Kamis, 29 Juli 2010

Dari Pulogadung, “Mendaki” Dieng (3)


Dieng, We’re Coming…

Matahari telah menyembul sepenggalah dari balik pegunungan di sisi timur Wonosobo. Fajar baru saja berlalu, menyisakan kabut tipis di atas awang-awang kota. Gunung Sindoro begitu kekar tertancap di bumi, sementara dari tempat kami berdiri, terlihat jelas dataran tinggi Dieng berikut puncak Gunung Prahu di sisi utara. Kesejukan udara Kota Asri ini seakan menjadi obat peluruh letih bagi Dieng-ers setelah 10 jam menyusuri etape panjang Pulogadung-Wonosobo.

Kami rehat sejenak, me-refresh pikiran, menata stamina, serta membersihkan badan ala kadarnya dan selanjutnya menikmati sarapan pagi bersama di Warung Makan Mbak Bin, yang lokasinya masih di dalam Terminal Mendolo.



Menu unggulannya adalah nasi gudeg, meski ditawarkan juga sajian lain. Sop, brongkos, gule dan rames sebagai pelengkapnya. Tak lupa kami memesan lauk gorengan khas bumi barat daya Propinsi Jawa Tengah, tempe mendoan.

Saat kami menyantap hidangan olahan Mbak Bin, datanglah Mas Yanuar, anggota BMC yang berdomisili di Wonosobo, yang sekaligus akan menjadi tour guide kami. Inilah tuah institusi sekaliber BMC. Membernya berserak di seantero Nusantara.

Dan kami sungguh beruntung, 18 J bersedia mengantar kami ke obyek wisata pertama yang kami tuju, pemandian air panas Kalianget, yang letaknya tak begitu jauh dari pusat kota. Selain kami bersepuluh, tercatat Mas Yanuar, Mas Agus (Bruno) dan seorang bapak pengurus agen SJ, turut ke “atas”.

Namun, di tengah perjalanan ke Kalianget, kami berembuk kembali dan mesti merevisi rencana awal. Sebab, kami harus berdamai dengan request Mas Riko, yang ingin mengejar The Phoenix Haryanto jam 7 malam dari Semarang untuk kembali ke Jakarta. Setidaknya, jadwal Nusantara Patas Purwokerto-Semarang, pemberangkatan jam 14.30 dari Wonosobo harus diburu.

Mau tak mau, kami membalik rencana. Dieng sebagai prioritas pertama, dan pulangnya baru mampir Kalianget. Selain itu, mumpung kondisi cuaca lagi cerah, akan lebih enjoy menikmati pesona Dieng di pagi hari hingga menjelang siang.

Kami menghentikan sebuah bus mini, yang akan ditunjuk sebagai pengawal rute pendakian kedua, Wonosobo-Dieng. Setelah negosiasi harga, deal di angka Rp250.000,00 dengan kompensasi jasa hantaran ke semua obyek wisata yang tersebar di Dataran Tinggi Dieng.

Saat kami pindah armada, dari PO Sinar Jaya ke PO HR Utama –nama micro bus tersebut-, bergabung lagi Mas Faisal, member BMC yang secara umur seangkatan dengan Rayyan BBG.



Jadilah, kami berempat belas mendaki Dieng.

Mitsubishi 120 PS berkaroseri Raendo Semoyo itu membelah jalan yang terus menanjak dan berliku menuju Dieng. Jeritan mesin nyaring terdengar, nafasnya ngos-ngosan, menandakan keempat silindernya memeras keringat untuk memproduksi energi gerak demi mendorong bis engkel ini.

Di sepanjang jalan yang diapit Gunung Sindoro dan deretan Dataran Tinggi Dieng, pemandangan begitu elok, hijau dan segar. Lahan-lahan pertanian menumbuhkan tanaman yang mempunyai nilai profit, semacam kentang, kubis, carica, purwaceng, terong belanda, cabai dan jamur. Menandakan bahwa Dieng, Sindoro, dan Sumbing adalah emas hijau bagi alam Wonosobo.

Kami sempat melewati jalan yang longsor Januari silam, yang memutus jalur Wonosobo-Dieng dan meruntuhkan batu segede micro bus ini, yang kemudian terjun bebas ratusan meter dan menimpa kampung di bawahnya. Saat ini, badan jalan sedang dilakukan perbaikan dan penguatan talud. Penulis sempat bergidik menyaksikan posisi jalan di pinggir jurang yang begitu dalam. Saking dalamnya, pedesaan di bawahnya terlihat mungil dan nyaris tak terlihat karena terhalang awan tipis.

Setelah menempuh jarak 30-an km dengan waktu tempuh satu jam lebih, kami tiba di dataran yang berketinggian 2093 m dpl, Dieng.

Akhirnya terjawab, ini tho yang konon taman nirwana para dewa-dewi itu?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar