Senin, 25 Januari 2010

Kramat Djati; Fun Tastic…(1)


Catatan Perjalanan : It’s not Slowtime (1)
Kramat Djati; Fun Tastic…(1)

-Every bus has a different taste…-

Jam buka kantor masih tersisa empat jam lagi. Sementara tugasku hari Jumat ini 100% completted. Menyandang status non job, justru mendatangkan kesempatan. Yup…melonggarkan pilihan dalam merencanakan perjalanan pulang ke Rembang.

Bergegas kurapikan alat tulis dan tumpukan berkas pekerjaan, packing berbekalan pulang yang tak seberapa muatannya. Andai disensus, tas backpacker-ku hanya berisi payung, charger, air mineral, minyak angin, kaos kaki dan balaclava alias tutup kepala. Tak sampai satu kilogram beratnya.

Tampak di luar jendela, langit mempertontonkan pergulatan alam. Di sisi timur, sinaran surya masih mampu menembus lapisan ozon untuk menghadirkan terang bagi bumi, sedang di sisi barat awan tebal mulai berdatangan bergelayut di atas Teluk Jakarta. Rinai gerimis yang turun seakan tak mau kalah bersaing dengan mentari dan mendung, bertarung siapa yang akan memberi rona cuaca siang di kawasan pelabuhan laut terbesar se-Indonesia.

Begitu juga apa yang sedang menimpaku, terjadi pergulatan batin dalam menentukan titik keberangkatan mulih ndeso. Bimbang hati, mencontreng di antara pilihan-pilihan, Rawamangun…Pulogadung…ataukah Tanjung Priok sendiri.

Mau ikut rombongan Mas Rully cs visit Madura, yang mulai “pelayarannya” jam 11 siang, sudah telat. Pakai jurus nghitung kancing, dengan mantra-mantra similikithi enak ngendi enak iki, juga tidak ketemu jawaban yang memuaskan.

Tiba-tiba ingat rayuan Mas Kus Kuntarto tadi pagi via telepon untuk naik Garuda Mas. Tapi…ahhh… kondisi dompet meradang terkena dampak sistemik tanggal tua. Jujur saja, jumlahnya selisih tipis di atas dana yang dibawa Tuan Gwan Tanah Merah sewaktu survei pemetaan wilayah Mangga Besar-nya Pati.

Hiks, maaf ya Mas Kus, kutolak tawaranmu. Bulan depan saja kulampiaskan rindu akan kepak perkasa Sang Garuda, saat gelontoran gaji bulanan sudah di-dropping…

“Ah, begini saja”, kata nuraniku. “Pertama-tama ke Priok, kalau tak ada yang menarik, pindah ke Rawamangun, kalau (kebangetan) tak ada yang heartcatching juga, bergeser ke Pulogadung.”

Sebuah mediasi nan solutif.

Turun dari angkot KWK-01 Cakung-Tanjung Priok, kumasuki area embarkasi debarkasi bus antar kota. Tengah hari itu didominasi bus-bus Tangjung Priok-Bogor, Laskar Karawang --Warga Baru-- dan skuad Prima Jasa. Di jalur Madura, seperti biasa, tampak empat sekawan peserta acara harian take me out, Kramat Djati (KD), Pahala Kencana (PK), Karina dan Haryanto.

Karina yang pertama kucoret, karena ini armada produk 40, eks KE-461 yang kunaiki belum lama ini, dimutasi dari jalur Bojonegoro ke Madura. Grand Aristo-nya Kopral yang kedua kusisihkan. Tiga minggu yang lalu mencumbuinya, jadi belum lupa sama rasanya. Nah, ini yang menarik. PK Setra berdaleman Hino RG dengan tampilan motif baju hasil cat ulang. Mungkin, inilah warning awal kegerahan PK terhadap masuknya Si Biru ke jalur Madura.


Tapi…engga ah. Seringkali naik PK Madura, dan seringkali pula kurang mengesankan ceritanya…

Tinggal pilihan akhir, kalau tak cocok, mbonceng bus kota P-43 yang akan menghantarkan ke Rawamangun. Yaitu bus Kramat Djati.

Kudekati sosok putih bersih ini. What!!! Ngetem sekian lama, masih kosong melompong. Memang, di Tanjung Priok, KD menempati dasar klasemen bus favorit orang-orang Madunten. Pengais sisa-sisa penumpang, bahkan kalah pesona dibanding newcomer, PO Haryanto.

Bayangan bus lemot, pengusung aliran netralisme, pengetatan kebutuhan solar serta armada anak tiri di keluarga besar Kramat Djati menyeruak dalam benakku.

Namun, hatiku malah klop dengan karakter miring yang diciptakan pasar. Mengapa?

Dalam analisisku, kalau rata-rata waktu tempuh bus Jakarta-Rembang 12 jam, dengan bis lambat tentu bisa lebih dari itu. Kalau bus ini berangkat jam 2, taruhlah…perjalanan nanti memakan masa selama 13 jam, jam 3 dinihari baru tiba di Rembang. Dan aku tak kesulitan meneruskan perjalanan menuju Kota Kecamatan Sulang dengan mikro bus Rembang-Blora yang biasanya buka line antara jam 3-4 pagi, plus nanti bantuan ojeg untuk mengantarkan hingga ke depan rumah.

Maklum, akses transportasi hingga ke desaku sangatlah terbatas dan mengenal waktu. Coba tanya Mas Hary “Coklat” beserta Meme tercintanya yang pernah berjuang sekuat tenaga menggapai kampung halamanku. Berjarak 20 km dari jantung kota, melewati areal persawahan, melintas daerah angker dan miskin sinyal komunikasi, jauh di pelosok lereng perbukitan kapur Pasedan. Jangan kapok main ya Mas Hary…

Yes…tekatku sudah bulat, naik bis pelan aja. Tak buru-buru di kejar waktu dan acara keluarga pada Sabtu pagi.

“Berangkat jam berapa, Pak?” tanyaku pada seorang bapak petugas agen KD.
“Paling telat jam 2, Mas”
“Pak, turun Rembang bisa?”
“Boleh Mas, 125 ribu…” jawabnya sekenanya.

Pak…pak…bis tak laku begini kok jual mahal, aku membatin.

“Pak, boleh kurang ya. Masak segitu…” coba kutawar secara halus.
“Mas nawar berapa?” dia memberi respon.

Tapi aku juga prihatin dengan nasib Si Putih ini. Mau nego ke harga 100 ribu, mengikuti tarif floating tujuan Surabaya yang didiskon “hanya” 130rb, jiwa bismania-ku sungguh tak tega. Kasihan…

“Ya sudah Pak. Kemarin saya naik Haryanto dikasih 120rb. Samain saja ya Pak”, pintaku.
“Ya sudah Mas, monggo naik…”, balasnya dengan lega, berharap aku jadi penglaris siang ini.

Dan ternyata tidak seluruhnya doa terkabul. Hingga bus akan diberangkatkan, agen hanya mampu meraup enam penumpang.

“Ayo Mas, berangkat”, kata driver mengingatkanku yang masih asyik bermasyuk ria berwisata otomotif, menikmati eksotisme bus-bus di dalam terminal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar