Kamis, 01 Juli 2010

Karena Kesetiakawanan Itu Mahal Harganya (1)


Rinai gemiris yang sedari sore turun kian menampakkan amarahnya. Semakin lama semakin deras mendera. Bentang langit menghujami bumi dengan milyaran bulir air, laksana busur raksasa yang memberondongkan anak-anak panahnya.

Hujan itu mengingatkanku akan perjalanan Rembang-Jakarta sepekan sebelumnya. Betapa anomali musim – mestinya bulan-bulan ini menapak fase kemarau – begitu menyiksaku, hingga aku bersama teman-teman kelana berjibaku melawan pekatnya malam dalam guyuran hujan, menghalau rintang berupa “bopeng-bopeng jalanan” yang disuguhkan medan Pantura, meredam panasnya atmosfer kehidupan di atas jalan raya, demi meringkas waktu memangkas jarak 600-an km yang harus kami lalui dari balik mobil small MPV.

Perlahan, senja mulai merambat naik. Sementara aku masih terpaku di emper kost-an. Gemuruh bunyi misil-misil cair ketika menghantam atap seakan mengisyaratkan bahwa alam untuk sekian kalinya akan menguji hajat mingguanku. Dada bergemuruh, lidahpun getir, dan keraguanku memadat, menatap lapisan mendung gelap yang bersiap menyetubuhi seantero wilayah ibukota. Beuh…ujian apalagi ini yang mesti aku hadapi?

Andaikan saja Sabtu pagi tak ada undangan mantenan sepupuku di Sidoarjo, Jatim, kutunda saja rencana pulang ngetan sore ini. Bisa kuundur Jumat pagi untuk menunaikan agendaku. Toh, aku juga belum mengantongi tiket, tak terikat janji dengan agen ataupun jadwal keberangkatan bus. Lebih baik berdiam diri di sini, menghabiskan malam meringkuk dalam hangatnya peraduan di kamar sederhana ini.
Ugh, tapi sudah kepalang tanggung. Jumat dan Senin depan sudah kurengkuh sebagai my offworkdays, hari-hari cutiku. Mosok, slottime yang melimpah ruah justru aku habiskan dalam kesendirian, bukannya berkumpul dengan keluarga. Alangkah tidak bijaknya aku ini.

Kulirik jam yang bersandar di dinding yang selama ini setia menjadi penunjuk waktu bagiku. 17.35. Hmm…masih ada satu jam lagi untuk memburu departure bus-bus Muria Raya dari Rawamangun. Tapi apa ya mungkin, dengan kondisi hujan lebat dan potensi kemacetan yang ditimbulkannya, aku bisa mengejarnya? Ah, segera kutepis bayang-bayang kekhawatiran itu. Aku belum mencoba, mengapa aku jadi pengecut?

“Aku harus pulang sekarang, tak kuacuhkan seberat apapun halangannya…” demikian tekad yang kusemai dalam benakku.

Yang kupertimbangkan pertama adalah moda transportasi apa yang akan meng-assit ke Terminal Rawamangun. Tampaknya taksi bukan lagi alternatif, satu-satunya yang bisa kuandalkan adalah angkutan roda dua.

Kukeluarkan gadget usang, memanggil ojek langganan yang biasa mengantarkan ke Pulogadung ataupun Rawamangun. Tapi sayang…

“Maaf Mas, saya lagi ngga narik…” jawabnya di ujung telepon.

Matek aku.

Tanpa banyak berhitung, nekat kuterjang deraian “tirta nirwana” yang semakin tak terhitung intensitas serbuannya. Kususuri jalan sepanjang 50 m yang menghubungkan rumah tumpanganku dengan jalan besar, mencari angkot APB 02 yang biasa membawaku ke Simpang Lima Semper, pusat mangkalnya para tukang ojek.

Tapi, petang itu lain dari biasanya. Pangkalan Semper itu mendadak sepi. Cuma ada segelintir ojekers yang “tabah” untuk tetap mengadu nasib di ambang malam.

“Pak, antar saya ke Rawamangun, ya!”
“Baik Mas…”
“Tapi ada mantel kan, Pak?”
“Ada Mas, tapi kecil…”

Aduh, ini mah mantel anak-anak, saat aku ditunjukkan piranti penangkal hujan yang cupu dan supermini itu. Wis lah, gapapa…yang penting bagian leher ke atas aman dari serangan hujan.

Tak kupedulikan lagi jalur mana yang dipilih Pak Ojek untuk mencapai Rawamangun. Kepalaku kubenamkan di punggungnya, sembari meretas asa, semoga lancar dan terjauhkan dari kemacetan yang merupakan momok harian warga Jakarta.

Butir-butir air yang menganak sungai di permukaan jas hujan jatuh menetes, membasahi pundak dan lenganku. Seringkali air yang menggenang di jalanan terpercik ke arah kaki, disibak tapak-tapak roda kendaraan yang membelahnya. Jaket hitam dan celana panjang yang kukenakan mulai diresapi air, membuat kulitku mencumbui kesejukannya. Bbbrrr…begitu dingin.

Kukembangkan payung sesaat setelah mendarat di pelataran Taman Surgawi, Rawamangun. Hujan pun tak meredakan tensinya, seolah meruntuhkan segenap isi awang-awang. Kucoba calling Mas Medriko, yang berniat menemani sebelum melepas keberangkatanku. Tapi tak ada respon. Mungkin terjebak macet, pikirku.

Kususuri emplasemen terminal eksekutif ini. Row pemberangkatan dihiasi Shantika Ijo Tosca, Senja “Pinky” Furnindo dan quatro Karanganyar, NS 18, NS 19, NS 01 dan NS 04. Sedang laskar Jepara yang lain, Muji Jaya, belum satupun menampakkan diri.

“Lho, Mas, pulang Rembang? Biasanya dari Pulogadung?” tegur seseorang berkemeja merah putih colourmark PO Nusantara.

Wah, ternyata Pak Rokhim, eks driver NS 39 yang sekarang naik derajat mempiloti armada Scania.

“Eh, iya Pak. Habis baru bisa pulang setelah jam kantor,” kilahku.
“Ikut busku saja, Mas, aku bawa NS 19 kok, dijamin sampai Rembang…” beliau menawarkan diri.

Tak pelak, ajakannya benar-benar menghimpit kebebasan dan mengerucutkan pilihanku. Terlebih kupikir, jalan Deandels sedang dikuasai kehancuran, alangkah nyamannya dibuai kenyamanan air suspension makhluk berkebangsaan Swedia ini. Dan juga, perjalanan nanti bakalan kuhabiskan untuk tidur semalaman, bukan menikmati layar hidup menonton para aktor antagonis beraksi di panggung Pantura. Hujan di luar akan semakin memanjakan tubuhku untuk menetap di dalam kabin bus bikinan Adi Putro Wira Sejati ini, tak perlu repot bernomaden andai naik bus jurusan Jepara.

Mungkin, bagi “penumpang nakal” kalimat rayuan dari pengemudi itu berarti dibukanya pintu sarkawi. Namun, aku yakin, reputasi Pak Rokhim yang kalem, nrimo dan tak banyak menuntut saat “memegang” trayek Cepu-Pulogadung, bujukannya itu hanya semata-mata ingin menolongku untuk mempermudah perjalanan. Tak ada udang dibalik batu, tak ada maksud tersembunyi.

Aku segera merapat ke loket yang digawangi Mbak Delima dan puji syukur, masih kebagian seat meski hanya di deret ke-8, nomor 30.
Selesai memenuhi kewajiban yang diperingan, menjama’ sholat Maghrib dan Isya’, tiba-tiba di inbox-ku muncul pesan dari Mas Riko, yang mengabarkan sudah menunggu di depan kantor terminal, tepat di depan armada NS 19.

“Mas, ada anak sebelah naik NS 19 juga lho. Itu orangnya…” itulah pembicaraan pembuka setelah kami berdua berbasa-basi di awal perjumpaan.

Kuamati “si dia” (sebut saja begitu) yang tengah berdiri di samping bus. Samar-samar sepertinya sih iya, soalnya raut mukanya pernah kulihat di salah satu Multiply penggemar bus saat aku melakukan blogwalking.

“Semoga saja duduknya sebelahku Mas, jadi ada teman ngobrol…” candaku pada lajang berjuluk Riko Flanker ini.

Tak lama berselang, Mas Bob Andi tiba untuk bergabung. Barangkali sebagai tombo gelo, karena kemarin tak bisa urun kehadiran di Kopdar Pulang Kerja (KPK) Pulogadung.

Tapi sayang, kebersamaan kami bertiga direnggut corong TOA terminal yang gembar-gembor memaksa penumpang NS 19 untuk bersiap, karena armada telah kehabisan jam berlabuhnya.

Meski hanya sebentar bersua, tapi tak mengurangi kesakralan pertemuan tripartit bismania yang bernaung dibawah panji-panji BMC. Saudara bukan, kerabat juga bukan, tapi ikatan brotherhood sesama member melebihi segalanya. Cuaca yang tidak bersahabat dan jauhnya lokasi kantor dari stamplat bus, tak serta merta memberatkan langkah Mas Riko dan Mas Andi untuk sekedar menjadi teman pengantar perjalanan bagiku. Rasa kesetiakawanan yang ditunjukkan mereka berdua sungguh-sungguh membangunkan mood turingku.

Mas Riko dan Mas Andi pun melepas kepergianku, bak aku ini seorang pahlawan yang hendak maju berlaga di kancah peperangan. Hahahaii…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar