Kamis, 29 Juli 2010

Dari Pulogadung, “Mendaki” Dieng (4)


Indahnya “Sejatinipun Seduluran”

Tuntas sudah jerih payah kami “merangkak” sejauh 500 km dari emplasemen Pulogadung menuju ujung atas Dataran Dieng. Lelah, capai, busleg, badan meriang serta masuk angin, sirna dan menguap dari kamus perjalanan kami. Yang tertulis cuma frasa-frasa keceriaan, kebahagiaan dan kegembiraan. Kami habiskan durasi kebersamaan, kemesraan, canda tawa, serta keakraban sesama Dieng-ers dengan menikmati beragam pesona alam yang ditawarkan.

Inilah tempat-tempat monumental yang menjadi saksi bisu aktualisasi bidak-bidak BMC dalam mengibarkan slogan “Sejatinipun Seduluran”.

1. Dieng Plateu Theatre

Dengan waktu tayang kurang lebih 30 menit, kami disuguhi pemutaran film dokumenter tentang kegunungapian Dieng.





2. Telaga Warna, Telaga Pengilon dan Gua Semar

Sasaran kedua yang kami visit adalah kawasan Telaga Warna dan Telaga Pengilon. Kedua tandon air ini letaknya berdampingan. Dinamai Telaga Warna karena telaga ini memantulkan berbagai warna. Kandungan belerang yang ada di dalamnya memantulkan warna kehijauan, sedangkan ganggang merah yang ada didasar telaga memantulkan cahaya kemerahan dan jernihnya air telaga yang berwarna biru muncul dari pantulan gradasi sinar matahari. Nama Telaga Pengilon sendiri berarti telaga cermin. Air di telaga ini sangat jernih dan bisa memantulkan bayangan benda yang ada di sekitarnya.





Di kawasan obyek wisata Telaga Warna dan Telaga Pengilon juga terdapat beberapa gua. Salah satu di antaranya adalah Gua Semar. Panjangnya kira-kira 4 m dengan dinding batu, dan biasanya digunakan untuk bermeditasi. Selain Gua Semar, ada bebarapa gua lain yaitu, Gua Sumur dan Gua Jaran. Di dalam Gua Sumur terdapat satu mata air yang disebut “Tirta Prawitasari”.



3. Kawah Sikidang
Selanjutnya Kawah Sikidang. Sikidang adalah nama kawah di Dataran Tinggi Dieng yang paling terkenal karena lubang keluarnya gas selalu berpindah-pindah di dalam suatu kawasan luas. Karena seringnya berpindah-pindah seperti rusa/ kidang, maka orang-orang sekitar menyebutnya kawah sikidang (anak kijang).



4. Kompleks Candi Dieng
Lokasi terakhir yang kami singgahi adalah Kompleks Candi Dieng. Di area ini berdiri lima candi, yakni Candi Semar, Arjuna, Srikandi, Sembadra, dan Puntadewa. Candi-candi yang tersebar di kawasan ini bercorak Hindu.

Menurut cerita yang beredar di masyarakat, pada abad ke-7 Masehi, ada seorang putri bernama Dewi Sima. Ia adalah keturunan Dinasti Sanjaya yang memerintah Kerajaan Kalingga, dengan gelar Ratu Sima. Kerajaan ini dikenal sebagai kerajaan yang bernafaskan Hindu. Pada masa pemerintahannya, Ratu Sima mendirikan candi-candi yang ada di tempat ini sebagai bentuk pemujaan.

Ratu Sima tidak hanya mendirikan satu kompleks candi. Tetapi ia juga mendirikan beberapa candi lain, di antaranya Candi Gatotkaca yang terletak di bukit Pangonan, Candi Dwarawati yang berada di kaki Gunung Prahu, dan Candi Bima yang merupakan candi terbesar di kawasan wisata Dieng Plateu. Candi-candi yang berada di luar kompleks pada umumnya letaknya menyendiri dan dikelilingi pepohonan.




---
Penanda waktu telah menunjuk angka 12.30, yang berarti warning bagi kami untuk segera meninggalkan Dieng. Ada satu obyek lagi yang tadi tertunda dikunjungi sebelum memburu waktu kedatangan armada Nusantara yang akan menghantar Mas Riko ke Semarang, yakni Kalianget.

5. Taman Rekreasi Kalianget

Dengan bus yang sama, kita di-dropping ke Kalianget, yang lokasinya persis di pinggir jalur wisata Wonosobo-Dieng.



Taman Rekreasi Kalianget menyediakan pemandian air panas alami, dimana air tersebut mengandung asam sulfat yang cukup tinggi sehingga berkhasiat untuk menyembuhkan berbagai penyakit kulit. (Bukan berarti, kami punya penyakit kulit lho…hehe)

Di sini Dieng-ers melakukan relaksasi badan setelah hampir seharian penuh berkutat dengan aktifitas fisik, dengan berendam di dalam bathup yang dituangi air panas. Tubuh pun segar serta rileks kembali, hilang sudah kepenatan karena kami harus on fire lagi sebelum menjalani turing balik ke Jakarta.

Jarum jam semakin mendekati setengah tiga. Kami pun beres-beres dari acara mandi ini demi Mas Riko, yang sudah tak sabar dan khawatir ketinggalan kereta, eh, bus.

Saat “melantai” kembali ke Wonosobo, Mas Riko dan Mas Yanuar turun di jalan yang terdekat dengan agen Nusantara. Sementara yang lainnya melanjutkan perjalanan menuju terminal.

Dan di Mendolo ini, berakhir pula pendakian bersejarah ke Dieng yang diemban “massa akar rumput” organisasi BMC ini.

Mie Ongklok, Penggenap Ritual Turing

Turing takkan lengkap tanpa melewatkan wisata kuliner. Demikian prinsip travelers sejati.

Beruntung, sekembalinya mengantar kepergian Mas Riko, Mas Yanuar membawa armada Suzuki Carry pick up-nya. Atas referensi dia pula, kami diusung beramai-ramai untuk menikmati kuliner trade mark Kota Wonosobo. Apalagi kalau bukan Mie Ongklok Pak Muhadi.



Mie Ongklok adalah salah satu makanan khas daerah Wonosobo yang memiliki cita rasa unik. Mie dengan kuah kental dan sayur kubis ini sangat enak untuk disantap apalagi dengan tambahan beberapa tusuk sate sapi.



Oh iya, ada beberapa selebriti pernah singgah di kedai Mie Ongklok Pak Muhadi, sebut saja Angelina Sondakh dan Mario Lawalata. Cukup populer, kan?



Akhir Kebersamaan

Halimun pekat telah turun, menyembunyikan keteduhan Dataran Dieng. Hawa dingin mulai merasuk kulit, mengusik tubuh untuk segera beraksi mengusirnya. Siang telah menuntaskan garis edarnya, dan senja bersiap menyambut kedatangan malam.

Cahaya matahari mulai redup duka mengiringi kesepian yang menyelimuti setiap jengkal tanah Terminal Mendolo, setelah ditinggal sebagian penghuninya.

Mas Hans, Mas Himawan, Mbak Asti plus Mas Hadi, Mbak Tya dan Mas Rifky telah bersiap di dalam armada 18 J. Armada yang sama, yang akan membawa mereka merapat kembali ke ibukota. Tak selang lama, tangan-tangan dilambaikan seirama “cambuk” Mas Agung menghela pedati Batavia Express untuk meninggalkan Mendolo.

Betapa kejamnya seorang algojo yang bernama sang waktu itu. Belum puas kami merasakan damainya nilai kebersamaan, begitu cepat ia memenggal kemesraan kami. Baru saja kemarin malam bertemu, malam ini kami harus berpisah kembali.

Tinggal penulis bersama Mas Adit dan Kang Asep yang masih tertinggal, menanti bus Budiman Wonosobo-Tasik-Bandung sebagai tunggangan estafet perdana trip menuju Jakarta.



Sembari menunggu jam keberangkatan, kami bertiga mengisinya dengan saling mencurahkan isi hati. Betapa momen-momen indah ini begitu singkat berlalu. Kami tak ingin, kesan mendalam pendakian ke Dieng hanya cukup sampai di sini.

Sebisa mungkin, ritual turing bersama ini akan kami rutinkan, tentunya tanpa ikatan interval berkalanya. Cukup insidental saja.

Kemudian, bertiga menajamkan rencana yang telah diwacanakan sebelumnya. Turing berikutnya akan kita sodorkan. Cijulang ataukah Ujung Kulon?

Biarlah sementara waktu jawaban itu mengambang, belum ada ketok palu keputusan. Toh, ada forum KPK Pulogadung, tempat di mana kami boleh bermimpi dan berangan-angan selaku bocah bismania.

Bukankah turing bareng ke Dieng berawal dari mimpi-mimpi sederhana itu, dan selanjutnya, kita pun sanggup mewujudkannya?

Special thanks to :
- Allah SWT, atas segala kemudahan
- Keluarga besar BMC
- Poniman Gengs : Mas Adit, Mas Hans, Mas Asep, Mas Bugi, Mas Hadi, Mas Pamuji, Mas Rifky, Mas Himawan, Mas Andi, Mas Prima, Mas Rully, Mbak Asti, Mbak Tya dll, terus jaga kesolidan dan kekompakan
- Mas Yanuar dan Mas Faisal, BMC Wonosobo, atas sambutan hangatnya
- Mas Agung dan Mas Agus, kru 18 J atas pembelajaran hidup
- Pak Royan, pengemudi bus mini
- Pak Bambang, agen SJ Wonosobo
- Bu Dedeh, agen Budiman Wonosobo
- Dan semua pihak yang membantu kelancaran turing ke Dieng

Tidak ada komentar:

Posting Komentar