Kamis, 15 Juli 2010

(Tak) Banyak Jalan Menuju Rembang [Bagian Ke-3]


“Gimana kalau naik bus Bojonegoro, Mas?” Mas Yudi menawarkan solusi sekaligus meredam kekalutanku.

“Hmm…maaf Mas, busnya tak senyaman dan secepat bus Malang” argumenku untuk menolaknya secara halus. Benakku sudah menyudut pada pangkuan NS 19, meski efeknya besok bakal sampai di tujuan tak sesuai harapan.

Mas Yudi hanya tersenyum dan sepertinya mengakui bahwa penumpang yang well educated soal daleman PK prefer dengan bus-bus timuran.

“Kalau Mas mau, ini kursi 1C belakang sopir masih kosong. Tinggal ini lho, Mas,” dengan gaya bak seorang marketing handal, dia berusaha mempengaruhiku.”Mas, bus ini juga ngga mampir Cikarang. Langsung bablas, semua penumpang naik dari sini.”

Kutatap lebih lekat bus berjurusan Rawamangun-Rembang-Cepu-Bojonegoro tersebut. Secara tampilan cukup manis, model besutan Adi Putro memang tak lekang dimakan zaman. Terlebih dengan sekawanan kupu-kupu yang menempel di dinding lambungnya, berbalurkan body painting dengan kombinasi warna nan menawan, seakan menyembunyikan keuzuran mesin dan reputasi armada divisi Kudus yang kuanggap “nothing special”.



“Ya sudah Mas, kalau adanya ini…” pungkasku sebab aku tak mau lagi membuang-buang tempo dan kini saatnya bersahabat dengan keapesanku.

Pukul 16.52, bus berkode HT 723 pun menggunting pita start, berbarengan dengan Proteus. Tak banyak yang kuharapkan dari armada langsiran awal 90-an ini, selain lancarnya jalan Pantura. Bis bergerak perlahan, say goodbye pada petugas terminal, dan berbalik arah ke Jalan Pemuda.

Baru saja berlari, Neoplan OBL B 7168 NR menyalipnya tanpa ampun dari sebelah kiri. Wuss…

Justru momen inilah titik balik dari underestimate-ku terhadap “The Butterfly” ini. Pancingan “Si Gajah” rupanya berhasil membangkitkan gairah “Si Kupu-Kupu Malam”. Dihelanya dapur pacu Mercedes Benz jadoel ini untuk melebarkan kepak sayapnya.

Tak selang lama, Smiling Neoplan dengan trayek Jakarta-Solo itu gantian di-overtake dari sektor kiri. Wuss…

Sip… mantap, baru sebentar berangkat sudah disuguhi adu balap.
Dan benar adanya, karakter Kudus-an style mengalir di darah pengemudi pinggir ini. Kalau di-compare, mirip dengan Pak Khamsin, “kusir” Marcopolo Denpasar yang kutunggangi sebelumnya. Bergenre speeder, suka nempel-nempel kendaraan dan lincah bermanuver.

Di tol Jakarta-Cikampek, benar-benar kuacungkan jempol dan layak disanjungkan nilai nyaris sempurna, 9 dari skala 10 atas keterampilan mengemudinya. Dalam kepadatan lalu lintas di saat bubaran jam kerja, beliau memamerkan senioritasnya di jalan raya. Rajin mencari celah kosong serta bernafsu tinggi untuk terus memimpin di depan.

Dan aku pantas berterima kasih atas hiburan yang disajikan olehnya, berupa skor yang cukup telak setelah menyungkurkan lawan-lawannya. Tak kurang dari Sinar Jaya 90VX, Laju Prima Marcopolo, Rhema Abadi, Raharja (tumben jalan?), SAN Phoenix, ALS, Bandung Ekspress Wisata, Prima Jasa Garut, Rosalia Indah 144, Budiman E327, Ramayana B, dan Gunung Mulia 74, diasapinya.

Di ruas Cikampek-Pamanukan, bersama Kramat Djati Orbits dan Rosalia Indah Evolution 135 mengkreasi laku solidaritas yang ciamik. Dipimpin Hino RG-nya Rosin, ketiganya beriringan, berkonvoi tanpa ada keinginan untuk mencederai, saling memandu “teman sesaat”nya di belakang. Hanya rumah makan yang akhirnya memisahkan kebersamaan ini.
Kini aku berani melambungkan asa, rasa-rasanya limit 12 jam Jakarta-Rembang bisa ditembusnya.

Dan K 1565 AB ini juga melakukan meal break di kedai makan UUN, pada jam 20.15. Parkiran tampak didominasi armada “Blue Waves”, yang merefleksikan hegemoni Pahala Grup di lintasan Pantura. Proteus HT 913, Jupiter Jogja, New Travego TriUn Tangerang-Bojonegoro, Setra Kupu-Kupu-ku dan Setra livery Ombak mensejajarkan diri di depan beranda, menjepit dua armada Muji Jaya, MD 22 dan MD 77.

Setengah jam kemudian, jatah driver tengah mengendalikan kinerja OH 1518 ini. Dan aku harus menahan nafas kembali, karena metode injak gasnya tergolong malu-malu. Bahkan, dari obrolan dengan asistennya, kumenangkap kesan bahwa sopirnya begitu njlimet soal fuel calculation. Bahkan, katanya, mesin yang sudah di-on-kan dari jam satu siang akan berpengaruh banyak terhadap konsumsi bahan bakar. Wah, jangan-jangan etape Pamanukan-Rembang jadi ajang pengiritan solar?

Baru saja beruneg-uneg dalam hati, Shantika Grey Hi-Deck mencundanginya. Oh me…

It’s sleep time…Berhubung semalam aku hanya tidur dua jam, serta tak ada tontonan pembukaan World Cup 2010 dari televisi berdimensi 14 inchi yang nangkring di langit-langit depan, kini saatnya menikmati ayunan empuk leaf spring chasis OH King ini. Kujulurkan selimut tebal, menepis hawa dingin dari louver AC dengan merek Thermo Air. Kurebahkan jok Alldila yang telah usang ini, meringkuk dalam hangatnya perjalanan di atas bus eksekutif.

Seingatku, aku hanya dua kali terbangun. Pertama di daerah Losari yang sedang direhab jalannya, sehingga jalur barat dipakai bersama untuk dua arah. Pasalnya, penumpang sebelahku membuang badan ke arahku lantaran bus hampir adu muka dengan truk petikemas, saat “The Butterfy” memaksa menyalip spesies yang sama, Kupu-kupu dari Bumi Andalas, ALS. Meski dag dig dug, aku sempat takjub dibuatnya. Wah, nyali besar juga rupanya. Dan yang kedua saat beberapa penumpang turun di Kalibanteng, Semarang. Lain dari itu, benar-benar full kuisi dengan gelaran mimpi-mimpi indah, karena tak lama lagi halaman depan rumah akan segera kupijak.

Indra penglihatan ini terbuka kembali saat lampu kabin dinyalakan. Bus yang mempunyai kecepatan 6 speed ini melakukan “wajib lapor” di kantor pusat Kudus. Dan prasangka burukku menguap saat kutahu Proteus Malang II berhenti di depannya. Tak kukira sebelumnya, ternyata mulai dari Pamanukan hingga Kudus, bus-ku mampu mengimbangi daya jelajah divisi Malang yang kondang akan aksi banternya.

Kukeluarkan gadget lawasku. Yes…di pojok kiri bawah terpampang angka 03.14. Tinggal 1 ¾ jam lagi untuk sampai ke wisma kediaman. Dan kini tawa riang anakku membayang, karena bapaknya dapat menepati janji mengawalnya saat show kolosal dalam rangka menyemarakkan datangnya libur tahun ajaran baru.

Ada satu berkah tersendiri yang kuraup dengan diikutkan Setra Butterfly ini. Sebab aku bisa langsung turun Sulang, kota kecamatan di jalur Rembang-Blora yang dilewati bus-bus Jakarta-Bojonegoro, sekaligus titik penurunan terdekat dari rumahku. Bila saja aku di dalam Proteus, bakal mendapat tambahan kerepotan, karena kudu nyambung, dengan mencari mikrobus dari pasar Rembang untuk menuju Sulang.

Berawal dari ketidakberuntungan, kini aku jadi manusia berkalung nasib baik. Jalanan relatif lancar dan laju bus pun tak perlu dikeluh-kesahi. Aku pun dihinggapi euphoria, “Kupu-Kupu Malam” sungguh-sungguh membawaku terbang melayang, memudahkan jalan mewujudkan ekspektasiku di awal perjalanan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar