Kamis, 17 Maret 2011

“Barbar Kids” Rhapsody (2)


Syahwat itu merambat naik ke ubun-ubun tatkala duduk di kursi tweenty one, salah satu dari lapak yang disediakan armada Nusantara HS 214 saat aku mengamalkan ritual mulih ndeso, pada Hari Jumat di minggu terakhir Bulan Februari silam.

Kesempatan bersetubuh dengan Selamet menghampar luas. Minggu sore lusa, sebelum balik meladang ke Jakarta, aku mesti bertemu dengan Mas Indra sebab ada satu hal yang ingin kubicarakan dengannya.

“Sudah kepalang nyebur di Terminal Pati, mengapa tak sekalian mencoba PO Selamet?” batinku menghasut.

Terlebih, selama bulan ke-2 tahun Masehi ini, aku masih mengantongi rekor cleansheet alias tak pernah datang telat. Misalkan saja perjalanan nanti berujung keterlambatan, kantor masih bersedia menolerir, tanpa ada potongan ini dan itu. Alasan tambahan itulah yang menyokong kenekatan untuk mengeksekusi cita-cita usangku.

Saat tapak roda bus berkode jurusan NS-57 -- pemberangkatan pagi jurusan Pulogadung- Jepara -- menyisir daerah Demak Bintoro, kukirim SMS kepada pentolan BMC Muria Raya itu..

“Mas, kalau plan ngga berubah, Minggu sore aku berangkat dari Pati. Pripun Selamet, kita-kira jatah armada Pulogadung apa?”

Tak menyalahi hukum kan andai aku berangan-angan berjodoh dengan Evobus-nya? Hehe...

Tak lama berselang,

“Oke, siap Mas. Minggu jam 3-an saya kabari dapat armadanya apa. Ini langsung saya pesankan tiket ke agennya.”

Great!!!...Itulah nilai plus geng Muria, selalu quick respon menuruti permintaan calon pelancong yang hendak sowan ke Kesultanan Pesantenan.

---

Minggu sore.

Di dalam kamar hunian tipe Nucleus 3, kepunyaan PO Indonesia L 7015 UV, nan super duper leletnya minta ampun, yang membawaku menuju kota kelahiran putri keduaku, telepon genggamku mewartakan rentetan pesan dari Mas Indra.

“Info terakhir Terminal Pati. PO Selamet berangkat dengan armada-armada lama karena yang baru dipakai wisata”

“Sampeyan dapat Mercy lawas. Maaf ya, ngga bisa ngasih bus bagus. Jangan ada perasaan buruk di hati ke PO Selamet ya, Mas!”

“Apa ganti aku pesankan Tri Sumber Urip (TSU) Scorpion King, Mas? Tapi ngga seat depan.”

Sepertinya Mas Indra sendiri dibayangi keresahan, ke-tidakpede-an jikalau PO Selamet gagal memanifestasikan ekspektasiku. Makanya, dia setengah hati merelakan armada kebanggaan wong Pati itu untuk ku-assestment tentang performanya.

Padahal aku ini orangnya simpel, tak banyak menuntut, kurang aware bab gengsi serta selera dan tentu, bukanlah speedmania. Sudah tujuh tahun berkecimpung di komunitas wira-wiri, sudah cukup nrimo lan legowo dipasangkan dengan model armada apa dan bagaimana pun polahnya. Bukankah itu – meminjam moto Pahala Kencana – “Art of Travelling”? (Hayah…gayamu Dik! Diplekotho Old Butterfly saja sampai curhat!)

Kubalas tawaran dadakannya itu,

“Wis, ngga usah ngga enak sama aku, Mas. Aku bosan naik bus-bus baru terus. Tapi ngomong sama kru ya, jam 7 kudu masuk Pulogadung. Haha...– Kompor Mode : On – “

Tiba di Stanplat Pati, aku disambut wadyabala Muria Raya. Di samping Mas Indra, turut memeriahkan Mas Hafiz, Mas Ferdhi, Mas Bayu, Mas Dimas, Mas Ipin, serta Mas Iwan, agen TSU.

Belasan bus yang sedang pamer kemegahan di pelataran terminal – pun umpama saja dilengkapi umbrella girls -- tak akan memburamkan pandanganku agar sedia berpaling. Tak jua membuat kepalaku cenat-cenut gara-gara dibakar api kedengkian menatap rumput garasi tetangga yang lebih hijau dan lebat.

Kali ini, Selamet adalah harga mati…Titik!

Setelah merampungkan rembukan “satu hal yang tak penting” di Warung Mak Ni, dan jangkah kaki sang waktu mulai merambah ke jarum angka 5, Mas Indra mengajakku mendekat ke agen sekaligus mengintip bus seuzur apakah yang akan berjodoh denganku.

Dengan tiket VIP senilai Rp85.000,00 include jamuan gala dinner, dipadu armada yang lumayan berumur, akankah menghadirkan sensasi yang berbeda dalam perjalanan perdanaku bersama kereta “Kyai Selamet” ini?

Hmm…let’s see, what will happen on 12 hours towards?

“Mas, coba aku selidiki siapa krunya, kelakuannya di jalan. Biar sampeyan dapat gambaran, gimana larinya bus ini?” gagas Mas Ferdhi saat injury time sebelum take-off.

Berbekal bocoran dari Mas Topeng, personel agen Selamet, Sang Bejeuholic itu membuka tabir rahasia.

“Mas, jangan kaget dan nyesel ya. Sebutan armada sampeyan itu “Per Gerobak”!”

Olala…habis kandang pithik (ayam), sekarang ketemu istilah baru lagi,
“Per Gerobak”.

“Maksudnya, Mas?” aku dibuat termangu.
“Pernya keras, bukan bawaan Mercy lagi. Sudah diganti sama punya gerobak kali, Mas.”

Waduh…failed customized?

“Tapi jangan khawatir, Mas. Krunya sippp! Kata agen, di terminal-an, krunya dijuluki “Barbar Kids”,” lanjut Mas Ferdhi.
“Barbar Kids?!? Artinya apa lagi itu, Mas? Kok kesannya serem…” tanyaku semakin bingung
“Pokok-e anak-anak barbar Mas, nguyek ae (tak mau minggir, bakal digasak).” terangnya singkat.

Hahaha…aku pun tertawa ngakak. Aneh-aneh dan seenaknya saja warga lempeng Muriaterania memberi gelar pada bus-bus yang unik berikut krunya yang eksentrik.

Benarkah kolaborasi “Per Gerobak” feat “Barbar Kids” bakal segokil dan segarang penamaannya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar