Rabu, 02 Maret 2011

Rest Your Wings, Old Butterfly! (1)



Jumat Pagi

“Nafis Pahala; 31.12.2010; 07.05 : Ada yang bisa dibantu, Mas?”

Tiba-tiba saja layar ponsel-ku memampangkan sebaris kalimat “aneh”. Tentu bukan si pelemparnya yang membuatku keheranan, tetapi soal muatan isinya. Tak ada badai, tiada petir, namun entah kenapa “penjaga meja” agen Pahala Kencana (PK) chapter Sulang itu menawarkan uluran tangan, padahal sebelumnya aku tak sampai me-request sesuatu lewat jasa teknologi Short Messages Service.

Saking tak percayanya, kutelusuri menu outgoing pada operating system bikinan Sony Ericson. Sami mawon…nihil. Aku tak sampai menelepon atau (barangkali) pernah terpencet alamat 085225438xxx, kepunyaan Mbak Nafis itu.

Apa perempuan berkerudung itu dihinggapi penyakit gundah gulana karena kehilangan pelanggan setianya? Pasalnya, sudah sebulan ini aku menjatuhkan “talak tiga”, enggan mencumbui lagi tubuh indah semlohai New Marcopolo Sirip Hiu dengan hembusan residu berlabel Euro 3, lantaran terjangan Ombak Biru kian menyurut, tak kuasa menghadang laju kerusakan jalan Pantura.

Ah, enggak lah? Aku yakin bukan itu asbabul nuzulnya.

Pasti SMS nyasar. Begitu temuan shahihku.

Sudah jamak lumrah, semakin berjejalnya nomor-nomor yang memenuhi phonebook si pengguna telepon genggam, semakin berpotensi tinggi terselenggaranya salah kirim. Jari jempol meleset meng-klik tombol, bisa-bisa terjadi hal yang menggelikan. Panggilan keluar atau pesan singkat bukan mengarah yang semestinya dituju, melainkan nyeplos di simcard-nya orang lain.

Mungkin, itulah “kegagapan” yang tengah menjangkiti Mbak Nafis.

Mulanya, aku mem-peties-kan pesan maya yang datang tak diundang itu, tidak sampai membalasnya dengan sepatah kata pun. Toh, hanya kasus ringan, misspush the button.

Hingga kemudian…

Jumat Sore

Saat didera ke-bete-an di halte Polres Metro Jakarta Utara, menunggu Mayasari Bhakti P-51 yang akan menghantarkanku ke Rawamangun via Kelapa Gading melintas, sontak aku teringat slogan Pak Jusuf Kalla, bahwa “lebih cepat (itu) lebih baik”.

“Mas, masih ada seat ke Rawamangun buat Hari Minggu besok?” kucolek Mas Harno, agen PO Haryanto Terminal Rembang, lewat media handphone.

Aku nyaris lalai, belum menggenggam “lembar ijazah” sebagai prasyarat mendapatkan gelar penumpang untuk return to the capital tanggal 2 Januari 2011 lusa. Dapat dipastikan, ibarat pemilu legislatif, hari itu tensi untuk merebutkan kursi bakalan sengit. Aku harus bergerak gesit kalau tak ingin hantu traumatik “Si Budi Kecil” mengusik ketenangan hidup seorang komuter mingguan sepertiku ini.

“Sepurane Mas, sampun telas.” (Maaf Mas, sudah habis)

Celaka! Benar-benar telat, Red Phoenix lepas di tangan.

“Kalau Senin ke Pulogadung, ada Mas?”

“Sami Mas…telas” (Sama Mas…habis)

Pufh! Padahal aku terlanjur berjanji kepada Mas Wahyudi untuk mengusahakan tiket buat perjalanan balik beliau ke Jakarta, sebagai armada estafet penerus trip panjang Lumajang-Jakarta transit Rembang, yang akan diamalkannya.

“Wes Mas ga popo, aku tak lewat Solo wae...” begitu tutur penenang dari BMC-01, meredam rasa bersalahku sewaktu kukabari. (Tak masalah Mas, aku lewat Solo saja)

Sejenak aku berpikir, dengan apa perjalanan Rembang-Jakarta kelak kutunaikan. Back to Nusantara-kah? NS 19 atau NS 39? Ah, aku belum sempat merekontruksi mood-ku. Semenjak puasa berlanjut lebaran hingga sekarang, sekian panjangnya waktu itu pula aku tak menyetubuhinya. Dan rasa-rasanya, telapak kaki ini masih berat untuk melangkah, berteduh kembali di bawah naungan “Nyiur Melambai”.

Selintas pesan salkir tadi pagi membayang.

Hmm...bisa jadi, SMS itu memberikan chemistry yang pas untuk menghapus aprioriku yang terus saja meremehkan sepak terjang Pahala Kencana dalam upayanya menggunting waktu tempuh sejauh 600-an km.

Yup, sejatinya ini memang jalan rujukku untuk tidak terus-terusan melanjutkan acara “pisah kabin” dengan bus sejuta trayek itu.

“Maaf baru balas, Mbak Nafis. Saya mau pesan tiket untuk Minggu sore ke Rawamangun. Masih ada, Mbak?”

Kureply pesan yang awalnya keliru sasaran, seolah-olah memang sudah ada pembicaraan yang nyambung antara aku dengannya.

Tak sampai lima menit, turun jawaban.

“Maaf Mas, tujuan Rawamangun habis.”

“Kalau VIP Pulogadung masih ada, juga ngga papa, Mbak!” kucari alternatif lain, sebab dua pilihan luput dari tangkapan.

Baru saja duduk di dalam bus kota yang melayani Tanjung Priok-Pulogadung direct, terbit lagi warta, yang kali ini tentu saja menggembirakan.

“Nomor 1B, gimana Mas?”

“Ok, saya ambil, Mbak.” tanpa berpikir panjang, kuiyakan saja. Siapa yang tak senang, di saat bisnis transportasi tengah “musim panen”, ndilalah dapat nomor keramat?

Saat status delivered muncul sebagai penanda “telegram mutakhir” itu terkirim, seketika pula“memori hitam” menodai kegiranganku.

Awal tahun adalah fase krisis bangku, dan booking pun sudah mepet hari H. Tapi kok dengan mudahnya aku meraup seat front row?

Jangan-jangan...?!?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar