Senin, 04 Mei 2009

Sate Kerbau, Manifestasi Nilai Toleransi

[gallery columns="2"]

Dalam perjalanan pulang ke Rembang selepas acara “BMC for Nusantara’s 41 Anniversary”, tiba-tiba terbesit keinginan untuk “mengenal” sate kerbau. Semenjak dulu aku mengincar menu eklusif ini, dan belum lega hati kalau belum kesampaian. Pasti cocok dijadikan menu makan siang kali ini. 


 


“Pak, dekat-dekat sini yang jualan sate kerbau di mana?”, tanyaku pada petugas parkir Toserba Matahari, saat menjemput anak dan istriku di tempat penitipan sementara tersebut  sewaktu aku tinggal pesta potong tumpeng di Pool PO Nusantara, Karanganyar, Kudus. 


 


“Kalau siang, di seberang jalan ada Mas, cuma biasanya jam segini sudah tutup. Ada satu lagi, warung Maju, di dekat stasiun.”, jelasnya. 


 


Yup, Warung Makan Maju adalah target buruanku. Tak perlu bersusah payah, kedai kuliner Maju (singkatan dari 57) berhasil kutemukan. Sebuah warung kecil dan sederhana, terjepit di antara jajaran kios-kios toko di sepanjang jalan stasiun. 


 


“Pesan sate 2 porsi ya, Bu!”, pintaku kepada pemilik warung Maju, setelah duduk di kursi. 


 


Kota Kudus sendiri sangat mengagungkan dan mengeramatkan hewan sapi. Meski mayoritas penduduknya memeluk agama Islam --yang menghalalkan daging sapi --, tapi masyarakat Kudus terlanjur tunduk dan patuh melaksanakan pesan suci Sunan Kudus. Pesan salah satu Wali Songo tersebut adalah pelarangan menyembelih hewan sapi demi menghormati tradisi ajaran Hindu. Sate kerbau adalah pengejawantahan sikap toleransi dan menjunjung nilai pluralisme antar umat beragama. Dari sekedar wejangan, akhirnya seolah menjadi “dalil shahih” yang dipegang erat, meski sekarang pemeluk agama Hindu di Kudus adalah kaum minoritas. Hingga sekarang, tidak ada tukang jagal sapi dari Kudus, karena “takut” kena tuah “kata larangan” Sunan Kudus. Jangan harap di kota ini akan mudah menemukan menu makanan berbahan sapi, karena telah disubstitusi oleh daging kerbau. 


 


Tak lama berselang, sate kerbau siap dikudap. Melihat cara penyajian maupun setelah mencicipinya, memang beda dengan sate sapi atau sate kambing. Lazimnya, sate berasal dari daging mentah yang dibakar langsung. Namun untuk sate kerbau, daging dijadikan dendeng, yakni dimemarkan, dihaluskan untuk selanjutnya dibumbui dengan racikan jinten, ketumbar, bawang putih dan gula, kemudian dibalutkan di tusuk satenya. Tanpa treatmen demikian, pasti daging kerbau akan alot. Hasilnya, tekstur daging jadi lembut dan halus di lidah. Sedang bumbu satenya adalah gilingan kacang tanah dan srundeng (parutan kelapa yang disangrai). Hmm…unik memang bumbunya. Nasi putih dihidangkan di atas piring yang dilembari daun jati. Mengingatkan cara penyajian sate srepeh, Rembang dan sate jagal, Blora. Untuk rasa pedas, kita bisa menambahkan sambal uleg atau mencomot cabe rebus yang disediakan. 


 


“Kalau aku ngga suka Pa, terlalu manis bumbunya.”, begitu testimoni istriku setelah mengecapnya. 


 


Yah…kalau menurutku sate kerbau lezat dan goodtasting juga . Maklum, darah yang mengalir dalam nadiku adalah paduan asam di gunung (alm. ibu asli Jogja) dan garam di laut (kampung bapak Pati). Mau citarasa pedas khas pantai utara ayuk…mau manis ala masakan gunung no problemo


 


Dibanding sepiring soto kerbau yang “hanya” setara enam lembar uang seribuan, harga 10 tusuk sate lumayan “mengerdilkan” isi kantong. Situasi ekonomi yang tidak menentu, melambungkan harga seporsi sate kerbau mencapai Rp.12.000/ porsi. 


 


“Sakniki sekilo daging kirang langkung seket ewu, sakwisipun BBM mundhak. Kepekso, kulo kedah mundhakke regi sadean sate kebo meniki, Mas!”, pasrah si Ibu seakan bergargumentasi sewaktu aku membayar. (Sekarang satu kilo daging kerbau kurang lebih 50ribu, setelah BBM naik. Terpaksa, saya harus menaikkan harga jual sate kerbau ini, Mas) 


 



Namun bagiku, dalam usaha pencarian menu masakan langka dari bumi nusantara, apalah arti nilai rupiah.   Hehehe… 

 

Salam kuliner!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar