampeyan turun mana Cak,” tanya Mas Ahmad saat menata barangnya di bagasi samping kiri.


“Bangkalan-e Cak,” jawabnya.


“Sampeyan barangnya banyak bener, mau pindahan ya Cak?”, sindir kenek asli Pemalang ini.


“Ah, ndak Cak, ini kan titipan tetangga-tetangga saya di sini, buat keluarga di Madura,” jelasnya. 


Berhubung ruang bagasi hanya sedikit tersisa, barang-barang Mat Jai dijejal-jejalkan ke dalam bagasi, saling terpisah dan bercampur dengan barang penumpang lain. Yang penting bisa termuat. 


Singkat cerita, setelah menempuh perjalanan sekitar 18 jam, berhentilah armada HT 519 ini di satu daerah menjelang Bangkalan sesuai request Mat Jai. Waktu di ambang shubuh, karena bis diberangkatkan dari Tanjung Priok jam 10.00 pagi, hari sebelumnya. Sebagian besar penumpang bertujuan ke kota-kota setelah Bangkalan, seperti Tanah Merah, Blega, Sampang, Pamekasan serta Sumenep dan Mat Jai adalah penumpang pertama yang turun. 


“Cak, barangnya mana saja?” tanya Mas Ahmad sesaat setelah pintu bagasi dibuka.


“Ini…ini…ini…ini…ini…Cak,” sambil telunjuknya mengarah barang yang dimaksud. 


Dengan sigap, 5 kardus Mat Jai diturunkan oleh Mas Ahmad. 


“Mana lagi Cak?” tanya Mas Ahmad kembali, karena dia ingat barang bawaan penumpangnya ini banyak. 


“Hmm…mana yo Cak, lha kok aku lupa. Gini ini kalau barang titipan!” gerutunya sambil terdiam.


“Lho… gimana sampeyan ini Cak! Kok barangnya ndak ditandai?,” sergah Mas Ahmad dengan setengah kaget. 


Mat Jai hanya membisu, terus mengamati barang-barang yang menumpuk di bagasi sembari berupaya mengingat-ingat barang bawaannya. Tapi tetap saja hasilnya nihil, karena ada kardus lain-lain yang berukuran dan bersampul hampir serupa. 


Tak sabar menunggu, Mas Ahmad masuk kembali ke dalam dan melaporkan masalah tersebut kepada sopir. 


“Waduh…gimana lagi!” timpal Pak Sopir. 


Seketika itu pula, lampu kabin besar dinyalakan Pak Sopir sehingga suasana di dalam bis terang benderang. 


“Maaf Bapak, maaf Ibu, terpaksa mengganggu. Bagi yang membawa barang di bagasi, untuk turun. Ada penumpang lupa barangnya. Tolong, barang bawaan Bapak Ibu dititeni (dicermati) sendiri, biar tidak tertukar oleh orang Bangkalan yang mau turun!”, perintah Pak Sopir sambil menahan kekesalan.


Para penumpang yang lagi asyik-asyiknya tidur langsung membuka mata, karena silau oleh cahaya dan mendengar aksen suara Pak Sopir yng agak meninggi. Riuh rendah suasana di dalam kabin, merespon permintaan Pak Sopir. 


Bo…abo…dok re mak tak iye. Nak-enak tidur, lha kok disuruh rus ngurus barang…!” begitu gerutuan salah seorang ibu yang “menitipkan” barang di bagasi, sembari beranjak dari tempat duduknya. 


Alhasil omelan dan celotehan para penumpang dialamatkan kepada Mat Jai, saat satu persatu barang mereka di”sensus ulang” oleh Mas Ahmad ketika mencari barang-barang bawaan Mat Jai. 


Gara-gara Mat Jai lupa barang bawaan, seisi bis kena getahnya.

1 komentar:

  1. wah...sama kayak orang bugis pas naik kapal ya mas..apa aja di bawa..mulai panci, kompor, bantal, dsb.pokoke komplit..

    BalasHapus