Rabu, 14 Juli 2010

(Tak) Banyak Jalan Menuju Rembang [Bagian Ke-1]


“Pa, Sabtu besok Naura mau tampil di pendopo kecamatan,”
“Oh iya? Acara apa, Ma?”
“Pentas seni antar TK se-kecamatan Bulu,”
“Jam berapa?”
“Kata gurunya, jam 07.00 rombongan anak-anak diberangkatkan dari sekolah. Eh, Naura penginnya Papa sendiri yang nganter. Papa harus ikut nemanin lho, ya beri semangat lah buat anakmu…”

Seperti masa-masa yang telah terlewati, menurutku, hadirnya malam Jumat terasa begitu istimewa ketimbang hari-hari lain. Andai diumpamakan (meski dengan kadar yang tentu saja jauh berbeda), malam Jumat boleh dibilang malam takbiran-nya kaum komuter mingguan, selaku penanda akan hadirnya “hari raya” yang akan segera tiba.

Tak terkecuali malam itu, hari kesepuluh di bulan Juni. Kuncup-kuncup kebahagiaan mulai tumbuh di taman hatiku dan menunggu akan bermekaran keesokan harinya. Sejenak meninggalkan riuhnya ibukota, me-refresh pikiran menikmati lanskap malam pantura, dan tentu saja, melepaskan dahaga kerinduan bersua orang-orang terkasih sebagai happy story-nya.

Terlebih, adanya pesan dari sepenggal pembicaraan dengan istri lewat telepon lusa sebelumnya. Menonton aksi putri sulungku yang akan jadi team leader buat kawan-kawannya di atas panggung, dengan keluguan, kelincahan dan keceriaannya memeragakan atraksi gerak dan lagu, kian menggelorakan semangat turingku.

“Akan kupenuhi permintaanmu, Nduk…Sabtu pasti akan Papa dampingi,” demikian janjiku.
---

Tapi, kejadian tengah malam itu sungguh-sungguh mengguncangkan mental dan psikisku. Di saat lelap dalam tidur, tiba-tiba…

“Dik, bangun…Bangun, Dik!!!” kudengar teriakan lantang seseorang sambil menggedor-gedor pagar kost-an. Kusimak intonasi dan warna suaranya, jelas itu office boy kantorku, yang sekaligus tetanggaku di gang-an.
“Ada apa, Frend?” sahutku dari dalam kamar.
“Cepat keluar…!!!” ajaknya.
“Ada apa sih?” gumamku “Tumben-tumbennya...”
Kulirik jam dinding, 00.45. Dengan ogah-ogahan, kutarik gagang pintu.

Belum sepenuhnya terbuka, masya Allah, aku terperanjat setengah mati.

Sebuah mobil ambulance dengan kedipan lampu rotary yang menyilaukan mata persis berhenti di depan teras rumah Bapak Kost-ku.

“Ada apa, Frend?” tanyaku dengan penuh selidik sekaligus keheranan.
“Anak Pak Kost meninggal, Dik, kena DBD,”
Innalillahi wainna ilaihi rajiun…
“Lho? Kok ngga ada beritanya sakit?” kucoba kukorek keterangan.
“Iya, semua pada kaget. Siang masuk rumah sakit, jam sebelas tadi ngga ada…”

-- Ya Allah, nyawa dan maut adalah kuasa-Mu. Engkaulah yang menggenggamnya. Bila Engkau berkehendak untuk mencabut, siapa yang punya kekuatan untuk memundurkannya barang sedetikpun --

Jadilah nuansa dinihari di sudut kota tempatku menumpang hidup berubah kelabu. Tetangga-tetangga Pak Kost pun bahu membahu mengurus mayat, dari semenjak datang hingga fajar menyingsing. Tamu-tamu datang silih berganti untuk sekedar menghaturkan rasa bela sungkawa bagi keluarga yang ditinggalkan.

Jumat pagi, aku hanya absen di kantor kemudian izin pada rekan kerja untuk pergi takziyah. Kuantar jenazah menuju kompleks Tempat Pemakaman Umum (TPU) Semper, tempat peristirahatannya yang terakhir. Sewaktu kain kafan yang menutup muka sang mayat dibuka, sesaat sebelum liang lahat dikubur tanah, terlihatlah raut wajah putih bersih tanpa dosa. Tak mengira memang, di usianya yang belum genap 10 tahun, paripurna sudah almarhumah mengecap kefanaan dunia.

Ada satu drama yang mengharukan, saat Pak Kost yang dikenal pula sebagai Ustadz, menyampaikan ceramah singkat selepas pemakaman. Dengan vokal berat seolah tertekan kesedihan yang mendalam, beliau berujar :

“Ada satu permintaan almarhumah yang belum saya penuhi. Seminggu ini anak saya merengek minta baju muslim. Bukannya saya tak mau membelikan, tapi saya sudah berusaha mencari namun belum juga ketemu ukuran yang pas dengan badannya yang gemuk dan besar. Hingga akhirnya Allah SWT berkehendak lain. Ternyata pakaian yang pas buatnya adalah kain kafan…”

Tanpa kusadari, pelupuk mata berlinang menitikkan air mata. Seketika terlintas wajah duo putriku. Betapa berharganya bidadari-bidadari kecil itu dalam kehidupanku ini.

“Percayalah Nak, meski tak setiap saat Bapakmu bisa mendampingi tumbuh kembangmu, tapi perhatian, rasa sayang dan cinta kasih ini segalanya tercurah untukmu berdua,” bisik batinku.

Sepulang dari melayat, kekisruhan menghinggapi pikiranku. Antara pulang ke Rembang atau kubatalkan. Hendak pulang, sepertinya kurang bijak di kala diliputi duka. Memang bukan aku yang “kehilangan”, tapi aku menganggap merekalah keluargaku di sini.

Selain itu, konon katanya, pergi di tengah suasana berkabung, seringkali kena kutukan “apes” di jalan. Dan mitos itu seakan menghantui, meski aku sendiri kurang percaya pada masalah demikian.
Semisal tak pulang, aku juga sudah terlanjur berikrar pada si bocah. Aku akan bersalah jikalau ingkar. Ah, mana yang mesti kudahulukan? Akankah aku tetap berkeras hati mudik ke kampung halaman kali ini?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar