Rabu, 02 Maret 2011

Rest Your Wings, Old Butterfly! (2)


Dua Hari Kemudian

“Mas, berhubung busnya dari Lasem, ini saya ikutkan bus dari Bojonegoro dulu. Nanti oper di agen Rembang ya!” demikian arahan Mbak Nafis, saat aku check in menjelang jam keberangkatan.

Tak selang lama, Pahala Kencana dengan nameplat K 1593 B jurusan Tangerang, yang didapuk sebagai wahana langsiranku, tiba di kota kecamatan yang menurut riwadjat doeloe berasal dari paduan dua kata; kesusu ilang (keburu hilang), sehingga diakronimkan menjadi Sulang.



“Ck ck ck...betapa nyamannya? Beda kelas, beda harga, beda perlakuan yang didapat penumpang.” bisik batinku saat nunut di atasnya.

Dengan model hi-deck, mengusung dapur pacu RK8 R-260, berjubah New Travego garapan Adi Putro, serta membenamkan sofa semi kulit Alldila, benar-benar sebuah preambul turing nan menggugah, seolah melupakan sejenak bahwa sebentar lagi aku akan bersetubuh dengan armada yang satu derajat di bawahnya.

Dalam buaian leaf spring terbarukan dari Hino Motor, aku menebak-nebak, kira-kira berpasangan dengan armada yang mana.

Yang RG eks Super Eksekutif zaman baheula, B 7089 X dan B 7289 X? Atau yang ber-air suspension B 7589 VB? Marga OH King K 1564 AB dan K 1565 AB? Kupu-Kupu Laksana B 7415 NL?



Atawa bus-bus rombakan Triun dan Tri Sakti semisal B 7600 PV, B 7275 WV, B 7277 WV? Or barang hibah-an dari divisi Jakarta, Proteus B 7917 IW?

Ah, aku terlalu larut dalam berandai-andai, lihat saja nanti realitasnya seperti apa.

15 menit menuntaskan jalur pendek 13 km yang membentang antara Sulang-Rembang, bus merapat di agen kota pesisir timur Jawa Tengah ini, tepat di belakang pantat bus yang dari ciri khasnya 100% produk bodybuilder dari Ungaran.

Kusimak nomor polisinya B 7279 WV dan kucocokkan dengan isian yang tertera pada kolom armada di atas kertas tiket. Persis dan sama...jadi inilah tripmate-ku malam ini. Duh, teka-teki-ku semuanya melenceng, tak satupun yang tepat.

Alamak...“kenangan kelam”ku sepertinya akan terulang kembali. Ketika hendak menaiki “mobil dinas”ku kali ini, (lagi-lagi) aku harus menelan pil pahit. Busnya sungguh-sungguh mengotori tatapan mataku. Lambung samping menampakkan keusangan, warna tubuh berikut grafis gelombang air laut yang dihiasi siluet kupu-kupu beterbangan, memudar serta karat yang menyebar di bawah pilar-pilar kaca samping seakan tak mampu menutupi kebohongan bahwa kotak beroda enam ini sudah uzur secara umur dan tak terawat.

Pun saat aku mulai melantai dan selanjutnya bertahta di singgasana 1B. Interior bukanlah pemandangan yang enak untuk dinikmati. Jok buatan Karya Logam terlihat kusam serta dekil di makan usia. Tak disediakan selimut apalagi bantal. Langit-langit dan dinding tampak memucat, menyiratkan pesan bahwa armada ini wajib dikasihani, setidaknya perlu diongkosi untuk berdandan ke salon kecantikan. Lantai tak lagi keset, nyaris licin dirongrong jangkah kaki sang waktu. Aroma kabin pengap, baunya tak ramah menyapa syaraf penciuman.

Televisi tabung 14 inchi yang nangkring di atap tak sebanding dengan mode fashion dua LCD TV 26’ plus enam LCD TV 9’ yang ditonjolkan bus-bus tetangganya. Bahkan, piranti disc player bukanlah Head Unit melainkan VCD rumahan, yang diberi casing box berbahan triplek serta dipancangkan di atas dashboard. Sepanjang perjalanan, piranti audio-visual ini hanya sekedar patung pajangan. Sederet cacat itu jelas-jelas menandakan bahwa bus ini kurang memiliki sense of esthetics.

Kecurigaanku pun menyemburat. Pasti ini armada tambahan, bukan lagi cadangan apalagi nge-line harian. Soalnya, aku jarang melihat bus ini beroperasi secara reguler.

Dan sudah menjadi rahasia umum, di saat penumpang membludak, PO Pahala Kencana acapkali menambah populasinya di jalanan dengan armada bantuan yang biasanya lebih banyak dikaryakan selaku “satpam garasi”.

Kini aku harus takluk dibekap tuah kekhawatiranku saat mengucap kalimat “jangan-jangan…?!?” dua hari yang lalu. Mimpi burukku jadi kenyataan!

“Mas, busnya bau tengik ya?” dengan setengah berbisik, wanita yang duduk di sebelahku sharing atas ketidaknyamanannya. Aku pun hanya mengangguk setuju.

“Gara-gara tiket eksekutif habis, jadinya malah dapat bus begini…” imbuhnya lagi dengan nada kesal.

“Tahu ini Bu, bus tua disuruh jalan. Ya maaf saja kalau tengik, soalnya ini baru jalan satu PP setelah lama menganggur di pul.” urai Pak Sopir yang rupanya nguping keluhan ibu muda itu. “Kalau mau komplain, telepon ke kantor saja ya, Bu!” ujarnya sabar sembari menunjuk stiker himbauan yang tertempel di kaca depan, yang sekaligus mencantumkan nomor pengaduan.

Oalah, pantas saja! Bagaimana lagi, sebagai “sisa-sisa penumpang”, kami semua harus berkompromi dengan keterbatasan yang ada.

Lepas waktu ashar, bahtera darat berkode HT 718 say goodbye kepada bumi Dampo Awang. Attitude GSS alias Gubuk Sangat Sederhana yang cuma dibekali mesin OH King era 90-an jauh dari pradugaku semula. Seolah tak ingin dipermalukan oleh penampilan wajah dan daleman-nya, serta sedikit mengobati kekecewaan para sewa, letupan determinasi “kupu-kupu tua” ini sungguh-sungguh liar.

Permadani hitam dari adonan aspal hot mix yang terhampar sepanjang 20.000 m, penghubung antara Rembang dengan Juwana dilipatnya dengan aksi heroik. Padatnya barisan monster-monster jalanan dicerai-beraikan dengan laku nekatnya. Selip kanan, nyetick tipis serta potong arus bukanlah hal yang tabu dilakukan. Simponi “gemlodagan serta kereyotan” dari badan bus terdengar riuh rendah dan berirama asbun, ibarat drum band tanpa dikomandoi putri mayoret.

Aku akui dan layak kuacungkan jempol, sang driver cukup piwai, lihai, dan berjam terbang tinggi. Beliau mampu mengoptimalkan daya setara 180 tenaga kuda, sehingga semburan tungku api enam piston mampu menyokong karakter garangnya di balik kemudi. Soal performa on board, jelas 11 vs 12ribu, jauhnya beda banget dengan OH 1525 Malang II yang kutunggangi Hari Jumat sebelumnya, yang kurasakan lesu darah.

Semoga, “action thriller film” bisa tersuguhkan sepanjang perjalanan. Demikian harapku.

Rupanya, kemunculan bus yang memprihatinkan tapi dipaksa untuk comeback ini jadi “trending topics” dan selanjutnya jadi bahan lelucon di “twitter” kru-kru PK.

Saat hendak parkir di Terminal Kota Bandeng, mereka serempak kompak “melecehkan” Old Butterfly ini.

“Parkire ojo ning sebelahku. Aku emoh dijejeri kandang pitik...” kicau seseorang yang punya pegangan Euro 3, sembari menendang-nendang bumper depan, sehingga membuat yang lain tertawa terpingkal-pingkal. (Parkirnya jangan di sebelahku, aku tak mau berdekatan dengan kandang ayam)

Semprul ik. Kulirik kulit tubuhku, lalu satu persatu penumpang yang berdiam tak jauh dariku. Enak saja, tak ada yang ditumbuhi bulu, bertembolok besar, punya dua sayap dan berparuh. Mengapa teganya kami dijuluki marga ayam!?

Aku pun cuma menyunggingkan senyum tersipu marah, eh malu...

“Hei...bis-ku ojo ditendangi, iki pora dho wedhi yen mengko keno tetanus?” timpal Pak Eko (CMIIW, nama pemilik “kandang pitik”) dengan bersungut-sungut. (Hei, busku jangan ditendang-tendang, apa tidak takut nanti kena tetanus?)

Demikian gaya bercanda penggawa-penggawa Ombak Biru dalam merawat kerukunan dan keguyupan sesama abdi jalanan. Istilah jawanya, njiwit ning ora kroso, artinya meledek, tetapi yang diledek tak merasa tersinggung.

“Saya mumet Mas. Tadi mandor telepon, tanya armada yang saya bawa masih yang kemarin apa sudah ganti. Jadinya mandor ikut pusing Mas, besok diangkatke (diberangkatkan) dari Pulogadung kuat laku apa tidak.” kesah beliau.

“Jangankan penumpang, Mas, para sopir juga ogah menyentuh bus ini. Kemarin saya engkel dan malam ini juga bakal sendirian lagi. Teman-teman malas nyetiri, busnya ketuaan katanya, Mas” lanjutnya saat bercurhat, tatkala harmonisasi keenam roda bus melibas ruas Juwana-Pati.

Kasihan juga, seyogianya aku kudu turut bersimpati atas “derita dua malam” yang dialami.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar