Senin, 11 Januari 2010

KE-461, Karena Karina Ingin Dimengerti (1)

Hangatnya obrolan tentang rumor “The Legend is Back” -- yang dibumbui cerita Lorena mundur dari jalur udara, peniadaan batas fuel consumption, re-call pengemudi-pengemudi jagoan yang hengkang ke berbagai PO, sang “jenderal” turun gunung hingga statement sakti Pak GT Soerbakti “yang nombok solar silahkan minta ganti ke kantor” -- ibarat rapal mantra-mantra yang menghipnotis pendirianku.

Sudah hampir lima tahun ini aku melepaskan diri dari ikatan yang bernama “pelanggan” PO yang berkandang di Tajur ini. Dulu, aku sempat terdaftar sebagai loyalis LE-460/1 (eks LE-380/1), Jakarta-Rembang-Bojonegoro, vise versa, selama hampir setahun.

Mulanya, aku masih mau berkompromi dengan layanannya yang mulai menurun. Soal armada yang mulai menua, jam keberangkatan yang seringkali offtime, hingga harga tiket selangit yang tak sepadan dengan pelayanan yang didapat, aku bisa menolerir. Tapi aku mulai berkata “tidak!!!” ketika Sang Legenda kebanggaanku ini mulai menyiput jalannya. Saat itulah, aku rela setengah hati meninggalkannya, meski dalam lubuk sanubariku berharap “dia” akan cepat siuman untuk meninggikan kembali pamor gemilangnya masa silam.

Terlebih pesona bis-bis lokal mulai menampakkan kemilau. Satu di antaranya adalah Nusantara. Mengusung genre, powerfull and speedfull bus on the road, mem-balikseratusdelapanpuluhderajat-kan kesetiaanku. I must to say goodbye, Lorena. A matter of time is more than just a fanatism. Demikian sebait kalimat perpisahan yang kuucap sembari menahan bulir air mata agar tak jatuh ke pipi. (Hehehe...kumat deh lebay-nya!)

Bahkan, semenjak Lorena membuka agen yang tidak jauh dari rumah tinggalku, tak membuatku bergeming dengan tawaran kemudahannya. Jarak 15 km ke agen PO “selingkuhan”ku masih terasa ringan ditempuh, dibanding melangkah ke agen Si Ijo yang “hanya” sejengkal. Meski armada Bojonegoro telah berganti kulit, dari Lorena berubah wujud menjadi Karina, bagiku, tak ada proses metamorfosa. Tetap saja begitu “sosok rupanya”.

Namun, gaung berita burung di atas seolah menghembuskan hawa sejuk, pencerna dahaga kerinduan menikmati kharisma Lorena-Karina yang sekian tahun ini terkubur. Memang belum cukup banyak bukti. Namun, ada hal yang menegakkan kembali hasratku untuk latah mencobanya. Adalah testimoni beberapa member Bismania Community yang telah merasai “api asmara” PO yang belakangan gencar blusak-blusuk ke pelosok desa gara-gara tertindih Low Cost Carrier (LCC) pesawat terbang.

Berbekal tiket seharga Rp.140.000,00, akan kulakukan perjalanan bersejarah, re-ride with KE-461. Stigma rate Lorena adalah termahal, masih benar adanya. Dari tempatku, Ombak Biru “cuma” Rp.130.000,00, sedang The City of Manhattan sepuluh ribu lebih murah lagi. Tak apalah, demi menebus rasa penasaran. Yang penting pembuktian, “Is that right, Si Ijo has back to right way?”

Janji jam empat sore akan tiba, dipenuhinya. Salut, on time. Kesan pertama terpuaskan soal ukuran waktu kedatangan.

Dengan setelan busana Setra “Selendang” karya Adi Putro, membalut mesin OM366LA yang bertengger di atas chasis Mercedes Benz OH-1521, Karina masih terlihat ayu menawan, seakan tampilannya tak lekang digilas perputaran roda jaman.


Sesaat setelah merebahkan punggung di seat 6A, sisi window sebelah kiri, tak lupa mengupas aspek interior. Warna langit-langit dan kulit jok yang membungkus busa Restindo tampak kusam dan memudar, tapi masih worth untuk dipertahankan sementara waktu. Sayang, minus kelengkapan footrest. Di lengkapi pula smooking room, dan satu-satunya bis Bojonegoro yang menyediakannya. Fasilitas audio-video masih dalam batas “layak” dan termanfaatkan sepanjang perjalanan. Paket hiburan di-set up dengan tembang Indonesian Oldies, yang cukup menghanyutkan rangsang pendengaran, yang selanjutnya menstimulus otak untuk bernostalgia membuka kenangan lama. Album kompilasi dari Ratih Purwasih, Iis Sugiarti, Endang S Taurina dan Dina Mariana silih berganti mengisi. Mungkin, pasar penumpang yang dibidik adalah generasi 70-an, seperti Pak Didik, Pak Karnoto dan Pak Irfan. (Hehehe…Piss ya Pak). Kalau buat aku sih kurang sreg, mestinya artis-artis New Pallapa, sekelas Lilin Herlina, Ratna Antika, Agung Juanda atau Vivi Rosalita, nah itu baru cocok. Hehehe…

But, it’s OK untuk urusan entertainment, satu nilai plus lagi untuk service Karina.

Kondisi penumpang baru terisi 1/3 dari kapasitas 28 seat. Not bad, artinya masih bisa mengambil “kue” dari penguasa jalur Bojonegoro, Pahala Kencana. Dan mayoritas mereka makhluk parlente, berpenampilan rapi. Membuktikan kemapanan strata sosial dan ekonomi. Hanya aku yang bersandal jepit. Cuek ah…

Ah, apa gunanya service plus plus tanpa disertai aksi “lari” di jalanan? Harap-harap cemas aku mengharapnya.

Deru knalpot langsung menggelegar, membahana memecah keramaian Kota Sulang, karena posisi pemberhentian bis tepat di tanjakan. Jangan-jangan ini bunyi isyarat bahwa laju bis akan nge-jos nantinya. Setelah paripurna mendaki, aku terhenyak, prediksiku tak meleset, benar-benar kurasakan kuasa tenaga 210 HPnya. Pedal gas digeber habis-habisan menaklukan ruas jalan Sulang-Rembang. Kondisi jalan yang relatif mulus memudahkan driver memacu armadanya secara maksimal. Meski sedikit kurang halus dalam handling kemudinya, namun tidak ada “proyek” penghematan solar, tiada penyelenggaraan aksi netral dan jauh dari istilah jalan ogah-ogahan. Penuh determinasi. Bahkan yang kurasakan adalah naik Lorena rasa Nusantara. Beda banget dengan “wajah” empat tahun yang lalu. Seikat titik terang telah kugenggam, bahwa The Legend memang bangkit kembali.

Agen Rembang kosong penumpang, hanya numpang lewat. Duh…duh…jangan-jangan ya cuma segini penumpangnya. Belum terpikir meraup keuntungan, bagaimana menutup biaya operasional? Ini sudah masuk area Muria Raya, ceruk pasar makin dangkal, makin banyak raja-raja kecil yang jadi pesaingnya dalam memperebutkan penumpang.

Memasuki jalur Pantura, aksi Karina produk 040 tak berkurang. Tetap menawan di bawah kendali driver setengah baya, yang menandakan jam terbang tinggi. Barisan truk-truk barang dilahapnya satu persatu, meliuk ke kanan ke kiri, pandai memanfaatkan celah sesempit mungkin. Ck…ck…ck…aku hanya bisa berdecak kagum. Mantap, bisa jadi hiburan malam ini kalau driver konsisten dengan style-nya.

Bis bintang empat ini masuk agen di Terminal Juwana. Wow…jangan-jangan Kota Bandeng adalah kawasan green forces, belasan penumpang mengisi seat yang masih kosong, tersisa dua kursi lagi yang sudah di booking agen Kudus. Ah, siapa bilang Si Ijo ditinggal penumpangnya? Biarpun luntur pesona, masih banyak juga pecintanya.

Dan menuntaskan intermediate Rembang-Semarang, bis ini masih layak dinominasikan sebagai anggota dewan PBB (Persatuan Bis Banter). Aku yakin, bagi penggemar jet darat, tak rugi sepeserpun bila saat itu satu bis denganku.


Namun, bagiku itu belum final. Ujian sesungguhnya untuk mengukur kedahsyatan sang maestro ada di kosmos per-bis-an tanah Jawa, yakni jalur Semarang ke barat, yang merupakan titik pertemuan tiga jalur, yakni Solo, Jogja dan Kudus sendiri. Pasti akan ketemu lawan sejenis. Berhubung aku berniat jadi juri penilai, kupaksakan diri untuk menyisihkan rasa kantuk, yang biasanya sudah membuatku lelap selepas Kota Demak.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar