Kamis, 10 Juni 2010

Dimabuk Neoplan (2)


Berangsur bus-bus luar kota membanjiri Terminal Rawamangun. Antara jam 16.00-17.00 adalah peaktime keberangkatan pasukan-pasukan gerilya malam. Tercatat olehku Sinjay 6DX, Ramayana E3, Rosin 247 dan 278, Lorena LV130, Handoyo Ekonomi, OBL Eksekutif Jogja dan tiga member of Pahala Group.

Pukul 16.35, Neoplan pun diberangkatkan.

Celingak-celinguk…

Weih, banyak mahkluk bening dan wangi yang mengisi daftar manifest penumpang. Ternyata lifestyle mereka bukan selera rendah. Tahu bus mana yang pantas berkimpoi dengan gaya kehidupan mereka. Jika saja Mas Hendi tahu, pasti beliau oke-oke saja dan tak keberatan andai boss-nya menyuruhnya mengirim shower ke Rembang lagi dengan naik Gajah gemuk ini, meski cuma dikasih ongkos 15ribu. Hehehe…

Herannya, pengemudi I orangnya masih muda dan selengean, tak mengenakan kemeja batik warna biru, baju kebesaran Safari Dharma Raya Jakarta. Penampilannya seadanya, bahkan terkesan cuek dan santai. Sesantai jalannya B 7168 NR saat menapak jalan tol Wiyoto Wiyono dan dilanjut tol Cikampek. Aku pun langsung men-judge, memang beginilah jamak lumrahnya driving style bus-bus bumi Mangkunegaran, AAWK, menganut aliran alon-alon waton kelakon, sesuai ajaran falsafah jawa kuno.

Bahkan cara pembawaannya belum klop dengan bus yang sepertinya bukan batangannya ini. Kasar dan menghentak saat memindah gigi transmisi. Seringkali navigator memberi arahan, baik cara memenej rpm, mengerem dengan smooth ataupun membimbing manuver bus bongsor ini.

Dari mencuri dengar obrolan, ternyata sopir ini adalah sopir tembak/ cadangan setelah pramudi tetapnya mendadak berhalangan bertugas. Pantas saja, harus melewati fase adaptasi hingga km 30-an untuk mengelus makhluk langka ini. Bus-bus sekelas Luragung Jaya Cindelaras, bus kota Mayasari Bhakti, Putra Luragung, bus karyawan Hiba Utama 75, dan Prima Jasa Bekasi-Bandung berlomba mengajari metode berlari yang baik dan benar.

Barulah setelah nyetel dengan karakter armada yang dilajukannya, keluar agresivitasnya. Perlahan tapi pasti, lajur kanan dikangkanginya untuk memamerkan keofensifannya. Puing-puing kejayaan Neoplan masih bisa kurasakan. Goyangannya nyaman, tak terganggu bodyroll saat berlenggak-lenggok di permukaan aspal. Mantap, stabil dan anteng larinya, disokong kestabilan struktur monocoque yang jauh lebih unggul dibanding ladder frame.

Ini saja dalam kondisi lawas, apalagi era barunya dulu. Pasti lebih nyaman dan nyaman lagi…Pantas saja, saat masih diterjunkan sebagai bus reguler, PK dan KD menetapkan harga yang lebih tinggi untuk Neoplan ini dibanding naik varian mesin dan karoseri yang lain.

Di ruas Cikampek-Pamanukan, vonisku salah besar. Bus kian dihela dan berjalan kencang. Ck ck ck…kukira bus ini disayang-sayang, berjalan dengan penuh kehati-hatian, sebisa mungkin menghindari lubang demi keawetan perangkat suspensinya atau diharamkan nempel-nempel kendaraan lain, untuk alasan takut lecet. Nyatanya sih lain Bopeng-bopeng di jalan enteng saja dilibasnya, tanpa mengguncangkan posisi punggung para penumpang.

Salut atas “kenekatan” yang ditunjukkan drivernya. Bisa jadi bus ini wajib menampakkan eksistensinnya di jalur Jakarta-Solo. Maklum, hanya solorun, tak ada OBL lain dengan arah keberangkatan yang sama. Beragam menu dilahapnya mulai Sumber Jaya Sprinter, OBL AA 1661 CE, Sinar Jaya rasa Concerto, ATS dan Damri yang sama-sama berbaju Equator, Sinar Jaya 19Y hingga Sumber Alam Panorama DX.

2,5 jam waktu yang dibutuhkan untuk mencapai peristirahatan Taman Sari. Saat selesai dilayani makan dan aku akan menunaikan sholat…Lho, ternyata di depan mushola terparkir NS 39 dan NS 21, yang sama-sama bertujuan Cepu. Aduh…ngga enak hati kalau perselingkuhanku ke-gap kru langgananku. Dengan terpaksa ngumpet dulu, ritual wajibnya ditunda, menunggu bus-bus tersebut berangkat. (Dasar wong jowo…wong jowo…sampai segitunya menjaga perasaan seseorang. Hahaha…)

Driver utama, dengan emblem Supriyadi di seragamnya, yang kini bekerja. Walah…langsung menyerobot jalur saat keluar rumah makan meski lalu lintas sedang ramai. Ini pasti tak kalah gaharnya dengan yang pertama.

Benar juga. Dipacunya Smiling Neoplan ini sekencang-kencangnya, lincah membelah kepadatan pengguna Pantura yang didominasi truk-truk bertonase besar. Paham bahwa kaki-kaki empuknya mampu meredam getaran yang merambat ke dalam kabin, rintangan-rintangan jalan dilumatnya tanpa ampun. Jalan berlubang, bergelombang, keriting hingga jembatan patah tak dihiraukannya. Tol Pejagan pun enteng disusurinya. Bunyi riuh leaf spring dan tapak roda saat aku menunggang OH 1525 waktu mengaspal di jalan tol yang dibangun imperium Bakrie, tak muncul di dalam kabin Neoplan ini. Lebih senyap dan hening desibelnya.

Top habis gaya menyetirnya. Di tiap rute, pasti ada bus banternya. Tidak semua bus jalur tenggara Jawa Tengah itu lelet. Dan OBL ini yang membantahnya.

Tanpa pertimbangan rumit, bus eksekutif ini kusejajarkan dengan kedahsyatan OBL “XT”, PK Marco Denpasar, Akas Asri, Kramat Djati Madura, Garuda Mas, serta HS 211 dan HS 213. Tripnya begitu enak dinikmati, memompa adrenalin dan serasa berlaga di lintasan balap, berkompetisi dengan yang lain guna menjadi kampiun sesaat malam itu. Tak apalah waktu tempuhku bakal bertambah, tapi kepuasaan dilingkupi kehangatan Neoplan ini demikian tak terhingga.

Prestasi spektakulernya mencuat di etape Patrol-Brebes. Sederet korban yang didepak dari chart terdepan jadi bukti kegigihannya . Aku masih mampu merekam beberapa di antaranya. Yakni Luragung Jaya Andini, PK B 7277 WV, Mulyo Indah Antero Coach, Sumber Alam kelas ekonomi, Harum Prima, Sahabat Sika, Rosin 141, Santoso Business Class, Sinar Jaya 8DX, dan PO Sumba Putra.

Tiada perjalanan yang sempurna.

Itulah ungkapan yang tepat. Setangguh-tangguhnya Neoplan ini, ternyata ciut nyali di lapangan becek saat hujan mengguyur dengan derasnya di area Tegal hingga Pemalang. Rata-rata kecepatannya “drop”, menyesuaikan diri dengan kondisi jalan yang basah dan menggenang. Tanpa ampun, tiga armada Santoso dan Kramat Djati Royal Coach E Classic yang berjalanan beringin menyungkurkannya. Bahkan aku jadi saksi kehebatan dan sepak terjang Kramat Djati itu saat mengeblong barisan panjang kendaraan yang merayap terhalang siraman hujan lebat. Tebakanku itu KD Ciledug-Gemolong atau yang jurusan Grogol-Ngawen.

Mata tak lagi betah melek, hormon kantukku meningkat drastis distimulus bantingan lembut air supension. Pemalang-Pekalongan-Batang-Alas Roban-Weleri-Kendal-Mangkang hilang dari penglihatan.

Aku terbangun saat bus mencoba melakukan U-turn di daerah Krapyak, Semarang, untuk mengisi bahan bakar di SPBU yang bersebarangan jalan. Julur depan bus yang begitu panjang menyulitkan drivernya sehingga perlu tiga kali maju-mundur. Demikian lebarnya radius putar Neoplan ini.

Jam dua lebih sedikit, akhirnya berlabuh di agen Cipto Semarang. Aku pun turun berbarengan dengan tiga cewek petualang yang berwisata generik. Sedangkan kru sibuk meng-unloading barang-barang paket yang jumlahnya bejibun.

Duh, ternyata jalan protokol yang siang hari begitu ramai dan riuh menjelma bagai kota mati. Mana tukang ojek? Angkutan kota kok juga tak ada? Beda banget dengan ibukota, yang tensi kehidupannya begitu tinggi.

Kutelusuri tiap sudut jalan Dr. Cipto, siapa tahu memergoki Gus Gopeng yang lagi sempoyongan pulang dugem. (Hehehe…piss ya Gus).

Tentu bukan untuk mengantarkan aku ke Terboyo, melainkan kumintai tolong untuk menggandeng trio macan (manis dan cantik) ini yang tengah kebingungan mencari penginapan. Kan lumayan, jikalau satu dari tiga bidadari ini jatuh hati pada Gubernur Jateng wannabe ini.

“Mas, becakke, monggo. Badhe teng pundi tho?” sapa seseorang membuyarkan lamunanku. (Mas, becaknya, silahkan. Mau kemana?)

“Terboyo Pak.”

“Lha inggih, monggo…” balasnya dengan ramah khas logat kidul-an.

“Nopo kerso Pak, tebih sanget lho, Pak?” tanyaku setengah tak percaya. (Apa mau Pak, jauh sekali kan?)

“Lho, kulo biasa kok Mas, asring kok kulo mbekto penumpang dugi Terboyo.”(Saya biasa kok Mas, sering saya bawa penumpang sampai ke Terboyo)


Daripada berharap dalam ketidakpastian, akhirnya dengan jasa becak, aku diantar ke Terboyo. Menyusuri jalan-jalan kota Semarang yang lengang tak berpenghuni, Dr. Cipto-Widoharjo-Raden Patah-Kaligawe-Terboyo, seakan aku dan tukang becak adalah pemilik Kota Atlas malam ini. Pemandangan yang begitu indah saat bertemu dengan tiga armada Subur Jaya yang sedang menunggu penyewanya di depan sebuah lembaga pendidikan, PO Safari yang sedang ngetem di perempatan Widoharjo dan disalip Maju Makmur di Kaligawe, dari arah Purwokerto.

Aku jadi tahu, ternyata bus Semarang-Solo/ Purwokerto telah mulai mengais rezeki saat siklus waktu berputar di zona dinihari. Andai satu saat nanti aku berketetapan hati naik bus Solo lagi atau Jogja barangkali, aku tak perlu risau. Turun saja di Banyumanik, nyebrang jalan dan nyegat bus bumel arah ke Terboyo. Beres…peta mudik Jakarta-Rembang dengan estafet via Semarang kini kugenggam.

Kuhabiskan perjalanan di atas roda tiga dengan berbincang ringan. Seorang pria paruh baya asli dari Sragen, yang demi sesuap nasi untuk istri dan ketiga anaknya rela berjauhan dengan keluarga, dua minggu sekali baru bisa menemui orang-orang terkasihnya kembali. Tengah malam pun masih mencari calon penumpang, memeras keringat menghujamkan tulang, meng-goes pedal becak kesayangan demi secuil masa depan yang layak.

“Tinggal di mana di Semarang ini, Pak?” tanyaku.

“Di atas becak Mas. Pagi, siang, malam, bekerja, makan, istirahat dan tidur ya di sini, Mas. Inilah kantor sekaligus rumah saya..” jawabnya penuh sindiran sosial.

Deg, Subhanallah. Ya Allah, begitu dhaifnya diriku. Begitu banyak limpahan nikmat yang Engkau berikan, namun, sebanyak itu pula rasa kufurku pada-Mu. Kini Engkau tampakkan di hadapku, betapa aku ini seringkali lupa untuk menundukkan kepala. Selalu dan selalu, untuk menggugat kadar “kasih sayang-Mu”, aku mendongakkan kepala ke atas, menatap orang-orang yang menurutku lebih beruntung dari aku. Kini, kau tampar aku dengan perantara kesederhanaan dan kebersahajaan Bapak Becak ini. Terima kasih ya Allah, Engkau kirimkan teguran lewat hamba kecil-Mu itu.

Tak terasa, 4 km sudah jarak yang ditaklukkan Si Penghela ini. Hebat…di usianya yang telah memasuki senja, otot-otot betisnya masih enerjik untuk mengayuh “cangkul pencaharian”nya.

“Mas, ati-ati di jalan. Itu busnya. Jangan lupa, kalau busnya belum jalan, jangan mau ditarik karcis. Kadang-kadang itu calo, Mas.” ingatnya saat aku melantai dari singgasana becak.

Sekilas kupandang saat jari telunjuknya menunjuk pada sebuah bus berkelir merah putih, colour mark PO Indonesia yang sedang bersandar di pintu keluar terminal apung, Terboyo. Berstrata ekonomi dan berpapan trayek Semarang-Surabaya. Bus baru, mengunggah bentuk Marcopolo Jepit Rambut buatan Tri Sakti yang menyembunyikan kegalakan Hino FE AK8 di dalamnya. Dengan tagline “Super Boy”, kekaleman jalannya yang akhirnya meredam efek mabukku, saat semalaman sensasiku melayang-layang digoyang liuk nan genit Ratu Jerman yang bernama Neoplan. Huh…

Neoplan, Super Bus for Super People…

2 komentar:

  1. sekian lama nunggu report touring mingguannya mas Didik akhirnya muncul lagi, neoplan memang maknyus tenan mas...pernah ngerasain dimasa jayanya, bela2in naik neoplan KD Dps-Bdg baru sambung ke jakarta.

    BalasHapus
  2. Iya Mas, akhirnya jadi "gila" gara-gara Neoplan.

    Wah, andai saja ada caper Neoplan KD, bisa kita compare peformanya nih Mas. Hehehe...

    BalasHapus