Kamis, 17 Maret 2011

“Barbar Kids” Rhapsody (3)


Baru saja menginjakkan dua kaki di lantai, sudah bisa ditebak segmen pasar seperti apa yang dibidik PO Selamet. Menyapu pandangan ke seluruh ruangan, tampak wajah-wajah golongan sepuh, kebanyakan orang-orang dusun sepertiku dan tentu saja, bukan pekerja formal atau kantoran layaknya penumpang NS 19, The Red Haryanto atau Pahala Kencana Euro 3 yang aku langgani. Sebagian anak kecil yang ikut serta, menandakan bus ini favorit para keluarga dan pemberi solusi bagi yang cekak secara biaya.

Cocoklah pilihan mereka dengan tagline PO yang berhomebase di Jalan Dr. Susanto No. 126, sesuai falsafah orang tua jaman dulu, slaman slumun slamet, alon-alon waton kelakon.

Finally...bus yang mengiklankan diri sebagai “Luxury Art of New Armada” mengawali debutnya, disekondani tiga kru kabin.

Pun saat mengamati raut muka serta penampilan mereka. Pradugaku yang seringkali berbau subjektif, bicara. “Hmm...wajah-wajah oldies, babe-babe, mriyayeni. Semuanya bertampang dingin, pendiam dan terkesan cuek. Style mereka kurang cocok ah dengan kerasnya atmosfer Pantura,” aku membisik. “Sepertinya, untuk urusan “pemain”, “manajer” PO Selamet bukan penganut aliran young guns, namun lebih berguru pada AC Milan, yang demen mengoleksi “balung tuo” (tulang tua). Hmm...Jangan-jangan “three musketeers” ini teman-teman ngaji Pak Aris ya?”

Namun, aku keliru total. Dibawah kendali Pak Shantiko (jangan-jangan di PO Shantika ada sopir bernama Pak Selamet?!?), “feel” pertama yang kurasai benar-benar gahar, kaki pramudi begitu galak dalam membejek gas. Baru saja berbelok menyusuri kawasan Gajah Mati, untuk ukuran bus tua, tarikannya terasa ngacir dan langsung melesat. Entah karena ngga concern atau memang karakter ngototnya, traffic light di perempatan Koramil, -- mulut jalan Syeh Jangkung --, yang sedang menyala merah nyaris diterjang sebelum rem bus diinjak dalam-dalam. Alhasil, separuh badan bus melewati batas marka berhenti.

Wow!...korban pertama yang digasak bukannya kendaraan, namun malah lampu bangjo.

Nguyek detected…nguyek detected…begitu pikiranku menerka.

But, justru itulah yang membangunkan gairah serta moodku untuk sebisa mungkin melek mata, manteng setiap jengkal jalan yang dilahap armada penghubung koridor Pati-Pulogadung-Serang tersebut.

Engine varian Don King aka King Cooler yang nangkring di atas gelagar chasis OH 1518 benar-benar powerfull. Akselerasi begitu enteng dan dari deheman vokalnya, jelas menandakan bahwa unit dapur pacu benar-benar terawat. Shahihlah apa kata Mas Indra, bahwa PO-PO Kudus-an acung jempol kepada Selamet, yang jago mendayagunakan mesin-mesin tua untuk dipekerjakan sebagai alat pencetak uang.

Mulai depan jalan akses menuju situs purbakala Pati Ayam, barisan truk-truk jumbo merayap gara-gara tertahan oleh satu truk gandeng yang ogah-ogahan berlari. Pak Shantiko pun berancang-ancang, memainkan percepatan dan satu persatu didahuluinya. Menjelang jembatan Jekulo, dengan trek agak menikung dan merupakan blind spot area, bus yang dikendalikannya coba diarahkan kembali ke kiri. Namun, monster-monster Pantura itu tak ada yang mengalah, justru jarak antar mereka semakin dirapatkan.

Teettt…teett…teet…terompet menyalak kencang dan tak ada pilihan lain, paham spekulasi dipakai. Bus berbasis model selendang Setra ini terus menganeksasi jalur kanan seakan intuisi perangnya mengatakan bahwa arah berlawanan sepi.

Tak dinyana, dari depan muncul Honda CRV berwarna putih yang terlihat syok dan langsung buang badan ke jalan tanah. Di belakangnya, truk tronton bermarga Fuso dengan kondisi kosongan tak kalah kaget. Sopirnya gedandapan dan secara refleks mengikuti “arahan” mobil kelas SUV tersebut, terhempas, minggir dan menyerah.

Aku dibuat terhenyak, dan menahan nafas. Jangan-jangan inilah pengejawantahan makna “Barbar Kids”, yang acapkali didengungkan di mimbar terminal-an Pati.

Aduh!

Di depan pasar Bareng, kemacetan kecil terjadi karena adanya proyek kanalisasi sistem drainase jalan Pantura. Busku hanya mengekor pergerakan armada wisata Sindoro Satria Mas kode 121.

Pak Wisnu, selaku pemilik abadi bangku CB, kemudian mengambil keping VCD untuk di-run, demi membuktikan apa yang tertulis di sampul tiket, bahwa bus dilengkapi fasilitas VCD dan Tape.

Ah, siapa tahu dari balik layar TV 21’ akan muncul aksi panggung kelompok orkes melayu asal Krembung, Sidoarjo, Monata. Gendang telinga ini sudah terlampau lama menahan gatal dibelai desah merayu suara emas para biduanita semacam Ratna Antika, Anjar Agustin, Nena Fernanda, Citra Marcelina atau Rhena KDI.

“Terlambat sudah, kau datang padaku
Setelah kudapatkan penggantimu”


Yaelah…album Panjaitan Bersaudara (Panbers), ngga nendang babar blas. Bukannya aku pilih-pilih aliran musik, namun di tengah suasana bersiap diri untuk mengayunkan gagang cangkul keesokan hari, kok rasa-rasanya irama lagu begituan malah menidurkan kembali semangat bekerja.

Pasrah, memang semuanya serba djadoel. Komplit, plit...mulai busnya, mesinnya, penggawa-penggawanya, penumpangnya maupun hiburannya.

Berbekal short messages dari Mas Wahyu Nugroho serta Mas Fathur, yang mengabarkan bahwa malam itu ada delapan anggota Lenong (Mas Bagus, Mas Kiki, Mas Nano, Mas Rully, Mbak Astari, Mas Hadi, Mbak Asti plus satu penggemar Luragung Jaya “Gunung Siang”) yang akan “live” di atas Haryanto “The Gold”, aku pun berencana menemui mereka di Terminal Kudus.

Namun, sebelum Selamet berhenti di parkiran, Pak Kenek mewanti-wanti kepada penumpang.

“Pak…Ibu…tidak usah turun ya, cuma sebentar ambil penumpang. Nanti langsung berangkat!”

Yo wis...

Tak sampai lima menit, lekas-lekas bus bersiap melenggang kembali ke lintasan Pantura. Aku hanya menyaksikan Kopral berpangkat Gold masih mematung, menyelinap di antara jajaran line-up armada Pak Kaji yang akan berlaga, menunggu para sewa berkumpul.

Semoga nanti bisa bertemu muka mereka di jalan atau rumah makan, harapku.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar