Rabu, 02 Maret 2011

Rest Your Wings, Old Butterfly! (3)


Yang Tua Yang (Masih) Perkasa

Belum jauh meninggalkan Stanplat Pati, masih di seputaran daerah Gajah Mati, yang merupakan sentra kuliner nasi gandul, bus yang mengusung lekuk Panorama DX ini minggir, diikuti PK-PK lain di belakangnya. Di depan terlihat dua koleganya berhenti dan menyalakan lampu hazzard. Para kru kabin pun turun lalu ngariung bareng.

Rupanya, ada berita mengenaskan, lalu lintas di ruas Pati-Kudus macet total imbas keporakporandaan sebagian jalan di depan pabrik pengolahan kertas, PT Pura Barutama, Terban. Bahkan, buntut traffic jam-nya telah mencapai ringroad Kota Pesantenan. Forum dadakan ini dimanfaatkan untuk berembuk, menentukan rute alternatif mana yang akan diambil. Ada tiga opsi : Pati-Kayen-Prawoto-Undaan-Kudus, Pati-Gembong-Kandang Mas-Gondang Manis-Kudus, ataukah Pati-Gembong-Colo-Dawe-Kudus.

Yang pertama dicoret, karena jalan terlalu sempit dan kabarnya bus-bus dari barat telah menganeksasi jalur ini. Sangat riskan apabila dua bus berpas-pasan di jalan kampung.

Untuk pilihan kedua, meski trek cenderung landai, namun lebar tapaknya hanya 5 meter-an. Dan tentu saja menyulitkan kendaraan berbadan besar untuk melenggang lantaran dipenuhi tikungan dengan tekstur naik turun, ditambah adanya jurang-jurang yang mengangga di bibir bahu jalan. Kabarnya, belum lama berselang, satu di antara aset PO Sinar Mandiri ada yang bernasib nahas di sirkuit ini, terjungkal dalam upayanya menembus lereng Muria. Terlebih, banyaknya mobil-mobil pribadi yang menggunakan jalur ini sebagai alternatif utama Pati-Kudus, membuat situasinya crowded.

Mau tak mau, kandidat terakhir yang harus diterima secara aklamasi. Meski terbilang rute terberat, acara “pendakian gunung Muria” pun ditekatbulatkan. Yang jadi pertimbangan, jalan ini merupakan jalur wisata ke Colo, sehingga dalam rabaan mereka, kemungkinan kondisinya relatif terpelihara serta lebih lapang.

Awalnya, Pak Eko berkeberatan dengan kemufakatan yang diambil. Selain buta jalur tersebut, beliau kepikiran dengan kerentaan armada yang dibawanya. Dibanding kepunyaan rekan-rekannya, cetho welo-welo kualitas “bendi Bavaria”nya tak layak disandingkan.

Lantaran kawan-kawan seprofesi meyakinkan bahwa endurance Mercy jadoel masih patut diandalkan, “Sang Kusir” pun menyerah serta tunduk keputusan -- sami’na wa atha’na. Tapi dengan satu syarat yang diajukan, Old Butterfly berada di posisi tengah dalam berkonvoi, menjaga kemungkinan terburuk, mogok tidak kuat menanjak.

Jadilah delapan bidak Pak Hendro Tedjokusumo, masing-masing berdasar dari urutan terdepan : Setra Adi Putro chanel Bandung B 7168 PD, Marcopolo K 1603 B, RG Triun B 7589 PV, bus-ku B 7279 WV, Marcopolo K 1601 B, Marcopolo K 1596 B, Marcopolo K 1622 B, dan yang paling bontot Marcopolo K 1597 B, berparade senja.



Setelah membelah jalanan kota Pati, dari perempatan Terminal Lama Puri, “Kabilah Al Qudusiyah” langsung mengambil penjuru utara mata angin, melewati Jl. Sugiono, Stade de’ Joyokusumo -- markas Persipa Pati -- dan kemudian berbelok ke kiri sebelum pertigaan ke arah Tlogowungu.

Dari sini hingga Kota Kecamatan Gembong, aura pegunungan mulai terasa. Semilir hawa angin segar mengalir, kanvas alam berbalur warna ijo royo-royo, buah coretan ujung-ujung daun tebu serta pucuk ketela pohon berikut vegetasi kayu keras semacam jati, randu, mahoni, durian, alpukat dan rambutan. Kabut tipis di awang-awang sisi selatan Muria benar-benar menghadirkan kisi-kisi perjalanan yang berbeda bagiku. Inilah kali pertama aku menjelajah lereng pegunungan yang memiliki empat puncak utama, masing-masing Songolikur, Argo Wiloso, Argo Jembangan dan Abiyoso dengan bus sebagai transporter-nya..

Andai dipandang dari kejauhan, delapan armada Ombak Biru yang berbaris ke belakang bak rangkaian gerbong kereta Argo Muria yang hendak pulang kandang ke stasiun terakhir, sekaligus tanah kelahirannya, Gunung Muria. Sebuah momen yang menghadirkan panorama istimewa di mata seorang busmania.

Ternyata, jalan kelas III yang biasanya lengang ini berubah tingkat menjadi Pantura wannabe. Banyak kendaraan yang hendak menuju ke timur, termasuk Zena RG Setra serta bus tiger 3/4, Syakira Utama, yang selesai mengantar rombongan berziarah ke makan Raden Umar Said atau lebih akrab dengan sebutan Sunan Muria, menunjuk “special stage” ini sebagai lintasan.

Wilayah Gembong pun terlewati, dan tantangan demi tantangan mulai berkacak pinggang, seakan mengajak berduel satu lawan satu. Jalan yang semula mulus dan lebar mendadak sempit, berlubang serta naik-naik ke puncak gunung.



Selepas jembatan besar dengan air sungai yang deras mengalir, langsung disambut tanjakan ekstrim. Trek mendaki dengan dua undakan bertingkat, sepanjang hampir 100 m, dengan sudut kemiringan sekitar 35 degre.

Seisi bus pun berdecak, pesimis dengan kemampuan “kepak sayap” kupu-kupu.

Pak Eko semula ragu, melihat sekelas RK8 di urutan kedua ngos-ngosan. Pria yang selalu mengenakan topi ini membiarkan Si RG di depannya untuk menuntaskan sesi merangkaknya, sekaligus menata jarak. Konon, rem Hino tak sepakem dan seresponsif Mercy, dan rentan nyeplos di saat jalan menurun.

Barulah ancang-ancang diambil, sedikit demi sedikit bergeser ke depan. Gigi persneling lebih banyak nyantol di posisi 1. Tatkala jarum rpm mencium skala merah, sesekali dan sesingkat mungkin di-up ke-2. Mesin pun meraung keras, bodi bergetar hebat. Tangan-tangan serta kaki-kaki terampil sang driver berupaya keras men-sinkron-kan kerja kemudi, pelintiran gas berikut gear rasio.

Finally, tepuk tangan dari penumpang mengakhiri audisi pertama, dengan predikat “lulus bersyarat”. Lucu juga tingkah penumpang, seakan bangga menyaksikan jagoannya menang bertempur melawan alam.

Sejauh ini, kupu-kupu tua masih perkasa.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar