Rabu, 02 Maret 2011

Rest Your Wings, Old Butterfly! (4)




Ujian Tiada Putus

Jalur selebar 1½ badan bus benar-benar menguji kesabaran. Dari arah berlawanan, bus berkapasitas 36 seat ini kres dengan armada-armada pariwisata yang tengah pulang plesiran, sehingga pergerakannya seringkali tersendat karena harus pintar-pintar berbagi ruang. Yang sempat bertatap muka adalah empat properti PO Budi Jaya, PO Bahagia Utama dan PO Era Trans. Sedang untuk non-wisata tercatat bus Patas Surabaya-Semarang, Restu Panda.



Memasuki Desa Tergo, yang merupakan perbatasan Kabupaten Pati dan Kabupaten Kudus, sekaligus titik percabangan arah Kandang Mas dan Colo, OH 1518 kembali berjuang melawan tanjakan landai memanjang, serta berkelak-kelok. Busku yang terengah-engah sempat kehabisan daya dorong, saat sepeda motor di depannya “ngerem paku” karena menghindari bopeng jalan. Handbrake sempat diaktifkan belasan detik, sebelum pedal akselerator diinjak paksa kembali. Dan ajib… sukses. Kupu-kupu tua memang tangguh.

Belum cukup cooling down, tanjakan berbentuk huruf “Z” di Dukuh Waringin yang terkenal curam, menghalang. Di sisi kiri, lempeng bumi berupa lereng, dan seolah bernafsu menelan kendaraan andai gagal mendaki. Bahkan, mesin RG yang terbenam di atas chasis B 7589 PV kewalahan. Saat terhenti, bus polesan Tri Jaya Union itu sempat ngesot, sebelum secara kasar dihentak agar mampu merangkak kembali.

Para penumpang menahan nafas kembali. Adrenalin mulai merambat mencapai titik didih. Kami pasrah, menaruh kepercayaan penuh serta keselamatan di atas pundak Pak Eko.

Guliran langkah bus terlihat diforsir. RPM ditahan pada putaran menengah agar mencapai torsi maksimal serta gigi transmisi bertipe G3/60 dilokalisir pada posisi terendah. Memang terasa, bus mendaki perlahan, seakan tenaga tidak ada habisnya. Berkali-kali juru mudi memonitor panas radiator serta tachometer, menjaga agar jangan sampai trouble, overheat.

Dan buah kecakapannya hampir berbuah hasil. Sayangnya, tinggal selangkah lagi menundukkan tikungan atas, dari atas sekonyong-konyong meluncur truk boks yang tak kenal toleransi untuk mengalah. Akhirnya, rem spontan diinjak, yang berakibat tidak selaras dengan kerja kopling. Efeknya terjadi blackout, engine seketika mati.

Cepat-cepat rem parkir di-enable-kan sebelum bus melorot. Seakan tak mau kalah dengan kecekatanan Pak Eko, cepat-cepat kugapai erat handrail di depan kursi. Ya Tuhan, hamba-Mu ini ngeri dan merinding...

Saat di-restart dan dicambuk kembali, bobot bus 12 ton tak kuasa menahan cengkeraman dengan permukaan jalan. Bus malah bergerak mundur, sebelum lolongan keras ujung saluran buang meledakkan semangat agar “tuannya” jangan mudah menyerah. Dan nyatanya, meski thimik-thimik, namun dapat terbebas dan beringsut maju. Dan kembali, tepuk tangan terdengar.

Seakan ujian tak ada putusnya. Belum sempat menetralkan suhu air radiator, tanjakan panjang Dukuh Panggang menghampar di depan mata. Aku sampai-sampai menggugat, ieu mah sanes jalur wisata, tapi jalur naraka!!!

Kepakan sayap Old Butterfly dihentikan sementara waktu, kru merancang strategi baru menyikapi temperatur unit pendingin mesin yang hampir melampaui titik kulminasi, 90 derajat Celcius. Keputusannya, kru-02 alias pembantu sopir diminta menyeterilkan jalur. Dengan bantuan lampu dim, bus menyetop serta meminggirkan armada PO Sahabat yang dari jauh sedang bersiap untuk menurun.

Salah satu amunisi dari Pahala Kencana tangsi Jati, Kudus ini pun mengayunkan kaki-kakinya kembali. Tak bisa dipungkiri, staminanya mulai loyo, terseok-seok kelelahan saat menaklukan tanjakan yang masuk wilayah Kecamatan Dawe. Kinerja mesin tak berani lagi diperkosa secara membabi buta, mencegah agar OM366A jangan sampai nge-klok. Pak Eko pun mempraktikan driving style truk-truk besar saat kepayahan menyusuri jalan yang mendaki. Roda-roda dimanuverkan ke kanan-ke kiri, melenggak-lenggok, zig-zag, agar tak kehilangan koefisien gesek dengan aspal serta me-maintain torsi agar mencapai top tourque tanpa melabrak batas aman putaran mesin.

Dan sekali lagi, prestasi B 7279 WV ini patut dibanggakan, meski akhirnya bus dirihatkan setelah meruntuhkan rintangan ini. Mas Kenek membuka kap mesin lebar-lebar untuk memastikan kondisi radiator.

“Radiatormu mbledhos yo?” gurau kenek Marcopolo K 1601 B saat mendahuluinya, disusul K 1596 B serta K 1622 B yang “cuek” dengan kesusahan busku. (Radiatormu meledak ya?)

“Piye, isih wani lanjut ora iki? Panas tenan radiatore…” Pak Eko meminta pendapat aspri atas ketidak-PD-annya. (Bagaimana, berani lanjut apa tidak?Panas sekali radiatornya)

“Lanjut Pak, Colo wis cedhak.” (Lanjut Pak, Colo sudah dekat)

Semakin jelas terlihat, kawasan wisata religi Colo mendekat ke pelupuk mata. Puncak Argo Wiloso, sebagai “mercu suar” obyek menarik ini terlihat berwibawa, tinggi menjulang, meski sorot sang surya mulai redup menyinari bentang jagat raya. Guratan-guratan bebatuan lempeng gunung menghanyutkan diri dalam perenungan, bahwa kita ini kecil, tak bermakna di hadapan-Nya.

Dengan puing-puing kekuatannya, bus bersistem transmisi 6 speed ini melanjutkan intermediete yang tersisa dari kegiatan pendakian Gunung Muria. Walau tertatih-tatih dan mulai “diusir” oleh kompatriot-kompatriot dari regunya, kibasan sayap kupu-kupu tua tak pantang menyerah dan tak kenal putus asa melahap tanjakan-tanjakan berkualifikasi medium. Rapor birunya, Colo, punggung Muria di belahan selatan dengan ketinggian 600 m dpal, nyata-nyata kuasa ditaklukkan.

Meski di klasemen akhir posisinya turun tiga peringkat, dari empat ke tujuh, namun torehan positif itu tetap membuatku angkat topi, salut dan mengapresiasi daya gedor Old Butterfly ini.

Don’t judge the bus from its appearance…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar