Rabu, 27 Januari 2010

Pahala Kencana; “Anak Tiri” Menggugat! (1)


Catatan Perjalanan : It’s not Slowtime (2)
Pahala Kencana; “Anak Tiri” Menggugat! (1)

“Minggu mau naik apa, Pa?”
“Pahala aja ya, Ma, yang dekat rumah. Kasihan mama kalau mengantar ke terminal Rembang”

Wajar saja istriku bertanya begitu. Karena aku benar-benar bokek, dan bersandar penuh pada belas kasihnya untuk mensubsidi penuh biaya perjalanan tugasku kali ini. Alasanku lebih memilih Pahala Kencana (PK), selain tidak ingin merepotkan mama-e Naura yang tengah berbadan dua, sebenarnya ada agenda tersembunyi. Keingintahuanku yang begitu besar untuk kenal lebih dekat wajah Ombak Biru sekarang. Seingatku, terakhir kali naik PK Bojonegoro, pascabanjir bandang meluluhlantakkan jalan pantura timur Jawa Tengah, dua tahun silam.

“Ini Pa buat beli tiketnya. Jangan lupa, nanti sore pas jemput ibu mampir ke agen Pahala”, pesan pendampingku saat mem-bailout kondisi dompetku yang benar-benar koma.

Dalam perjalanan berdua dengan putri kesayanganku menuju Padangan (Bojonegoro) untuk menjemput simbah putrinya, kusempatkan diri singgah di agen PK Kota Sulang.

“Mbak, pesen tiket Pulogadung buat besok!”
“Eksekutif apa VIP, Mas”
“Beda harganya berapa, Mbak?”
“Yang eksekutif 130 ribu, beda 30 ribu dengan VIP”

Sip…Masih cukup. Baru saja diinjeksikan dana segar senilai 150 milyar…eh ribu. Tapi, kupikir-pikir, tak enak ah…mentang-mentang gratis maunya kelas premium.

“VIP saja kalau begitu, Mbak”

Inilah rencana terselebungku. PK divisi Kudus --yang membawahi trayek Bojonegoro-- akan kujadikan bahan penggenap kesimpulanku, tentang benar tidaknya 99% bus malam sekarang adalah bus banter.

Menurut kacamata-ku sebagai pengguna bis mingguan, PK divisi Kudus bak anak tiri di keluarga besar Pahala Group. Menatap skuad Bojonegoro, Lasem dan Bangilan yang eksis, semakin mempertegas anggapanku. Hanya bus-bus lawas, mengandalkan Hino RG serta Mercy Intercooler, sekian tahun tanpa pembaruan mesin. Kalaupun ada geliat, hanyalah ganti baju, re-painting atau make-over, dengan jahitan karoseri sekelas Tri Sakti atau Tri Jaya Union.

Hati ini terbakar api cemburu dipameri kecepatan jelajah bus divisi Malang, melihat New Marcopolo-nya Bandung, mendengar kabar big buy unit MB OH 1525 chapter Jakarta atau ekspansi trayek lintas pulau PK cabang Jogja. Bagiku, semua itu barang mahal yang bisa didapatkan dari tubuh PK Kudus.

Sementara pesaingnya dari Lereng Muria makin wah dan jor-joran menggolakkan peta persaingan. Meski pasar penumpangnya sudah banyak digerus PO-PO kemarin sore, PK terkesan adem ayem dan cenderung bermain aman. Padahal, dari divisi Kudus-lah si pembawa hoki, lahan pesemaian awal tumbuhnya gurita bisnis salah satu operator PO terbesar di Pulau Jawa ini.

Ah, tanpa ada pembuktian, buat apa aku selamanya berasumsi miring begitu. Besok sore, armada VIP Pulogadung akan kuhadirkan sebagai saksi ahli, benarkah PK Kudus sudah mengubur dalam-dalam paradigma lama, sebagai bus lelet dan hanya nyaman untuk perjalanan keluarga, tak bisa diandalkan komuter mingguan untuk memangkas waktu?

Pukul tiga Minggu sore, kutunggu kedatangannya. Tak sekalipun berani membayangkan yang datang nanti adalah Proteus OH 1525 lungsuran divisi Malang atau PK Kudus meminjam bus wisata Nirwana untuk VIP Pulogadung. Tebakanku, “si dia” itu paling-paling Laksana Clurit, Panorama 3, model AC jadoel, Pagupon Doro. Hehehe…

“Mas, ini nomor bisnya, B 7415 NL,” kata Mbak Nafis, ticketing girl saat aku check in.

Duh, aku benar-benar buta armada PK Bojonegoro. Armada 15NL itu yang mana ya? Yang lekat dalam ingatanku sewaktu berlangganan dulu, kalau tak salah, cuma B 7298 ZX, dan tiga armada B 7889 … dengan dua huruf belakangnya saja yang berbeda.

Kemudian, defile bus penguasa tlatah Blora-Cepu-Bojonegoro menampakkan diri. Dari yang terdepan, Old Travego Kupu-kupu Kalideres, Setra Ombak Lebakbulus, Setra livery baru Bogor, Old Travego Kupu-Kupu Pulogadung (eksekutif) dan yang bontot…

Jreng…VIP Pulogadung, siluet Butterfly.


Tebakanku fifty-fifty keabsahannya. 50% benar produk Laksana, 50% lagi salah sebab bukan Panorama 3 melainkan Panorama DX.

Setelah cipika-cipiki dengan bidadari kecilku yang ikut mengantarkan, kudaki tangga menuju ruang interiornya.

Really, really, Laksana taste…Minimalis. Posisinya deck-nya rendah atau bisa jadi karena kaca tinggi, dan tentu (maaf) bangunan body coach gedobrakan ketika bus berjalan. Untungnya, fasilitas lapak punggung dipercayakan pada jok Alldila.

Dan konfigurasi seat 8 baris non leg rest adalah garis pembatas kelas VIP dan eksekutif. Meski pitch antar kursi begitu longgar, tapi tetap saja kelasnya VIP. Padahal, andai saja dibenamkan kelengkapan ini, masih cukup ruang untuk dipasang. Kelengkapan piranti leg rest inilah, yang bagiku, sebagai pembeda kelas VIP dan eksekutif di kalangan bus-bus Muria Raya.

Tapi itu tetap tak mempengaruhi penilaianku, meski hanya kelas VIP, kesan PK sebagai bus nyaman sangatlah kentara. Bersih, wangi, lapang, beraura positif dan sejuk di hati saat berada di dalamnya.

Nggreng…suara knalpot OH-1521 menggelegar panjang mendaki tanjakan Kota Sulang. Dan secepat kilat wuss…wuss…wuss…ketika kontur jalan berganti menurun, gesit membelah jalan. Ces…ces…cesss…bunyi pneumatic brake riuh rendah khas Mercy bersahutan saat lajunya tertahan kendaraan di depannya.

Sungguh, aku takjub dibuatnya. Wah…wah…mantap juga yang bawa. Speedfull, skillfull, smoothfull dan anti ogah-ogahan. Sang driver cukup royal menginjak gas dalam-dalam, seakan stigma bus ini miskin solar ini teramputasi, dijawab dengan gerakan enerjiknya. Tak salah mengetuk palu vonis memilih PK untuk trip kali ini.

Menyandang status anak tiri, seolah HT 719 ini tak mau diremehkan dan disepelekan. Mulai Rembang hingga pool Kudus, sisa-sisa kehebatan mesin 6000 cc benar-benar ter-ekspose. Lincah meliuk-liuk menaklukan deretan panjang angkutan barang. Bahkan sempat nekat meladeni tabiat pecicilan bus Restu di depannya.

Dan semua ini semakin menegaskan statemenku, bahwa bus malam sekarang memang banter-banter. Karina, KD, Malino Putra, OBL dan PK, semakin kencang berlari-lari di permukaan aspal. Kini, tak usah pilih-pilih bus ke timur, karena hanya 1% sampling error mendapatkan bis lemot.

Mampir sebentar di garasi Kudus untuk controlling, jam 17.36 bendera start dikibarkan kembali. Asyiknya, sekeluar dari Jembatan Tanggulangin langsung disambut pantat Garuda Mas dan PO Haryanto Motor. Bertiga berkonvoi, tanding kelihaian menyeruak di antara lalu lintas yang kondisinya ramai lancar di jalur Kudus-Demak yang hampir seluruhnya telah empat lajur. Sayang, keikutsertaan Grand Aristo 78 Kopral berakhir di Kota Wali karena lewat jalan lama.

Tinggal berdua di sirkuit Lingkar Demak, RS Evolution vs Panorama DX. Kupu-kupu terus menempel ekor Garuda bahkan nyaris saja berhasil menyalipnya. Namun, bus bernomor E 7543 KA tak mau dipecundangi. Justru semakin dipacu, terlebih dibekali mesin Hino RG dengan aksekerasi yang lebih responsif dibanding Mercy Intercooler. Dan harus kuakui, driver Garuda Mas bertrayek Tayu-Jakarta itu sulit ditaklukan.

Hukum alam masih abadi, kepak sayap Garuda masih terlalu tangguh untuk dilumat kibasan sayap kupu-kupu. Makin lama, gapnya semakin jauh dan bus berkelas ekonomi AC itu makin tak terkejar, hilang ditelan kepulan asap truk-truk angkutan berat.


Di jalur Kudus-Semarang, hanya dua bus yang diasapi, Sumber Larees bumel dan PO Suka, Jepara-Tasik.

Setelah mengambil penumpang terakhir di agen Dr. Cipto, Semarang, genderang pengembaraan si Kupu-Kupu Malam di hutan pantura ditabuh.

3 komentar:

  1. you are a good man, keep writing
    http://mobil88.wordpress.com

    BalasHapus
  2. wa, serasa ikut bus pk mas, good, tetap semangat menulis
    salam
    balog

    BalasHapus
  3. Salam kembali Mas Balog,

    Terima kasih atas spirit dan motivasinya....

    BalasHapus