Kamis, 17 Maret 2011

“Barbar Kids” Rhapsody (4)


Pukul 18.24

Dengan bergegas, pintu keluar terminal kelas A Kota Kretek ditinggalkan. Namun tak serta merta determinasi tingkat tinggi dikendurkan. Moda bernomor “KTP” K 1684 FA tetaplah berlari dengan tunggang langgang, cekat-ceket, seakan ingin memperlebar jarak dengan kompetitor-kompetitor muda yang mengintai di belakang.

Bus berkapasitas 40 seat ini sempat dua kali melakukan jeda nafas, saat berhenti di agen Gajah serta menghampiri lima orang yang nyetop di jalan lingkar Kota Wali, yang merupakan titipan agen Demak.

Selebihnya, bus dipacu dengan kecepatan yang “mengagumkan” sehingga memberikan peluang bagiku untuk merasai kreatifitas para mekaniknya Pak Aris dalam mengalihfungsikan “komponen per bekas kepunyaan gerobak”. Menurutku sih hasilnya lumayan empuk, bodyroll bisa diredam, tak sampai mengocok isi perut. Meski tak selembut ayunan leaf springs defaultnya, namun memberikan kenyamanan yang lebih dibanding milik Hino RK8 generasi awal.

Rute jalan tol Muktiharjo-Krapyak lebih dipilih ketimbang lewat kota atau arteri Pelabuhan Tanjung Mas. Sesampai di interchange Jatingaleh -- titik pertemuan dengan jalur Jogja/ Solo – tampaklah Ramayana Setra tengah bernafsu menguber Raya Panorama DX. Selamet tak mau ketinggalan berpartisipasi. Didesaknya duo mercy klasik tersebut hingga bus berlatar dua sejoli tengah menari tersebut didongkel dari posisinya, saat menuruni bentang jembatan Kaligarang. Tak lama kemudian, Rhema Abadi AA 1584 AA pun mengalami nasib serupa, disungkurkan. Sayang gate penghujung menghadang usaha Pak Shantiko dalam melengserkan PO Raya.

Bersua kembali dengan jalan non bebas hambatan, lagi-lagi bertemu pantat PO Raya yang lain, dengan nopol AD 1498 AS. Meski sudah intip kanan intip kiri, seolah kena kutukan “kursi pesawat DC 10”, bus-ku pun gagal mendahului Laksana Clurit berID 37, karena harus mampir di SPBU Wonosari. Bersamaan itu pula, masuklah K 1705 GA, serikatnya yang lebih fresh, lantaran dicangkoki reaktor pembangkit jenis OM 906 LA.

Ketika menghisap cairan berenergi sebanyak 115 liter, berbondong-bondong bus malam yang akan bermusafir ke penjuru barat. Satu di antaranya bus yang aku incar, The Gold Haryanto, yang “dijejali” para wisatawan domestik setelah selesai berlibur di Kampung Loram.

Sip, jamnya nyaris bareng, kemungkinan bisa nge-gap di rumah makan.
Bus yang ber-GVW 14.080 kg ini kembali pajang greget di ruas Mangkang-Kendal. Tanpa basa-basi, bus wisata Pandu Jaya yang mengusung model Laksana Comfort, Tri Sumber Urip garapan Morodadi Prima serta Safari H 1463 BC, didepaknya.

Di Weleri, peran kursi CB dioptimalkan sebagai tambahan income bagi kru, sehingga mempersempit kedudukan Pak Wisnu di singgasananya.

Sewaktu absen di rest area Bukit Indah, terlihat The Gold lebih duluan “finish”. Armadaku mengistirahatkan diri di sebelah kompatriotnya, masing-masing Si Puppy (yang dinaiki Bapakku dulu) serta Albert Einstein H+W = LR. Setelah menikmati gala dinner disambung ibadah wajib, kemauan hati ingin mencari Mas Fathur cs, kandas. Gara-gara corong pengeras suara meminta seisi bus agar bersiap. Waktu break for meal aku nilai memang singkat.

Dan benar, sewaktu berangkat meninggalkan tempat rehat yang paling aku benci itu, ngeblong tak jantan idola baru anak-anak Haryanto Mania.

Yang aku herankan, tak ada aplusan driver, hak atas lingkar setir masih atas nama Pak Shantiko, sedang rekan seprofesinya yang terlihat cuma Pak Wisnu. Kemanakah yang satunya? Jangan-jangan engkel, seperti yang dialami Old Butterfly tempo hari?

Tanjakan Plelen bukan batu sandungan bagi kinerja OM 366LA. Dengan entengnya ditaklukan, sembari menundukkan Pahala Kencana B 7275 WV, Selamet Grand Aristo serta Garuda Mas Evolution B 7881 VB.
Di special stage Alas Roban, Selamet kecolongan. Tanpa ampun dilibas salah satu amunisi bertitel “HT”, Setra Ombak Biru B 7401 NL yang malam itu tampil kesetanan. Aku kurang tahu, jurusan Ponorogo, Yogyakarta ataukah Wonogiri.

Ikatan batin sesama member BMC sangat kuat, hingga jagat alam pun sudi menghamparkan bilik pertemuan antar mereka. Dan aku meyakini akan hal itu.

Setelah tertidur agak lelap, di ruas Petarukan, entah sebab pasal apa, tiba-tiba aku terbangun. Dalam sekejap kedipan mata, berlalulah Dahlia Indah “Barata” dan amazing!!!…ditempel secara lekat oleh HM 21, kode bus untuk The Gold Haryanto.

Dan ajibnya, secara bersamaan dan bersebelahan akhirnya tertahan oleh lalu lintas yang melambat menjelang Tugu Selamat Datang Kota Pemalang, meski posisi busku sedikit di belakang The Gold. Dari balik pekatnya kaca, lamat-lamat aku menatap siluet wajah Mas Rully dan Mas Hadi, serta dengan jelas memergoki someone yang sedang merekam momen turing lewat kamera di atas bangku kenek.

HM21 yang kondang akan kelincahan dalam meloloskan diri dari kemacetan, menggunting U-turn lalu menginfiltrasi jalur berlawanan. PO Selamet pun tak kalah gesit. Seolah mendapat guide, dikuntitnya aksi B 7979 VGA tersebut, hingga berhasil mengarungi lautan “pekerja malam” yang terjerembab di jalur yang benar.

Semakin mendekati pertigaan ringroad Kota Nasi Grombyang, di mana banyak “korps baju coklat” berdinas, Pak Anto, pramudi, menyusup kembali ke lintasan semula, diikuti bantingan setir yang diarahkan ke kiri oleh Pak Shantiko.

Dan keajaiban datang lagi. Saat tersendat kembali, kedua bus lain pesona itu persis berdampingan. Dan semakin jelas tampang-tampang penghuni seat-seat depan.

Kukabari Mas Fathur via short messages, “Mas, aku di sampingmu.”

Teettt…Pak Anto mengawali menyapa dengan membunyikan klakson, sembari tangan kanannya melambai dari luar jendela, sebagai salam hormat kepada seniornya. Dan seketika itu pula dibalas Pak Shantiko. Teett…

“Niku Anto ingkang ngasto…” kata Pak Shantiko kepada Pak Wisnu. “Jagoan-e Kajine”, imbuhnya. (Itu Pak Anto yang bawa, jagoannya Pak Haryanto)

Yang membikinku salut, para kru PO Selamet selalu menggunakan bahasa krama dalam berdialog. Barang langka yang sulit ditemukan di atas panggung jalanan era sekarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar