Kamis, 01 Juli 2010

Karena Kesetiakawanan Itu Mahal Harganya (2)


Setelah berpamitan dengan duo member of BMC Jabodetabek itu, kususuri selasar panjang armada The New generation of Setra untuk mencapai bagian rear cabin.

Saat hendak menghempaskan tubuh…alamak!!!, guyonanku jadi kenyataan. “Si dia” bermukim di bangku 29, persis di sampingku. Seketika itu pula suasana hatiku bercampur aduk. Antara percaya tak percaya kok ndilalah berjodoh dengan komunitas seberang, senang sebab malam ini bakal jadi malam yang mengasyikkan, (andai saja benar) bisa duduk bersebelahan dengan sesama buslover, harap-harap cemas dikarenakan kali ini harus berhadapan langsung dengan orang yang berlainan “bendera” dan juga dikungkung kebingungan untuk bersikap. Haruskah dengan “tetangga baru” aku nanti memasang tingkah cuek bebek, pura-pura tak tahu, ataukah mengulurkan tangan menjalin solidaritas, ataukah mengajak berkonfrontasi tentang “mahdzab” yang dianut.

Ah, mengapa aku terjebak dalam primordialisme sempit begitu. Sekarang ini, aku dan dia senasib sejalan, diikat dalam kesamaan armada , dipersatukan oleh satu jurusan dan berteduh di atap yang serupa, NS 19. Selama ini dalam setiap perjalananku, sebisa mungkin mengakrabkan diri dengan teman sebangku, tak membedakan usia, gender, kelas sosial ataupun dinding kesukuan. Karena bagiku, kita bukan lagi pribadi nafsi-nafsi, namun telah dibangun menjadi keluarga sesaat oleh bus yang hendak membawa kita pada tujuan akhir masing-masing.

Kali ini kutanggalkan dulu “baju kebesaraanku”, BMC. Kalau ada kesempatan, pasti “si dia” akan aku ajak bertegur sapa, berkenalan dan ngobrol tentang apa saja. Toh, tak ada ruginya berteman dengan siapapun, bukan?

Tapi tetap kuingat yel-yel salam damai, “Elu asyik gua santai, elu ngusik gua bantai”. (Hehe…just joke)

Bis berkode lambung HS 184 ini melenggang keluar meninggalkan sarang persinggahannya. Beruntung mendapatkan “Raja Singa” yang relatif muda, tak setua HS 157 yang kunaiki sebelumnya. Performanya masih mumpuni dan suspensi udaranya cukup mentul-mentul untuk menopang kenyamanan penumpang.

Herannya, belum lama take off, “si dia” sudah menjulurkan selimutnya dan memejamkan mata. Memang, aku belum sempat “say hello”, tapi hal itu membuatku bimbang. Jikalau benar dia punya darah bismania yang terbenam dalam urat nadinya, itu bukanlah ciri-ciri seorang bismania. Sudah jamak lumrahnya, manusia-manusia aneh itu pasti akan menikmati perjalanan di atas bus dengan menyimak live show apa saja yang ada di depan, di dalam, di samping atau (kalau bisa) di belakang bus.

Tapi, yang satu ini malah kebalikannya. Jangan-jangan, “si dia” bukan anak sebelah yang Mas Riko dan aku maksud. Itu hanya soal kemiripan wajah saja. Masa bodoh ah, mau apapun yang diperbuat, itu urusan dia. Aku harus hargai dia sebagai penumpang.

“Mas, mau kemana?” sapaan seseorang di seberang lorong mengagetkanku, saat roda-roda bus hendak memasuki gate entry Pedati, Prumpung.
“Rembang Mas, sampeyan?” balasku.
“Loh, sama Mas, cuma aku turun Lasem.”

Ternyata, bukan aku yang mendahului membuka “forum dadakan”. Inilah enaknya kalau orang satu kampung halaman dipertemukan dalam satu bus, jadi cepat intim. Dari perbincangan ringan, akhirnya aku tahu bahwa kenalan baruku itu adalah orang yang profesinya bergelut dengan batik Lasem. Sehingga aku berhasil menguak cerita dan seluk beluk tentang dunia batik tulis Lasem yang adiluhung itu. Bahkan, beliau mengajakku untuk mengunjungi galery batiknya yang tak jauh dari pool pusat PO Tri Sumber Urip.

Bis pun terus berlari, memamerkan dominasinya. Soal attitude pengemudi-pengemudi besutan Pak Hans, tak usah ditanya lagi. Full speed dan ngeblong abis, menyibak lalu lalang pengguna jalan. Bagi penggila kecepatan dan Pantura race interest, nama HS dan CN selalu masuk topchart “the speed that you can trust”. Dan itulah salah satu pasal yang sanggup membunuh kebosananku meski sebagian besar turing mingguanku kuhabiskan bermalam di dalam “omah mlayu” PO Nusantara.

Sayang, laju Scania K124iB tersendat di daerah Ciberes. Tentu bukan karena keisengan kru untuk mengintip aktivitas terlarang di dalam kompleks warung remang-remang yang berderet di pinggir jalan Pantura Subang. Bukan pula untuk memelototi wanita-wanita penggoda syahwat lelaki yang memajang diri di depan posnya, menebarkan aroma BB17+ + dengan busananya nan seronok dan dandanannya yang menor. Melainkan adanya proyek perbaikan jalan di sekitar Pasar Ciasem, yang buntut kemacetannya telah memanjang hingga mencapai “black area” ini.

Pelan tapi pasti, bus yang bernopol K 1436 BB bisa memindahkan posisinya ke depan. Kendaraan makin berjubel dan terlihat makin tak terkendali etika berlalu lintasnya. Yang dari belakang menyodok dengan mengambil jalur berlawanan (arah Jakarta) sedangkan yang berada di jalur yang benar mulai mengambil lajur paling mewah (mepet sawah) alias bahu jalan. Tak terkecuali NS 19 ini.

Dipandu NS 01 di depannya yang tadi berhasil menyusul, diserobotnya jalan tanah yang kondisinya cukup labil. Karena sering diterjang aneka ria mobil roda empat ke atas, kontur tanahnya jadi tak seragam, naik turun. Di satu sisi membentuk cekungan, di sisi yang lain jadi gundukan. Bus pun oleng kanan kiri dan ajrut-ajrutan, karena nekat mengambil jalan yang mestinya tidak safe lagi buat dilewati.

Sedikit demi sedikit, akhirnya bisa bergeser hingga di depan kantor Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB Padi) Sukamandi. Sampai di sini, barisan NS 01 dan NS 19 benar-benar berhenti. Aku pikir memang stag karena kemacetan demikian akutnya. Kubaca jam yang nangkring di kiri depan interior, 21.15. Kuputuskan untuk tidur, karena mata tak kuat lagi melawan musuh biologis yang berupa kantuk. Zzz…zzz…zzz…

Kurasakan bus diam tak bergerak dan lambungku berteriak minta dipenuhi disebabkan siang harinya melalaikan ritual lunch. Kubuka mata, kulihat jam digital memampangkan angka 23.11, menelisik sekeliling dan haaa??? Hampir dua jam tak ada perubahan, masih terdampar di seberang BB Padi, Sukamandi. Di samping kanan, antrian kendaraan masih mengular, meski kondisinya padat merayap. Trio Tegal-an – Sinar Jaya, Dewi Sri dan Dedy Jaya -- bergantian minta permisi lewat. Di depan, pemandangan masih diisi pantat NS 01. Jangan-jangan NS 19 ini sedang trouble. Tapi kok tak ada tanda-tanda ada perbaikan? Mengapa jalur paling kiri tetap tak bergerak?

Entahlah apa yang terjadi. Kulanjutkan acara my sleeping sleeping chicken, meksi badanku mulai bergetar dibekap kelaparan yang amat sangat dan kedinginan. Karena tak ada lagi yang kuharap, selain menenangkan diri dengan beristirahat.

Nyala lampu kabin yang terang kembali membangunkanku dan penumpang lain. Sudah sampai RM Taman Sari rupanya. Ck ck ck…pukul 00.40, berarti telat 3 jam dari biasanya.

Ada sedikit pemandangan yang menghiburku dari kegalauan perjalanan ini. Di samping NS 19 terparkir armada terbaru PO Haryanto, MB OH 1526 berjuluk The Phoenix. Kok jam segini baru sampai sini juga ya?
Belum sempat menduga-duga jawabannya, The Sweet Black Red itu malah menjauh dan meninggalkan aku yang takjub terkesima memandang sosoknya. Kapan ya bisa nyicip legitnya si Phoenix itu?

Menu hidangan yang disajikan sudah dingin, hambar dan tak lagi mengundang selera. Demi memenuhi aspirasi perut, kugelincirkan beberapa suap nasi ke dalam kerongkongan.

Saat menyantap makan kemalaman, datanglah NS 18 di belakang. Tapi kok aneh perujudannya? Bumper depan lepas dan tak terpasang lagi di tempatnya. Seakan ompong tanpa gigi. Apa yang gerangan terjadi dengannya?

Kutanyakan pada driver I Nusantara, yang tengah merokok di teras rumah makan.

“NS 18 kenapa, Pak?”
“Lha ini tadi Mas yang membuat repot. Waktu ambil kiri, roda belakangnya terperosok ke dalam lumpur dan apesnya chasisnya nyangkut, bus tak mau dimajukan lagi. Terpaksa, kita nungguin sambil mencarikan jalan keluarnya.”
“Gimana caranya tadi, Pak?”
“Minta tolong truk tronton yang lewat untuk menariknya, Mas….”

Duh, pantas saja berhenti lama sebagai wujud solidaritas sesama koleganya. NS 18 seri HS 173 ini tho biang keladinya…

2 komentar:

  1. Wah...gak pegel nih mas ..
    tiap minggu ya Sulang Jkt PP ??
    Kapan2 kalo lagi di Jakarta, pengen dong mudiknya bareng mas didik ??

    BalasHapus
  2. he he he Ciberes Subang mah bukan 'black area' mas.. tapi 'Red Area' .. hi hi hi pisss

    BalasHapus