Kamis, 01 Juli 2010

Karena Kesetiakawanan Itu Mahal Harganya (3)


Etape panjang Pamanukan-Rembang kini membentang.
Hmm…hampir setengah dua. Dalam situasi normal, di kala dinihari begini, air intake NS 19 semestinya sudah menghisap hawa segar Alas Roban.

Bus seakan malas bergerak, bahkan aku mendakwa luntur kegarangannya. Tidak ada gregetnya dan tentu saja, lenyap sudah momen lomba cepat dan tanding nyali dengan bus-bus malam yang lain. Jalur Pantura telah lengang, hening, bahkan mirip gang buntu. Cuma satu dua kendaraan bergardan yang bersliweran, dengan interval tempo yang lama.

Ah, aku belum menyapa “si dia”. Siapa tahu, aku bisa membunuh penyakit gubug reyot syndrome. Terkadang selintas bayangan menghampiri, bahwa “si dia” pun sebenarnya mengerti bahwa aku anak BMC namun kami sama-sama jaim dan khawatir nantinya rikuh serta kaku saat bercuap-cuap. Tapi segera kubuang jauh laku underestimate itu.

“Turun mana, Mas?” sapaku.
“Lasem, Mas,” jawabnya dengan logat Melayu.
“Memang tujuan akhirnya Lasem ya, Mas?”
“Ngga Mas, mau ke Malang?”
“Lho, kok?” aku pura-pura bego, “Mau ke Malang kok malah naik bus Lasem?”
“Saya biasa seperti ini kok, Mas. Nyambung-nyambung. Nanti nyari bus Semarang-Surabaya dan lanjut lagi bus Surabaya-Malang…”

Nah, pancinganku berhasil. 70% kevaliditasnya bahwa si dia memang "warga samping rumah". Siapa lagi kalau namanya bukan bismania, yang lebih suka bepergian dengan sistem estafet.
Kami pun larut dalam keakraban. Makin lama aku makin mencatat bahwa 95% memang benar bahwa si dia anak sebelah, berkaca pada pengalaman, wawasan serta pengetahuan akan tetek bengek per-bus-an, khususnya bus-bus Sumatra-an. Wajar saja, dia berdarah Minang sehingga perihal PO-PO bumi Andalas dan rute-rute jalur Sumatra --- lintas barat, tengah maupun timur -- hafal di luar kepala. Dan dari cerita-cerita itu pula, ternyata lelaki asing ini seorang Ijo Lover.
Tak terasa, satu jam lebih kami menjalin komunikasi yang intens, sharing tentang perkembangan bus tanah air hingga tema-tema di luar bus itu sendiri. Biarpun begitu, dia cukup hati-hati dalam menyembunyikan kerahasiaannya terkait “alirannya”. Aku sendiri mengira-ngira, sepertinya “si dia” pun ngeh kalau aku tak sepaham dalam ber”mahdzab”.

Namun, kami berdua saling menjunjung sikap toleransi, tenggang rasa serta kesetiakawanan. Tak pernah sekalipun menyinggung soal “perbedaan-perbedaan” itu, kami lebih meninggikan sisi-sisi kesamaannya. Karena saat ini bukan saat yang tepat untuk berdebat dan adu argumen. Kami punya kedewasaan berpikir dalam memutuskan sesuatu yang kami yakini merupakan pilihan terbaik. Apalagi aku, harus empan papan sebagai member BMC, untuk menebar semboyan “BMC Sejatinipun Seduluran”.

Pukul 02.35, saat kami memungkasi dialog serius tapi santai ini. Kurebahkan punggungku senyaman mungkin di jok Aldilla, karena mesti menghimpun tenaga. Sabtu dinihari besok bersiap melakukan perjalanan panjang dan lama kembali, Rembang-Sidoarjo.

Matahari mulai menyembul di ufuk timur ketika bus berdaya 360 HP ini menjejak daerah Banyu Putih. Kecepatan jelajah Pak Rokhim biasa-biasa saja. Bisa jadi, karena permasalahan semalam telah memadamkan api determinasinya. Tak ada lagi aksi injak gas dalam-dalam. Meski begitu sempat mengasapi bus malam yang tercecer dari kabilahnya, yakni New Travego LE-350 dan Handoyo Hino RK.

Ada sedikit kelucuan yang dapat dikisahkan. Saking lambatnya pergerakan NS 19, NS 18 yang semalam ditolong hilang kesabaran saat menguntit di belakangnya. Alhasil, disalipnya armada langsiran 2008 ini. Namun, menyadari kekeliruannya yang dianggap ngelunjak, NS 18 pun minggir ke salah satu SPBU. Tentu bukan untuk mengisi solar, tapi memberi jalan NS 19 agar bisa ke singgasana depan kembali.

Bus makin tak bisa dipacu lebih kencang, karena pagi hari adalah jam tayangnya para cebong (anak kodok=istilah para sopir untuk motor) keluar dari kolam. Sempat menyalip armada pariwisata Kalisari berbaju Setra Selendang Adi Putro dan bus Demak, Pulung Sari, sebelum akhirnya jam 08.35 mendarat di pool Karanganyar, beriringan dengan Super Eksekutif HS 182, NS 01.

Tinggal 10-an penumpang yang tersisa untuk tujuan Pati ke timur. Di ruas Kudus-Pati sempat berpas-pasan dengan Nusantara London Bridge dan Haryanto yang hendak pulang ke garasi Kudus. Dua bus bumel, Indonesia dan Sinar Mandiri meledeknya dengan menyembur asap hitamnya ke wajah Setra ini. Jelas-jelas NS 19 kehilangan muka menahan malu, sesiang ini masih bekerja dan tampak terhuyung-huyung menyelesaikan misinya, menuntaskan trayek Daan Mogot-Rawamangun-Lasem.

Dan trip-ku paripurna di angka 10.24, saat kuinjak tanah kelahiranku, bumi Dampo Awang tercinta.

Ugh…otot-otot terasa capai meski semalaman dimanjakan ayunan suspensi yang highest rank di kelasnya ini. Kini, aku merekontruksi ulang mindset bahwa tak selamanya naik bus-bus solorun tanpa ada teman se-PO akan merepotkan bila terjadi trouble di jalan. Untuk menghindari hal yang demikian, lebih aman memilih bus yang banyak konco-konconya.

Tapi nyatanya, peristiwa tadi malam seolah menggugatnya. Biarpun punya teman seiring sejalan, saling berkonvoi satu di depan lainnya, namun atas nama asas solidaritas, “problematika” yang dialami salah satu armada di jalanpun bisa sukses menodai rapor biru pelayanan terhadap penumpangnya, yakni molornya waktu tempuh.


====================================

Memang, kesetiakawanan itu mahal harganya…

2 komentar:

  1. Menurut mas didik, gimana solusi terbaik untuk kasus di atas..?
    apakah hal yg dilakukan oleh armada PO tsb sudah sewajarnya , atau ada cara lain yg bisa ditempuh tanpa mengorbankan kepentingan penumpangnya ?
    soale penumpang kan berlainan kepentingannya , ada yg santai , ada yg dikeejar waktu, kasian kan kalo harus terlambat ari estimasi waktu yg sudah dibayangkan ..?
    Pernah nggak mas didik sebel mengalami hal yg demikian /?

    BalasHapus
  2. berat ya.... sopir ketemu penumpang kan belum tentu sebulan sekali atau malah setahun sekali .. lha kalo ketemu rekan sesama sopir kan intensitasnya pasti lebih dari sekali sebulan... apalagi pendaringannya sama... ya penumpang musti sabar, ...
    tetapi akan lebih bagus lagi jika ada SOP untuk hal ini...misal maksimal 30 menit, lepas itu ya ditinggal saja... win win solution

    BalasHapus