Kamis, 17 Maret 2011

“Barbar Kids” Rhapsody (1)



Ekspresi hati berupa rasa kesengsem ini sebenarnya sudah lama bermula. Mungkin tiga atau empat semester yang lalu. Kalau saja bukan di-makcomblang-i sedulur BMC Muria Raya, belum menjamin aku bakal dibuat takjub terkesima olehnya. Tetapi, nyatanya kini, relung kalbuku tak sungkan menembangkan langgam kekaguman serta lirik puja puji akan sosok keberadaannya.

Kala itu, berkat uluran tangan hangat Mas Indra Walls dkk, dikenalkannya pada “si dia” yang akhirnya benar-benar mencuri perhatianku. Diperlihatkannya aku sebuah rumah besar dengan halaman luas, tergolek di pinggir jalan propinsi penghubung Kota Pati dan Kecamatan Tayu. Dipertemukannya aku dengan seorang “bapak asuh” nan agamis, berwibawa namun supel, yang tak lelah merawat dan membesarkan “si dia” dengan sepenuh kasih sayang. Dan betapa mulianya kami, selaku pelawat diizinkan menjelajahi setiap sudut “tangsi kebesaran”nya, berakrab ria dengan “prajurit-prajurit” yang tengah sibuk merawat penampilan “si dia” sebelum berkarya melanglang buana.

Tentulah gampang ditebak, siapa tokoh di balik layar prolog di atas. Yup, “si dia” itu merujuk PO Selamet, dan “bapak asuh” tersebut akrab dipanggil Pak Aris.

Maksud diri hendak bersilaturahmi, sembari menyerahkan piagam penghargaan sebagai bentuk apresiasi terhadap PO Selamet yang telah mendukung acara BMC Goes to Laksana, serta ingin sedikit mengorek tentang company profil yang dikelolanya, alih-alih yang kami dapatkan bukan itu semata.

Justru yang belia-belia ini disirami petuah bijak; semisal pemaknaan hakikat ikhtiar dan doa, cara menghindar dari goda nafsu dunia serta beragam wejangan agar kami lebih siap mental dalam menghadapi hidup. Sungguh-sungguh mauidhoh hasanah di siang bolong, yang menohok kejemawaan darah muda kami. Hehehe...

Ada rangkaian tutur kalimat yang meninggalkan jejak mendalam di ingatan kami, yang sekaligus bisa menyimpulkan bagaimana mahdzab beliau bersama Pak Heri (kakak kandungnya) dalam memimpin PO yang diwariskan mendiang ayahanda mereka berdua, Bapak Soekarno Lilik.

“Biarlah PO-PO sebelah jor-joran dengan armada dan mesin baru, Mas. Selamet ya tetap Selamet yang seperti ini. Saya tak akan gegabah, panas kemudian pengin ikut-ikutan. Kelangsungan usaha ini bukan untuk hari ini thok, tapi sebisa mungkin langgeng selamanya.

Tak jadi apa bila kata orang bus-bus Selamet itu tua dan jelek. Tapi saya bertekad, walaupun cuma satu armada, namun setiap hari harus tetap ada yang jalan, agar nama Selamet tak hilang, akan selalu diingat orang.

Jujur Mas, tidak gampang mengurusi armada dengan puluhan kru Menguras pikiran, tenaga dan waktu. Mudah bagi saya andai melepas PO ini, toh tanpa Selamet pun, untuk sekedar hidup saya masih bisa. Tapi, saat melihat karyawan-karyawan itu, saya teringat, di belakang mereka ada anak istri yang butuh dinafkahi. Itu yang membuat saya semangat, memegang teguh amanat Bapak saya dalam meneruskan tinggalan ini. “


Serasa mendapat guyuran embun penyejuk, aku pun menganulir anggapanku selama ini bahwa bisnis PO hanyalah hitung-hitungan untung dan rugi, soal mesin dan karoseri, ngopeni isu tentang kesejahteraan kru, urusan trayek serta tetek-bengek yang bersifat administratif-birokratif, berikut intrik-intrik dalam memenangkan persaingan. Ternyata ada kepekaan terhadap sisi filosofis-humanis, yang mempertimbangkan aspek-aspek kemanusiaan sebagai sandaran dalam pengambilan keputusan sebuah perusahaan otobus.

Itulah yang dicontohkan Pak Aris, seorang big boss yang layak pula diposisikan sebagai guru spiritual bagi siapapun juga.

Buah dari ke-zuhud-an Pak Aris, menurut slentingan, armada-armada PO Selamet telah “dikontrak mati” oleh Pemkab Rembang, Pemkab Blora serta Pemkab Purwodadi sebagai angkutan jamaah haji, baik untuk keperluan pemberangkatan maupun kepulangan para tamu Allah itu.

Benarlah akan satu nasihat, rezeki jalannya dari mana saja dan selalu tak terduga bagi hamba-Nya yang mengabdikan hidup demi kemashlahatan sesama.

Sejak itulah, aku terperdaya oleh kesederhanaan serta kebersahajaan Selamet. Meski tergolong kawakan, namun buku sejarah akan mencatatnya sebagai PO dengan predikat awet, senantiasa survive dan tahan pukul di tengah pusaran kompetisi transportasi darat yang selalu ketat dan membara.

Berkali-kali kuungkapkan keinginanku kepada Wakil Bupati Muria Raya untuk merasai tuah Pak Aris dengan menaiki armada PO Selamet. Namun, bagi perjalananku yang menempatkan orientasi waktu sebagai panglima, memelototi aset-aset PO Selamet yang terkesan “ala kadarnya” dan “biasa-biasa saja”, bahkan diklasifikasikan sebagai “club 90’s”, keraguan kerapkali membekap niatanku. Aku belum punya nyali untuk mendobrak ke-sok ekslusif-anku itu.

Bahkan, aku sempat dipermalukan oleh “keberanian” ayahku tercinta, sewaktu turing terakhir beliau ke ibukota yang lebih meng-klik Selamet, menyisihkan PO-PO papan atas yang lain. Barangkali, beliau memiliki kedekatan geo-historis dengan Selamet, yakni sama-sama lahir di bumi minatani, sehingga lebih mempercayakan acara bepergian kepada PO yang cikal bakalnya bernama Ikha Jaya itu.

“Bis-e penak kok Le. Masio tuo, mlakune banter, nyaman, sewengi aku yo iso istirahat...”
(Busnya enak. Biarpun tua, jalannya cepat, nyaman, semalaman aku bisa istirahat)

Begitu testimoni beliau saat aku menjemputnya di Pulogadung, sesaat setelah turun dari armada ijo PO Selamet, berkaroseri Restu Ibu dengan gambar Si Puppy alias anak kucing.

Ah, kapankah aku mewujudkan slogan “buktikan merahmu”? Hampir tiap akhir pekan mengembara, ada sehari dalam seminggu aku habiskan “mengkonsumsi” aspal pantura, hingga beragam citarasa PO sudah aku jilati, tapi mengapa, untuk mengecup PO Selamet saja aku masih segan serta enggan?

Tak henti bisikan nurani ini meledek kebergeminganku.

1 komentar:

  1. Sangat setuju Mas,
    Selamet memang ngutamakan selamat, tapi gak akan mau ditinggal asap teman2-nya..

    Bravo Selamet

    BalasHapus