Senin, 18 Januari 2010

Café Trio-G, Ikan Bakar feat Degan Bakar Ala Pesisir Rembang

Kalau bukan karena dua akhir pekan terakhir aku sekeluarga meng-klik kedai ini untuk menunaikan ritual makan siang, tentu tak ada keistimewaan yang perlu diwartakan.

Di pertengahan jalur Semarang-Surabaya, tepatnya di Desa Kalipang, Sarang, -- kota kecamatan di ujung paling timur Kabupaten Rembang -- ada satu warung makan berkonsep kampung di atas air, dengan menu andalan berupa ikan bakar dan kelapa muda (degan) bakar. Letaknya persis diapit jalan pantura dan Laut Jawa, berseberangan jalan dengan kompleks masjid kuno peninggalan Wali Blitung. Sebagai tambahan, menurut cerita getok tular yang beredar di masyarakat setempat, artefak monumental ini dibangun oleh seorang wali dari Pulau Belitung. Dan tempat peribadatan ini adalah masjid pertama yang berdiri di daerah Sarang, yang tahun pembuatannya bertuliskan 1484 M, seperti yang tertera pada tugu prasasti.

Sebelum membahas soal menu, bicara tentang letak geografis kedai makan yang dinamai Café Trio-G, posisi ini jelas mendatangkan kelebihan. Bisa difungsikan sebagai tempat rehat saat perjalanan, sembari menikmati semilir angin laut dan view debur ombak bentangan Laut Jawa, memandang hilir mudik kendaraan sambil memantau kondisi lalu lintas, tentunya kalau mau berwisata sejarah dengan mengunjungi Masjid Wali Blitung, dalam kemasan wisata kuliner ikan bakar.




Tema kampung di atas air nyata saat kita memasuki ruang makan, berupa saung-saung dengan struktur rangka dari bahan kayu kelapa (glugu), beratapkan rumbia padi, yang “nangkring” di atas areal tambak kepunyaan Bu Yuyun, nama pemilik café ini. Kalau beruntung, saat menyantap makanan yang disajikan, kita bisa menyaksikan ikan bandeng yang bermunculan di permukaan air. Di kanan kiri, nuansa alam diisi hamparan tambak bandeng dan udang, diseling vegetasi pohon nyiur dan hutan bakau serta kampung nelayan yang tertata rapi. Mengesankan sebuah warung makan lesehan yang sederhana namun cukup asri dan nyaman, kental dengan nuansa alam pedesaan daerah pesisir.
Karena kemasyhuran lokal akan menu ikan bakar dan degan bakar, kedua “obyek jualan” inilah yang aku pesan. Untuk jenis ikannya bisa kita pilih mulai ikan kerapu, baronang, bawal atau kakap. Meski dalam daftar menu yang disodorkan kepada pengunjung, bukan hanya terbatas sajian andalan di atas. Selainnya ada ikan goreng, cumi bakar/goreng, udang bakar/ goreng, ayam bakar/ goreng atau menu sederhana, semisal mi rebus atau mi goreng. Sedangkan, untuk minumannya, tidak banyak macamnya. Di luar degan bakar atau degan original, cuma disediakan teh manis, jeruk manis atau minuman ringan lainnya.

Tidak perlu menunggu lama, ikan bakar terhidang. Aromanya begitu menggelitik hidung, disebar hembusan angin laut yang kencang mendera kami saat itu. Terlebih cara penyajiannya menggunakan peralatan makan tradisional, yakni piring bambu yang dilembari daun pisang dan cobek tanah liat tempat sambal dihidangkan, semakin menggugah selera makan penyukanya.


Ikan kakap bakar berlumur bumbu kecap hasil racikan rempah-rempah nusantara, begitu menggoda untuk dicicipi. Untuk sambal disediakan dua pilihan, disesuaikan dengan kemampuan indra pengecap, yakni sambal terasi nan pedas mengguncang lidah serta sambal kecap manis yang ditaburi irisan bawang merah, buah tomat dan cabe rawit. Sebagai lalapannya, terdiri dari mentimun, kol, kacang panjang dan daun kemangi. Nasi putih yang pulen serta hangat, begitu klop sebagai penyempurna sajian makan siang kali ini. Sebuah sajian sempurna yang layak dimasukkan khasanah kuliner kota garam, Rembang. Mantap tenan…

Diiring buaian musik nostalgia dalam versi dangdut koplo yang pelan mengalun dari piranti audiotainment, saat daging ikan singgah di mulut, begitu lembut dikunyah dan bumbunya benar-benar meresap. Dicocolkan dengan sambal terasi, sensasi pedasnya luar biasa tersurat. Dengan sedikit semburat tipis rasa asam dari jeruk nipis, semakin menggenapi cita rasa masakan ala pesisir ini. Tidak aneh bila sepiring nasi akan kurang menuntaskan nafsu makan, bila terlewatkan untuk “nambah” lagi.

Menurut penuturan salah satu pramusaji, ikan-ikan yang dimasak bukan ikan sembarangan. Bukan ikan produk tangkapan (menawur) para nelayan, melainkan hasil pancingan dari pulau-pulau karang yang tersebar di pantai Sarang. Konon, tekstur dan cita rasa ikan karang ini lebih unggul dibanding ikan sejenis dari tangkapan di lepas pantai. Dan itulah jawaban mengapa ikan bakar café Trio-G ini spesial, rasanya beda dengan warung makan kebanyakan yang menyediakan menu serupa. Pantas saja, Naura-ku begitu lahap menikmatinya, padahal anakku yang masih semata wayang ini agak susah bersentuhan dengan daging, termasuk ikan.



Usai menyantap, tenggorokan yang tersekat dilancarkan dengan bantuan degan bakar yang menggiurkan. Dicampur jahe dan susu, air kelapa mudanya begitu sedap, hangat dan segar ketika direguk. Daging buahnya yang kenyal dan gurih, membuat siapapun akan ketagihan untuk mencobanya kembali. Proses pembakarannya sendiri membutuhkan waktu dua jam, dengan bahan bakar kayu atau arang, agar didapat degan bakar yang benar matang-matang. Ada anggapan, khasiat minuman isotonik alami ini multifungsi. Selain menjaga stamina dan vitalitas tubuh, degan bakar bisa membantu menurunkan kadar gula darah, mengurai kolesterol dalam darah, menormalkan otot yang pegal-pegal, mengikis asam urat dan men-detoksifikasi racun-racun yang tak berguna di dalam tubuh.

Apakah perlu mengocek rupiah dalam-dalam untuk menebus menu extraordinary café Trio-G, yang “G” sendiri diambil dari huruf terdepan ketiga anak Bu Yun, Galih-Gilang-Galang?

Jawabanya bisa terlihat dari jumlah pengunjung. Warung ini jarang sepi karena selain dikenal enak dan lezat, harga adalah poin lebih berikutnya. Dijamin ramah di kantong, takkan rugi untuk membayar kemewahan rasa yang ditawarkan. Seporsi ikan bakar yang cukup untuk disantap dua orang dewasa, termasuk paket nasi dan lalapan serta tambahan dua biji degan bakar, hanya perlu dikonversi dengan empat lembar uang sepuluh ribuan.


Sungguh tawaran yang menarik, bukan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar