Rabu, 14 Juli 2010

(Tak) Banyak Jalan Menuju Rembang [Bagian Ke-2]



Pukul 14.25, kakiku sudah berdiri di halte depan Polres Jakut. Akhirnya aku berketetapan untuk tetap pulang kampung via Rawamangun. Keluarga adalah segalanya, itulah pertimbanganku.

Tak lama berselang, berhenti bus kota PPD P43. Bus built up “hibah” dari negeri Jepang segera kunaiki. Entah bermesin Mitsubishi, Hino ataukah Isuzu, yang pasti mengusung tema low deck. Baru separuh dari kapasitas kursi terpenuhi, tapi tak mengurangi kegarangan pramudi untuk “meloncatkan” armada batangannya ini. Tapi kurasakan ketidakberesan pada sistem transmisi. Tiap kali oper gigi, terasa susah dan perlu dipaksa ketika shift up maupun shift down.

Dan momok ibukota itu menyergap kembali. Di daerah Plumpang dihalang kemacetan. Berulang kali bus bertarif jauh dekat Rp2.000,00 ini dalam posisi stop go sembari mengeruk calon penumpang. Kondisi lalu lintas padat merayap, hanya melaju di kisaran 5-10 km/ jam.

Tiba-tiba, ggrraakkkk…terdengar suara kasar dari kolong. Grreekk…bus bertrayek Cililitan-Tanjung Priok ini langsung shut down. Tak ayal, kendaraan lain dibelakangnya menyalakkan klakson keras-keras karena berhentinya bus ini tepat di tengah jalan di seberang kantor TMMI, Sunter. Inikah tanda-tanda keapesanku?

Sayang seribu sayang, bus yang mulanya didatangkan dalam status seken namun terurus ini, semakin amburadul perawatannya di tangan manajeman “plat merah”.

Terlihat kru bus mengambil botol air kemasan 1,5 liter yang (sepertinya) berisi oli transmisi. Dituangnya cairan berwarna kuning emas ke dalam gear box di bawah kabin depan. Di starting up, dan jalan kembali.

Namun, kemacetan kian parah. Dari atas fly over depan Mall of Indonesia (MoI), terlihat kendaraan tersendat hingga seputaran pabrik Astra Honda Motor. Sudah lebih setengah jam, namun bus kota ini belum bisa beranjak dari pusaran traffic jam, masih terjebak di daerah Cempaka Putih. Duh, tanda-tanda kesialan itu semakin kentara…

Perlahan tapi tak pasti, dengan kepayahan perempatan Utan Kayu dicapainya, saat jarum waktu menunjuk angka 15.25. Perkiraanku, bakalan miss dengan schedule Malino Putra atau Kramat Djati Malang, pemberangkatan jam tiga sore. “Ah, tak masalah, masih ada alternatif yang lain, so don’t be panic, be calm,” aku menenangkan diri.

Kusambung approaching-ku ke terminal Rawamangun dengan Metromini 49. Beruntung, di depan Universitas Negeri Jakarta (UNJ) hingga TPU Utan Kayu, lalu lintas ramai lancar. Biasanya, sewaktu ada prosesi pemakaman, macetnya juga ngga ketulungan.

15.34 saat aku menapak pintu masuk terminal yang berlokasi di Jalan Perserikatan No. 1, Jakarta Timur. Overtime dari waktu tempuh normalnya, yang kurang lebih 45 menit.

Di lapak sisi utara, diisi empat armada Pahala Kencana (PK). Masing-masing Marcopolo Denpasar, Proteus Malang, Jupiter Jogja dan Setra Bojonegoro.

“Hmm…ada dua bus yang bisa kupilih, Denpasar atau Malang. Simpan dulu ah…”

Kuarahkan kaki ke midle grid. Siapa tahu ada Malino Putra berbusana baru nge-line. Ternyata nihil, sudah berangkat. Flying Eggs Malang juga telah raib, yang tertinggal dua Kramat Djati Ponorogo dan satu lagi Palembang. Pupus sudah harapan berburu Jupiter berlampu Marcopolo maupun air suspension Kutelusuri terus sampai depan. Duh, LE-450 Banyuwangi dan Karina Super Eksekutif 420 juga tak ada. Hal ini semakin mempersempit pilihanku.

Apek jan apek tenan! Gara-gara momok itu, aku kandas mengincar target bidikan. Terpaksa, balik ke paddock Ombak Biru, berencana menumpang Denpasar II. Baru saja melangkah, oalah…MB OH 1525 Euro III itu dilepas keberangkatannya, dengan banyak seat yang tak berpenghuni.

Mau tak mau, suka tak suka, lantaran tinggal satu-satunya, angan-angan ini kusandarkan pada bus Malang II.

“Mau kemana, Mas?” sapa personel agen PK saat aku memasuki blue area.
“Mau ketemu Mas Yudi, Mas,” jawabku.
“Dia ada di depan, Mas…”

Kuhampiri Mas Yudi yang sibuk mengatur penumpang Jogja, di samping New Travego ala Tentrem, B 7198 XB.

“Mas, turun Rembang ikut bus Malang ya!” pintaku.
“Maaf Mas, sepertinya kok habis,” balasnya diiringi gestur penuh keramahan.
“Lho, masih banyak yang kosong itu, Mas,” kilahku seakan tak percaya sambil menatap bodi bikinan karoseri Ungaran yang masih ngglondhang.
“Hmm…Ayo ke loket saja, Mas. Saya cek dulu, barangkali masih ada kursi,”

Kuikuti langkah Mas Yudi hingga di depan loket dan selanjutnya memeriksa daftar manifes penumpang. Hingga dia mengeluarkan pernyataan :

“Benar Mas, sudah pesanan semua. Kalau Mas ngga telat, tadi bisa saya ikutkan bus Denpasar …”

Astaghfirullah…Seketika lemas dan lunglai lutut yang menopang kaki ini. Bus apalagi yang bisa kuandalkan, setidaknya sebelum jam 5 pagi sudah bisa menurunkanku di Kota Rembang. Ingin rasanya menggerutu pada diri sendiri, ternyata pertaruhanku ke Rawamangun adalah keliru. Kubayangkan NS 39 Pulogadung jam segini sudah masuk pool Perintis Kemerdekaan dan kemudian lepas landas menuju Cepu dengan habit balapnya.

Ternyata, nasib tak mujur terus mendekapku. Apa kata anakku nanti kalau bapaknya gagal menemaninya saat naik pentas. Hiks…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar