Kamis, 10 Juni 2010

Berdamai dengan “Sapu Jagat” (4)


Di etape pamungkas inilah keluar karakter bus Muria yang sesungguhnya, trengginas jalannya. Bahkan, Gaya Putra tadi berhasil disalipnya dan mampu menguntit dua armada dari grup Ijo, Lorena. Wow, selambat-lambatnya bus Kudus-an, masih lebih lambat bus dari tlatah Mangkunegaran.

Tapi tetap saja, determinasi yang ditunjukkan itu meaningless…

Sementara, raja siang sudah mulai “say hello” di cakrawala timur saat bus keluar dari tol Kanci. Sekarang gantian aku mengkalkulasi, kira-kira telat berapa jam saat melakukan fingerprint di piranti kehadiran kantor, dengan variabel Senin adalah hari potensi macet kota Jakarta.

Bus berhenti di SPBU di daerah Lohsarang. Memberi kesempatan penumpang untuk membuang sampah metabolisme sebab toilet bus praktis tak bisa digunakan lagi karena ketiadaan air bersih.

Jalan kembali dengan driver I yang “urang awak” sebagai Pak Kusir-nya. Yang lucu, gara-gara concern pada kecepatan, terlupa masuk RM Taman Sari. Sehingga bus memutar di kolong jembatan layang Pasar Pamanukan. Ternyata “kekacauan” bus ini belum berakhir.

“Napa masuk rumah makan segala sih Pak, sudah kesiangan ini…”, protes penumpang di kursi depan.

“Kalau ngga mampir, kita yang disalahkan Mas…”, ungkap driver dengan tampang yang dihiasi kumis tebal.

Mendingan lah, cuma nge-cek jumlah penumpang, tidak sampai makan pagi. Tapi kok ya jadinya absurd, masak kontrol ketat masih saja ada celah bagi kru untuk menaikkan penumpang haram.

Di sinilah kru diomeli oleh controller.

“Temenmu sudah masuk setengah empat, bus ini kemana saja?”

Sebelum kru menjawab, penumpang bersahutan memberikan penjelasan akar penyebabnya.

“Ya…ya…nanti saya lapor bos-e. Mosok jam setengah delapan baru masuk Pamanukan”, katanya untuk mendinginkan suasana.

“Jangan lapor thok, tapi ya diperbaiki busnya….”, eyel penumpang.

Lalu lintas mulai padat oleh kegiatan warga, sehingga laju OH-1521 tidak bisa lagi maksimal. Mulai Pamanukan hingga Jatisari, saling beriringan dengan dua Karina, Rasa Sayang, OBL Mataram dan Gaya Putra.

Di pertigaan Jomin, Si Pinky mulai tampil agressivitasnya. Seperti kesetanan, diblongnya deretan kendaraan yang tengah merayap, hingga bus-bus Tegal-an dari arah depan dibuang ke bahu jalan. Lampu dim kendaraan bergantian mengedip, saat bus ini nekad merenggut jalur berlawanan. Padahal di daerah ini seringkali Pak Polisi “rajin” mengintai mangsa.

Jangan-jangan sopir dihinggapi stres akibat molornya waktu tempuh perjalanan dan menghadapi problem sulit di jalan?

Tapi kok ya sia-sia usahanya barusan, saat bus kembali mampir di ruko Cikampek, tempat pos Pahala Kencana dan Lorena.

Mau apalagi bus ini?

Waduh….unloading beragam paket di depan kantor Pahala Ekpress divisi Cikampek. Dan petugas PE ikut membantu mengalokasikan kargo. Jangan-jangan ada kerjasama antara TSU dan Pahala Ekpress ya? Karena di salah satu bungkus kemasan paket tertulis tujuan pengiriman “Palembang”, kemungkinan barang ekspedisi diestafetkan dari TSU ke Pahala Kencana jurusan Sumatra.

Untung saja, jalan tol Cikampek relatif lancar. Kemacetan parah hari Senin pagi menjelang jam kerja tampaknya sudah terurai. Sehingga bus VIP ini terbantu untuk menuntaskan kewajibannya mengantar penumpang ke terminal AKAP tertua di Jakarta.

Jam 10.15, sapu jagat landing di Pulogadung. 16 jam 30 menit total time on board-nya. Ceritanya malah sapu jagat tersapu malam. Ffuhhh…I am so tired now.

Tapi omongan Pak Sopir terbukti, Gaya Putra berhasil dipukul balik, diberi pelajaran setimpal gara-gara merampok penumpang bus lain yang sedang kesusahan. Hanya beda tiga menitan, Gaya Putra baru bisa menyusul kemudian. Aku pikir, pasti penumpang yang pindah bus bakal menyesal. Sudah bayar ekstra, waktu kedatangan di terminal destinasi tak signifikan jedanya.

Beraneka ekpresi dari roman muka penumpang yang hendak melangkah turun. Ada yang mengomel, berkomentar pedas, menggerutu, cemberut dan sebagian ada yang memaklumi, yang penting tiba di tujuan dengan selamat.

Semua itu disikapi driver dengan senyum yang sarat keakraban.

“Matur nuwun ya Mas, Pak, Bu. Semalam sudah banyak dibantu. Saya hanya mohon maaf sedalam-dalamnya atas perjalanan semalam yang jauh dari harapan. Kalau semuanya tidak memaafkan, dosa saya makin bertambah besar. Jadi sekali, sepurane nggih…”, ucapnya tulus sebagai salam perpisahan.

Kuacungi jempol pada twin brother Cak Brodin ini atas manajemen konfliknya yang begitu elegan dan luar biasa. Serasa kami sebagai penumpang mudah melupakan kenangan pahit serta sengsara tadi malam. Justru yang akan selalu kami ingat tentang kedewasaan, kebersahajaan dan kebijakan Bapak Sopir dalam mengatasi gap kekisruhan dengan para penumpangnya.


Kapokkah aku naik bus “Sapu Jagat Pemangku Buana” pendekar dari Karangturi ini? Hmm…(sambil menerawang langit).

Rabu, 09 Juni 2010

Berdamai dengan “Sapu Jagat” (3)


Greg…tiba-tiba bus mendadak shutdown sesaat akan go setelah lampu hijau di traffic light pertigaan Genuk, Semarang, menyala. Saat kunci starter berkali-kali dihidupkan, tetap tak mau on. Deretan kendaraan di belakangnya mulai mengular, tersumbat mogoknya bus ini di lajur tengah.

“Mas, tulung ewangi nyurung…”, pinta kenek seolah tanpa dosa pada penumpang. (Mas, bantu dorong)

Belasan laki-laki berbaik budi membantu mendorong bus ini. Sebagai warga sekampung dengan TSU, aku jadi malu menyaksikan PO kebanggaan wong Rembang didorong bergotong royong. Jadi lahan proyek padat karya para penumpang. (Pripun niki Mas Hary?)

Setelah melahap tol Kaligawe-Jatingaleh-Krapyak, sapu jagat ini kembali tertatih-tatih menyusuri trully pantura circuit. Serasa tidak ada pemandangan menarik bagiku, karena hati mulai dibekap kegondokan.

Lewat kompleks rumah makan, semuanya hampir sama, tinggal acara cuci priring karena selesai melayani hajat dinner penumpang. Sari Rasa, Sendang Wungu, Gerbang Elok, Jaya Giri dan Bukit Indah nyaris kosong melompong.

Selesai menjamu makan malam di RM Kota Sari, Gringsing, bus bersiap mendaki tanjakkan Plelen di bawah kendali sopir kedua. Bus yang nge-line Tuban-Jakarta ini mulai dihela. Lumayan…

Puluhan bus malam dari Jakarta berparade, memberi sejuta warna pesona jalan Deandeles. Sementara lonceng waktu mewartakan jam 23.30. Hitung-hitunganku, tak bakalan tercapai target waktuku.

Sialnya, kondisi headlamp semakin mengkhawatirkan. Kian lemah cahayanya dan sopir hanya mengandalkan lampu penerang jalan umum dan sorot lampu kendaraan dari depan. Di luar itu, terlihat kalau Marcopolo buatan Tri Sakti ini berjalan dalam kebutaan. Jelas driver meraba-meraba posisi jalan dengan melambatkan putaran mesin OM 366 LA ini. Lampu kabin semuanya dipadamkan, seakan ada penghematan energi.

Aku mulai tak tenang bila memejamkan kelopak mata. Retina ini kubuka paksa, mewaspadai setiap guliran detik dengan kengerian yang diciptakan, menaklukan keganasan Alas Roban dalam kegelapan. Aku mulai mencari jawab, mengapa bus ini kehilangan tegangan untuk memijarkan bohlam lampu flight-nya? Dugaanku, dinamo ampere tak mau men-charge bateray kembali. Tapi mengapa, sejauh perjalan Rembang hingga Batang, accu-nya tak juga tekor, tetap saja sanggup menyuplai strum kelistrikan bus ini?

Musuh biologis yang berbentuk uapan kantuk tak bisa aku lawan. Tanpa kusadari, aku tertidur. Zzz…

Terbangun kala bus berhenti dan mesin kembali dimatikan menjelang ringroad kota Pemalang. Aku pun turun untuk menyidik apa gerangan yang terjadi. Jam di HP-ku terpampang angka 01.32

“Ada apa Mas, kok berhenti?”, tanyaku pada drivernya.
“Lampunya mati Mas, dinamonya ngga mau ngisi…”, terangnya.
“Rusak apa fan beltnya yang putus?”
“Fan beltnya kendor Mas. Biar ngisi, bus harus berjalan pelan, karena rantai fanbelt akan menegang dan bisa memutar pulley alternator. Kalau bus kenceng, fanbeltnya ngga mau nyantol. Tapi kalau begini, bisa jam berapa sampai Jakarta?” jelasnya dalam kebingungan juga
“Ngga bawa v-belt cadangan Mas?”
“Ngga Mas”

“Mata saya pedas dan lelah Mas, melototin jalan terus,” curhat driver yang rautnya sekilas mirip ikon Orkes Melayu Sera, Cak Brodin, “Makanya, bus ini istirahat dulu…”

Sembari ngaso, kru menyuruh tukang tambal ban di dekat lokasi pemberhentian untuk membersihkan filter udara dan menyemprot ruang mesin dengan hembusan angin yang dihasilkan kompressor. Apa hubungannya coba, toh masalah bukan di dapur pacu, tapi di kelistrikan?

Dipaksa untuk jalan lagi, dan sekali lagi bus didorong ramai-ramai.

Entah berapa kali sopir gedandapan (tergagap-gagap) karena buram melihat kondisi jalan. Bahkan, sempat akan menyium bak truk gandeng di ruas jalan yang sedikit penerangan, hingga kenek member aba-aba keras kepada sopir.

“Hey…hey…awas….awas…!!!”

Kemudian, entah berapa sering pula celutukan serta celometan penumpang yang menjelek-jelekkan kru maupun bus. Sudah tahu bus dalam kondisi tidak fit, tapi diperkosa untuk jalan, itulah yang membuat mereka tidak habis pikir.

Defile bus-bus jurusan Banyuwangi, Jember, dan Malang satu persatu mengasapi nafas muda bodi tua bus ini. Kulanjutkan tidur-tidur ayamku meski masih diliputi perasaan was-was.

Hawa pengap kabin kembali menyadarkanku dari peraduan. Bus berhenti kembali di daerah Tanjung, Brebes. Dan sesuai perkiraanku, waktu sudah menjelang Shubuh, jam 03.35. Demi menghirup udara segar, kulangkahkan kaki keluar dari Sprinter yang bukan jago sprint ini. Terlihat sopir dan kenek belanja kabel di toko onderdil “Roda Maju” (kalau tidak salah) yang buka 24 jam.

“Ada apalagi Mas?”, tanyaku saat sopir kembali ke armadanya.
“Gara-gara saya kebut, akinya tekor Mas. Semua lampu sudah padam, klakson tak bunyi, sein tak fungsi. Saya tak berani jalan lagi Mas, benar-benar tak tahu jalan. Keselamatan penumpang yang saya pikirkan. Daripada terjadi apa-apa, malah saya yang dituduh melakukan kesalahan berat”

“Terus bagaimana Mas?”
“Ini coba diakali, di”bandrek”, strum diambil dari dinamo AC. Kali aja mau nyala…”

Saat perbaikan, tiba-tiba satu warga Soloensis, PO Gaya Putra AD 1514 CF ikut berhenti. Pura-pura ikut membantu, tapi ada muslihat tersembunyi. Kru merayu penumpang TSU untuk oper ke busnya. Beberapa penumpang termakan iklan iming-iming dari kepandaian kenek bus yang berhomebase di Karanganyar tersebut dalam bersilat lidah. Padahal mereka menanggung sendiri biaya tambahan, tanpa ada kompensasi dari pihak TSU.

Sopir-ku pun naik pitam. Tapi apa daya, itu kemauan penumpang sendiri.

“Kalau saat ini bos menelepon untuk mengoper penumpang ke bus lain, saya malah lega Mas. Tapi kalau seperti ini, terus ada yang komplain ke kantor, saya pasti dimarahi sama Mbah Do. Coba nanti, aku balas bus kupret tersebut. Siapa yang akan duluan masuk Pulogadung”, tantang sopir.

Dalam batinku, “Modalmu apa Pak Sopir?”. Sesama sapu jagat dilarang saling mendahului. Hehehe…

Selesai merekayasa sistem elektrikal, bus dijalankan kembali dengan start awal didorong lagi.

“Ora sisan disurung tekan Jakarta Pir…!!!’, umpat salah seorang penumpang. (Tidak sekalian didorong sampai Jakarta, Pir)

Tapi hasilnya nihil, no result. Baru 2 km berjalan, bus berhenti lagi. Kemungkinan salah instalasi kabel.


“Bus baru-barunya ke mana, Mas?”, kucoba lagi untuk mengakrabkan diri dengan kru.
“Pokoke Mas, yang diurusi juragan ya wisatanya. Bus ini juga bukan batangan saya. Di pool ngga ada bis lagi, tinggal bus remek ini. Kalau sampeyan nanti dapat bus ini atau yang warna biru, tak usah naik Mas. Itu bus ra nggenah semuanya,” nasehatnya sambil menahan geram.

Aku pun tertawa, karena aku pun pernah tersiksa di dalam armada biru TSU.

“Sore nanti jalan ke timur lagi Mas? Dari Lebakbulus ya?”, tanyaku kembali.
“Walah Mas, mana mau penumpang Bulus dikasih beginian. Pulogadung saja belum tentu laku…”, bebernya.

Di sisi lain, kekesalan penumpang makin menjadi-jadi. Kru seakan menjadi sangsak hidup cemoohan, makian dan caci maki dari mereka.

Tapi yang aku salut, sopir kedua tampak tenang dan tidak terpancing emosi. Padahal, kalau dilihat dari garis wajahnya, masih terbilang muda. Dibalasnya aksi tak terpuji penghujatnya dengan tutur lembut dan permohonan maaf.

“Pak, silahkan merendahkan saya atau Tri Sumber Urip. Saya terima kok, memang begitu kenyataannya. Baiknya, Bapak-Bapak jangan hanya menyalahkan saya. Saya cuma babu, bekerja sesuai perintah bos. Kalau ditugaskan berangkat…ya saya berangkat. Soal busnya layak apa enggak, itu wewenang mandor. Kalau mau lapor, silahkan saja biar besok-besok ada pembenahan. Maaf ya Pak, bukannya saya membela diri, Bapak-Bapak juga harus ngerti posisi saya”, ujarnya kalem.

Sopir pertama yang mulai dari Gringsing hanya molor, sekarang turut membantu mengutak atik trouble yang terjadi. Eh, ndilalah kok ya teratasi. Entah bagaimana caranya, fan beltnya bisa di-adjust kembali kekencangannya. Strum kembali bisa mengisi. Lha kok jurus ini tidak dikeluarkan dari awal saat penyakit itu muncul?

Tapi sayang, yang dikorbankan adalah air conditioning-nya. Bus mematikan pendingin udara, karena lebih mementingkan power mesin untuk berlari, bukan untuk menunjang kesejukan kabin. Yes already, no what what…kalau keadaan darurat, sebagai penumpang ya mesti mengalah.

Unit bus yang produknya telah diskontinyu ini didorong lagi dan artinya sudah empat kali dibantu tangan-tangan manusia saat proses starting.

Berdamai dengan “Sapu Jagat” (2)


Pukul 16.24, saat berangkat dari pondok kedamaianku yang terletak jauh di pelosok kabupaten, diantar ibunya anak-anak berboncengan naik roda dua.

Ketika di tengah jalan, tiba-tiba ada SMS masuk. Sambil tetap di atas motor, kuminta istri untuk membacanya, khawatir agen memberi info kalau busnya sudah menunggu. Ternyata dari sohibku, Mas Hary Intalan Intercooler yang mengabarkan habis kres dengan NS 19 serta NS 39 di Kaliori. Loh, kemana arek ini? Sedang menunaikan ritual wajib bismania-kah?

Ternyata oh ternyata… Petinggi PO Cendana beserta couple-nya ini sedang turing tanpa restu orang tua, naik RK8 berbaju Prestige yang dipunya PO Indonesia. (Hayo, tak bilangin Papi nanti…)

Dan kuminta istriku untuk menjawab pesannya karena aku sedang pegang setang kemudi. (Maaf ya Mas Hary, kalau bahasa SMS bukan aku banget, soalnya istriku yang menulisnya. Hehehe…)

Jam 16.50, tiba di Terminal Rembang. Suasananya sudah lengang, tinggal empat orang yang senasib sepenanggungan denganku, menunggu kedatangan armada TSU.

Sekali lagi datang SMS dari lelaki berpostur atletis ini, sesaat setelah bus patas Semarang-Surabaya yang disewanya melewati kota kecamatan Lasem.

“Karangturi tainment : Calon mantu Bah Do abal-abal mengabarkan ada TSU biru panorama 3, gubuk reyot part 2. Hahaaiii…”

Aku hanya tersenyum kecil selepas membacanya.

“Mau dapat armada “sebusuk” apapun, aku sudah siapkan mental Mas,” gumamku.

Sesuai adat, armada sapu jagat TSU ini tak pernah seragam, lebih bersifat untung-untungan. Kalau nasib baik, bisa berjodoh dengan Mercy XBC-1518 New Travego Morodadi Prima, setengah beruntung naik OH King Setra Morodadi Prima, kalau apes ya dihadiahi Sprinter ala Tri Sakti, yang sering dicap gubuk reyot dengan pagupon doro nangkring di atasnya.

Lantunan ayat-ayat Al Qur’an dari corong Masjid Besar Alun-Alun Rembang lantang berkumandang, penanda Maghrib akan segera tiba. Tapi, TSU tak kunjung juga terlihat sosoknya. Sinar terang mentari telah menyurut, berganti rona lembayung senja yang mulai menggantung di ufuk barat tanah kelahiranku.

Satu penumpang yang sedang duduk di emplasemen terminal mulai resah dan gelisah.

“Sudah setengah enam, kok belum datang ya Mas,” tanyanya padaku.
“Ah, biasa telat kok Mas. Pernah jam enam seperempat baru datang” kilahku.

Aku sih tidak kaget, namanya juga sapu jagat. Semua serba asal-asalan. Jadi wajib hukumnya berdamai dengan segala keterbatasannya.

Justru yang terlihat melintas Pahala Kencana Madura dengan bodi racikan Centralindo. Tumben, cepat benar sebelum matahari tenggelam sudah menjejak jalanan kota Rembang.

Di susul kemudian Galaxy Tentrem memajang jurusan Madura-Jakarta. Nah, ternyata benar soal gosip kalau armada-armada kelas premium Ombak Biru mulai digeser ke jalur Madura, setelah Marcopolo Adi Putro mulai berdatangan memperkuat skuad divisi Jakarta.

Tepat di belakangnya, akhirnya datang juga.

Oh me…, yang datang ternyata kembaran Marcopolo Tri Sakti berlivery dunia bawah laut yang pernah aku naiki sebelumnya.

http://didiksalambanu.wordpress.com/2009/05/26/ada-cerita-dari-balik-gubuk-derita-1/

Meski beda dalam hal body painting, yang ini mengusung corak grafis minimalis dengan theme “Pinky”, tapi soal “kesederhanaan” armada, setali tiga uang. Sami mawon. Bahkan, plat nomornya yang dipakai “The Blues” dulu sekarang berpindah kepemilikan ke bus ini. Akal-akalan yang jamak lumrah dilakukan para pengusaha otobus.

Tak apalah, toh aku sudah men-declare, “I’m busmania not PO mania”. Aku harus belajar menyayangi bus yang tampil apa adanya ini.

Kondisi interior sungguh memprihatinkan. Kulit jok dan langit-langit tampak kusam dimakan usia edar bus ini. TV tabung dan CD Player hanya jadi pajangan semata. Jok bermerek “Perfect” yang aku duduki piranti reclining sudah rusak, tanpa dilengkapi selimut, apalagi bantal. Kaca samping mengusung dual mode, kaca mati dan kaca buka tutup, yang notabene ciri khas bus bumel. Meski tubuh luar masih terlihat mulus, tapi di beberapa titik cat terlihat mengelupas. Bahkan, di sisi kanan, tulisan “Urip” telah hilang, menyisakan sepenggal nama “Tri Sumber”. Benar-benar tak terawat sebagaimana mestinya.

Meninggalkan terminal Rembang, dengan 70% kapasitas kursi reserved, bus langsung disambut hujan lebat. Entahlah, apakah Sang Pencipta sedang memberkahi bumi kawista yang beberapa hari ini dihujami panas terik ataukah alam sengaja memandikan bus bernomor K 1585 AD agar terlihat segar, wetlook dan kinclong? Petir yang menggelegar bersahutan seakan memberi cambuk bus ini agar segera berlari, sekaligus membentakku karena melupakan teman lama (Nusantara) setelah kenal sahabat baru.

Ya Allah, tak mengapa Engkau pertemukan hamba dengan bus macam begini, tapi hamba mohon, lancarkan perjalananku malam ini. Amin…

Baru saja selesai berdoa, tiba-tiba penumpang di seat 23 dan 24 meloncat.

“Oalah Pir, gendenge bocor…”, teriak salah satunya dari belakang. (Oalah Pir, gentengnya bocor)

Hahaha…cucuran air dari atap deras membasahi jok berwarna merah maroon kucel itu.

“Ember bocor ngene kok isih dilakokno tho Pir. Koyok ra nduwe bis liyo…”, imbuhnya.
(Ember bocor begini kok masih dijalankan. Seperti tak punya bis yang lain)

Demikian kekritisan, kevokalan dan kevulgaran penumpang Muria Raya dalam menyampaikan uneg-uneg, keluhan dan aspirasinya.

Tiba di Batangan, bus mampir di agen. Tapi herannya, setelah penumpang naik, bus tak jua berangkat. Malah terdengar tools beradu dengan komponen bus…kluthak kluthik…entah kru sedang memperbaiki apa, karena rinai gerimis masih membumi serta suasana agak gelap sehingga tak tampak jelas apa yang dikerjakan.

Bus berjalan kembali. Tapi sungguh di luar dugaan, bus malah menyiput. Tak ada greget cara pembawaan pramudinya. Yang aku tak habis pikir, lampu besarnya begitu redup, tak kuasa menerangi jalan. Bahkan, acapkali separo roda bus terbuang ke bahu jalan karena tak bisa melihat jalan. Ada apakah ini?

Jam menunjuk angka 18.29 ketika melenggang masuk Terminal Juana. Sekitar 8-10 penumpang naik memenuhi kursi yang masih kosong. Aku akui, kota bandeng adalah tambang emas PO berlogo bola dunia ini. Selain banyak loyalis dari daerah ini, banyaknya pengusaha kuningan memanfaatkan TSU sebagai bus paket untuk mengusung produk mereka ke Jakarta.

Telah 15 menit berhenti, bus tetap tak beranjak dari tempatnya. Malahan, sopir mengajak kenek makan malam di belakang terminal. Ya ampun, mana pendekatan ke konsumen agar TSU makin dipercaya kalau seenaknya begini dalam melayani penumpang?

Menyinggahi terminal Pati, laksana masuk area kuburan. Sepi, hening dan remang-remang karena tak ada lagi aktivitas. Yang menginap di dalam terdapat dua armada Sumber Larees dan beberapa bus medium Purwodadi-Pati.

Di jalur Pati-Kudus, seolah Mercy Intercooler ini semakin tak berdaya. Bahkan suara gemlodagan makin menjadi-jadi karena jalur sepanjang 25 km ini penuh lobang dan konturnya bergelombang. Tak ada aksi pecicilan, yang ada malah jadi bahan blong-blongan truk-truk bermuatan sedang. Aku semakin bingung, sebenarnya bus ini sakit apa? Kapan kau tunjukkan merahmu, TSU? Kalau very very slow begini, jam berapa sampai Pulogadung?

Tiba di Terminal Jati Kudus, tak terlihat satupun armada Muria Raya. Yang sudah-sudah, saat singgah di kota Mas Fathur Raras ini, setidaknya masih menemui kabilah bumi Kartini, PO Muji Jaya dan satu armada PO Haryanto.

Yang semakin aku tak mengerti, di saat TSU perlu memangkas waktu, yang ini malah masih sibuk mencari penumpang. Padahal semua kursi telah terjual. Tebakanku, yang dicari adalah sarkawi-an.

Memang profit bagi kru, 3-4 penumpang ilegal didapat. Meski harus berdesak-desakkan di space depan toilet, karena sudah tidak ada bus alternatif yang lain lagi.

Penumpang mulai menggerutu. Apalagi ada dua penumpang baru sebagai tambahan memaksa turut.

“Iki tok anggep gabah opo piye Pir…ditumpuk-tumpuk ngene”, olok-olok dari salah satu penumpang. (Ini apa dianggap gabah…kok ditumpuk-tumpuk begini).

Akhirnya, jam 20.48 keluar dari terminal baru tersebut dan bertemu pantat LE-411, bus Lorena pertama dari Surabaya. Secercah rasa pesimis mulai merambat dalam pikiranku. Besok aku terlambat ngantor. Hiks…

Lagi dan lagi, sopir masih berusaha memungut Si Sarkawi di depan Ponpes seberang SPBU Nusantara.

Duh…duh…duh…pan sudah full seat, mestinya sekarang kan waktunya berlari, apalagi yang mau dicari?

Bis kembali melaju, tapi tak ada kemajuan, tetap saja pelan. Kalau aku kira-kira tak sampai 80 km/ jam. Satu persatu laskar Sakera mendahului. Karina, Kramat Djati, Haryanto dan Pahala Kencana.

Untunglah, ada poin baiknya dari bus kelas VIP ini. Selain bunyi klaksonnya yang unik mirip bus Cirebon-an, adalah hembusan pendingin udara yang begitu dingin menusuk tulang. Hati penumpang yang sedang panas bisa diredam kesejukan AC Thermo King kandang merpati ini.

Ya sudah, pasrah. Obat kecewa ya tidur…

Berdamai dengan “Sapu Jagat” (1)


Di entitas railfans, fusi dua kata “Sapu” dan “Jagat” yang membentuk idiom “Sapu Jagat” tentu bukanlah barang baru yang terdengar asing di telinga. Kosakata yang diadopsi dari istilah “Doa Sapu Jagat” menjadi “Kereta Sapu Jagat”, seringkali menjadi salah satu bahan pembicaraan hangat di forum masyarakat transportasi tentang keberadaannya yang kontroversial. Meski penampakan wujudnya hanya saat momen ramai penumpang, -- semisal arus mudik lebaran -- sebutan yang merujuk pada kereta terakhir yang dibebani tugas mengangkut sisa-sisa penumpang yang tak tertampung kereta reguler, sempat diakui secara resmi oleh Pemerintah sebagai penamaan baku salah satu rangkaian kereta api. Meski kini kereta sapu jagat dihapus dan bermetamorfosis menjadi kereta komunitas, namun kepopuleran sapu jagat terlanjur melekat dan melebur di dalam dunia perkereta-apian tanah air.

Tak perlu ditanya soal kenyamanan di atas kereta sapu jagat. Kereta yang berstatus moda angkut tambahan ini diterjunkan ala kadarnya, minim fasilitas dan cenderung tidak manusiawi. Hingga kereta kargo sah-sah saja disulap menjadi jajaran gerbong tanpa isi, hanya los tanpa sekat dan tempat duduk. Penumpang dipersilahkan duduk lesehan bila dengan terpaksa mau ikut. Karena kembali kepada fungsi awal Sang Sapu Jagat, “membersihkan” penumpang yang masih tertinggal di stasiun lantaran tidak mendapatkan tiket kereta terjadwal.

Meski dalam konteks berbeda, di kosmos perbisan pun tertular “virus” sapu jagat ini untuk mewakili “the last bus standing”, menawarkan solusi bagi penumpang yang kemalaman tiba di terminal, melakukan trip tanpa perencanaan atau tak kebagian kursi yang diincar sebelumnya. Mengambil contoh, di trayek Jakarta-Surabaya ada Setia Bhakti dan Agung Bhakti, PO Tri Mulia di jalur Solo-Jakarta atau Purwokerto-Jakarta yang diisi Anggrek Cempaka.

Sekali lagi, jangan menuntut soal pelayanan berkelas dan armada yang up to date. Karena yang dijual bus ini adalah waktu take off paling akhir dengan harga yang bersahabat, mengais rejeki dari ketidakberuntungan calon pengguna bus.

Dan dalam persepsiku, tak jauh berbeda dengan PO berkebangsaan Lasem, Tri Sumber Urip (TSU). Bus ketiga yang berangkat setiap harinya dari timur ini layak kalau aku angkat sebagai sapu jagatnya jalur Rembang-Kudus-Jakarta.

Mengapa tidak?

Dengan pemberangkatan paling malam dibanding bus-bus lain, yakni jam 5 sore dari Terminal Kota Rembang, 1-2 jam dibelakang Pahala Kencana, Nusantara, Haryanto, Karina maupun TSU I dan II, melayani segala jurusan mulai Pulogadung, Lebakbulus, Cibinong hingga Gunung Putri serta fare tiket yang sedikit rendah dari pesaingnya, adalah sederet requirements yang mampu dilengkapinya untuk mendapatkan gelar sapu jagat.

Aku juga paham diri untuk tidak berharap banyak dari “tukang sapu” ini. Aku sungguh rela hati berkompromi soal armada yang tua, tingkat kenyamanan yang pas-pasan, service on board yang biasa-biasa saja, skill driver yang kurang smooth dan anti ngeblong, asal satu harga mati yang kudu dipenuhinya. Yup, absensi kerja kantor Senin pagi jam 08.00 (meski mepet di injury time) harus bisa dikejarnya.

Dalih shahihku mengapa aku berani menyandarkan badan pada sapu jagat ini karena ada nilai berharga yang bisa kuunggah, yakni berupa bonus tambahan waktu di rumah. Bayangkan, biasanya jam 3 sore sudah sibuk berkemas mengejar schedule Nusantara, kini selepas waktu ashar masih cukup leluasa buat berleha-leha di rumah. Bisa ikut momong yang kecil, mengantar jemput si sulung sekolah di madrasah diniyah, ngurusi sawah atau bbs (bobo-bobo siang) barang sebentar.

Sebagai bukti pertaruhanku, hampir dua bulan terakhir ini saat bertandang kembali ke ibukota, penguasa jagat ini kupilih sebagai tungganganku. Dan puji syukur, meski pesona armada Muria Raya jarang aku rasakan bersama TSU ini, namun rekor cleansheet tak pernah terlambat sampai kantor bagiku prestasi yang fenomenal.

Tak terkecuali Minggu sore, 11 April silam. TSU kembali kucontreng sebagai “bouraq” yang membawaku balik ke ladangku. Tak terbesit bayangan untuk melirik bus lain.

Kamis, 25 Maret 2010

Gajah Sprinter, Jago-nya Sprint (3)


Display HP-ku menampangkan jam digital, 14.33, saat bendera start dikibarkan. Semoga saja cerita dari mulut ke mulut, forum maya ke forum maya tentang kedigdayaan The Elephant ini tak terbantahkan.

Aku pun hanya kebagian seat nomor 25 di depan toilet, karena tinggal deret belakang yang belum laku.

Hmm...tapi tetap asyik menikmati pemandangan dari balik kaca karena lantai kabin tempat stand jok buatan Hai dibenamkan ditinggikan, beda 10 cm dengan bagian selasar. Untuk itu, aku berani menyebutnya semi hi-deck. Bahkan jika legrest diposisikan full horizontal hampir sejajar dengan batas kaca bawah. Bagi kaum hawa yang ingin duduk bebas berselonjor di kursi bus ini pasti sedikit jengah dan risih karena kalau tidak hati-hati pesona pinggul ke bawah bisa ter-ekspose dari luar. Ah, tapi apa ya ada, penumpang wanita pakai rok mini di dalam bus berpendingin udara dan jarak jauh lagi? Kalaupun ada, kan bisa ditutup juga pakai selimut. Halah... malah ngelantur... Jadi no problemo-lah tampilan samping bus ini mengusung aliran widescreen.

Cuma dampak sistemiknya, jarak antara kepala dengan louver AC dan lampu kabin menjadi begitu dekat. Sehingga hembusan hawa dingin Thermo King langsung terasa menyapa kulit dan tentu saja sedikit silau saat lampu dinyalakan. Inilah rapor merahnya.

Andai saja dulu waktu di-body ketinggian bus di-up dari dimensi standar, bisa jadi era bus-bus “jangkung” tanah air diawali Sprinter Aquarium ini.

Suguhan audio video dari LCD TV merek Sh*rp berupa slideshow amunisi armada OBL Jakarta dengan watermark komunitas bismania lain RT. Bolehlah karyanya, meski kreativitas yang dipunya BMC jauh lebih bernilai. Hehehe…

”Menilai tingkat speedfull dan skillfull, get feeling saat driver pertama kali menginjak gasnya”, demikian pepatah yang sering aku ingat.

Dipiloti tandem Pak Yongki, Pak Johny sebagai driver I dan sekaligus penganti Pak Tessy, bus yang meng-upload gambar Keluarga Gajah Berencana (Pasutri Gajah beserta dua bledhugnya (anak gajah)) ini memulai perburuannya. Shet...dengan lincah memposisikan tuas persneling ke gigi 1, dan grenggg...gegelegar panjang nyanyian dari mulut knalpot saat bus melenggang keluar terminal. Halus bawanya dan terkesan galak memainkan pedal akselerator.

Dengan lihai menyeruak kepadatan lalu lalang kendaraan di depan LP Cipinang dan selanjutnya memasuki tol Priok-Cawang lewat akses Pedati. Seketika itu pula terhadang kondisi lalu lintas yang padat merayap. Dan kesan pertama yang aku peroleh lagi, Pak Johny orangnya ngeyel, saat mencuri-curi celah di antara antrian mobil yang tak mau ngalah memberi jalan. Mantap...tak gentar dalam menguasai medan laga yang akan disusurinya sepanjang hampir 1000 km.

Menapak tol Jakarta-Cikampek, keluarlah kecepatan sesungguhnya ”The Fast Aquarium” ini. Langsung ambil lajur paling kanan yang diperuntukkan untuk mendahului pengguna jalan yang lain. Sebagai hidangan pembuka, dilahapnya bus kota P27 Bekasi-Mangga Dua, gubuk reyot P9B Bekasi-Rambutan, Santoso Seri T Bisnis Reclining Seat dan armada eks Steady Safe yang telah berpindah tangan ke PO Wisata ”Arion”, sebelum akhirnya keluar exit tol Bekasi Timur.

Bus berkelas eksekutif ini mesti memungut tambahan tiga penumpang dari agen kotanya Mas Arga, tepat di seberang Kantor eks Depsos, Bulak Kapal, yang sekarang menjelma jadi kompleks agen bus-bus AKAP. Dan di agen bus yang lain, tampak bus senasib yakni Harapan Jaya Old Travego AG 7465 UR, Karina Setra KE-232 Bandung-Pekanbaru dan Rosalia Indah kelas ekonomi.

Bus yang digerakkan flywheel hasil output engine OM-906LA ini masuk tol kembali. Dan tembang semula direffrain lagi, nge-joss dan meliuk ke kanan ke kiri mencari space yang kosong untuk memperlancar perjalanannya. Yang jadi korban asap karbon euro II ini Langsung Jaya Sarmila Panorama 2, Kramat Djati Comfort Subang-Rambutan dan bus karyawan YKK RI Classic.

Mendekati KM 34, daerah Cikarang, proyek pelebaran jalan tol menjadi 4 jalur menghambat laju pengguna jalan tol. Kendaraan menumpuk karena tidak tertibnya dalam mengantri dan saling serobot. Seolah tak mau kehilangan waktu sedetikpun, Pak Johny menggunakan trik cerdik. Dimanfaatkannya rest area kecil untuk berkelit dari kemacetan. Banyak bus terjerembab dalam kepadatan dan tertelan oleh ”tindakan curang” XT ini. Tercatat Sindoro Satria Mas Panorama 3, Gajah Mungkur Fajar VIP, Marcopolo Harapan Jaya, Kopral Haryanto Setra Adi Putro yang terlihat sudah buluk wajahnya, bus bumel Pribumi Raya Bandung-Bekasi, Primajasa Garut-Lebakbulus, Gagak Rimang Pulogadung-Bandung, serta Menara Jaya Pulogadung-Puerto rico.

Sempat mengobrol dengan Pak Nurcholis, asisten driver, dan mendapat bocoran (dan semoga benar adanya) bahwa OBL Divisi Jakarta telah memesan 30-an unit MB OH 1526 dan telah ada tiga unit yang siap dikirim ke pool Kebayoran, masing-masing berkaroseri Adi Putro, Morodadi Prima dan Tentrem. Tapi, untuk jangka dekat, bus-bus terbaru tersebut hanya untuk roadshow dan promosi, belum ditugaskan nge-line.

Lepas dari ruwetnya kemacetan, dihisapnya solar produk Pertamina dalam-dalam oleh injector Mercy Electric untuk memacu derap langkah alat angkut massal yang memiliki panjang 12 meter ini. Tak dinyana, dari sisi kiri disalip Kramat Djati Subang yang tadi sempat di-take over di daerah Cibitung. Bus bernomor B 7887 VB cukup sengit memberi perlawanan. Wah, apa the man behind steering wheel mantan driver bus malam ya?

Tapi, pengalaman Pak Johny yang kerap kali membawa armada MAN dan kekuatan mesin saudara kembar Sprinter B 7168 BK ini membuat trio telur bukanlah lawan sepadan keluarga Gajah.

Gara-gara masih kecapaian perjalanan ke Jakarta sebelumnya, tak kuasa diri ini dilingkupi hawa kantuk dan tergelincir dalam tidur-tidur ayam. Zzz…zzz…zzz…

Terbangun saat bus “overspeed” di atas rata-rata kecepatan ekonomis. Wah, memang kencang juga, tak kalah dengan habit NS 39 Pulogadung-Cepu langgananku. Di daerah Sukamandi hingga Pamanukan, nafsu makan induk Gajah tak berkurang. Sesuai livery, mungkin emak Gajah sedang fase menyusui anaknya, sehingga butuh banyak nutrisi yang dibutuhkan tubuh. Yang jadi santapannya adalah Purwo Widodo Johnie Walker, Langsung Jaya Piramida, Tunggal Daya Putra ala Skania dan Luragung Jaya beremblem Sonny.

17.10 waktunya jamuan pemanja perut di RM Taman Sari, Pamanukan. Soal menu, tak beda dengan layanan makan Kramat Djati. Ya iyalah, kan satu meja prasmanan. Hehehe...

Kembali menaikkan tiga penumpang dan tinggal tersisa empat kursi. Bagus juga okupansi penumpangnya, mengingat pasca libur kejepit.

Dan here it is...the real driver unjuk gigi. Pak Yongki.

Pembawaanya calm, namun garang ketika genggaman tangan mencengkeram lingkar setir. Wajar saja, gelar The Legend direngkuhnya, mengingat senioritas dan kompetensi yang luar biasa dalam membawa armada yang dipercayakan kepadanya.

Tanpa perlu basa-basi, dilarikannya hewan bergading ini dalam menaklukkan sirkuit warisan peninggalan Jenderal Deandels. Serasa terbang, roda-roda tidak lagi menempel di permukaan aspal. Padahal kata ahli zoologi, Gajah adalah satu-satunya mamalia yang tidak bisa melompat. Andai mereka meneliti Gajah jenis Sprinter ini, apa tidak terkoreksi hipotesanya. Ck..ck..ck...

Kembali dan kembali, makhluk sejenis ditekuknya. Garuda Mas RS Evolution economi class, Setia Negara Macan Pantura, Harapan Jaya 15 Blitar, Damri jurusan Kota Satria, Dunia Mas Sprinter Laksana Bima-Jakarta, dan Setia Negara Mapan.

Di Kandanghaur, berhenti untuk menghampiri satu penumpang. Kok banyak banget yang naik di tengah jalan ya? Bingung jadinya, resmi ataukah ilegal? Mbuh ah...

Dan wuzz...dilampaui oleh Garuda Mas Eksekutif E 7527 HA pegangan Pak Widodo. Momen yang aku suka saat berpas-pasan atau disalip Marcopolo, sinaran LED birunya itu lho ngga ku ku...

Jalan lagi, pelan tapi pasti dicapainya kecepatan jelajah di atas 90 km/jam. Kendaraan lain hanya jadi pemerhati kehandalannya. Walau begitu, aku tetap merasa nyaman meski duduk di atas overhang belakang. Cukup sebagai bukti bahwa kaki-kaki bus langsiran pertengahan 2008 ini benar-benar terawat, meski odometer telah menunjukkan ratusan ribu kilometer. Dan tentu saja, driver paham betul karakter lintasan pantura, tahu di mana letak bopeng-bopeng jalan untuk dihindari.

Seakan Gajah yang teramat sangat kelaparan, perburuan target busvora tak berhenti di sini. Bus-bus lain begitu mudah dimangsanya dan dijadikan makanan beratnya. SSM 217, Kramat Djati New Travego Malang (sepertinya pemberangkatan Lebakbulus), Theatre Bus PO Gumarang Jaya, Putra Mulya Jetliner dan Putra Luragung Aldi Maulana. Bus terakhir ini yang memberi pertandingan alot sebelum akhirnya ditekuk lututnya.

Masuk tol Panci (Palimanan-Kanci), kecepatan bus makin tak terbendung dan tanpa lawan selevel hingga berlanjut via tol Pejagan. Herannya, di sini dua kali bus berhenti setelah transaksi di loket tol. Yakni di gerbang Plumbon dan Palimanan. Saat berhenti pertama, Mbah Nur (panggilan akrab kenek) memeriksa roda kiri belakang, dan kedua kalinya mengecek karet bundar sebelah kanan. Ritualkah? Mengapa tadi tidak sekalian diperiksa dua-duanya.

Tiba-tiba cit..cit...cit...bus di rem mendadak dan sandal sepatu sebagian penumpang meluncur ke dapan. Minimnya rambu penanda penyempitan jalan di ujung tol Pejagan membuat Pak Yongki menginjak pedal stopper dalam-dalam.

Saat itulah terlihat pantat Pahala Kencana Tentrem Galaxy. Harapku, semoga R235 itu beruntung diawaki pengemudi yang sess (istilah Jatimers ya?) dan kelak jadi teman seiring sejalan hingga jauh ke pantura timur.

Keluar Tanjung, Brebes, daftar pecundang kembali bertambah, masing-masing Sari Giri Wonogiri dan Putra Remaja Jambi. Sempat menempel ”Ombak Biru” Jember, tapi sepertinya drivernya kurang fight dan malah memberikan jalan saat di klakson Pak Yongki.

Yah...penonton kecewa.

Rasa itu datang lagi dan membuat indra penglihatan terpejam untuk mengkreasi mimpi-mimpi indah namun semu. Zzz...zzz...zzz...

Membuka mata lagi menjelang ringroad Pemalang saat seorang penumpang yang baru saja naik duduk di seat nomor 26, sebelahku. Lho, masih nambah? Termasuk juga saat agen Pekalongan menyetop karena mendapatkan tiga penumpang dan membikin bus full seat. Wah…inilah fakta bahwa OBL adalah penguasa trayek Jakarta-Denpasar.

Determinasi bus pun tak surut, tetap melaju konstan dan stabil dengan kecepatan tinggi. Samar-samar terlihat olehku, skuad Wonogiren, Tunggal Dara Putra 9, Putra Mulya dan Serba Mulya dibuat mundur selangkah.

Menjejak Alas Roban, deretan korban terus bertambah. Dewi Sri Galaxy Coach, Marcopolo Die 9 Symponie, Bogor Indah Skania serta Harapan Jaya 14 bertumbangan ketika diajak adu sprint oleh spesies Gajah Asia ini.

Memang kuakui, B 7168 XT benar benar tiada tanding tiada banding, konsisten dengan kelajuannya dan seakan serakah untuk memaksa minggir bus-bus lain dari urutan terdepan. Ternyata, dongeng Gajah bisa terbang bukan hanya isapan jempol semata, tapi nyata adanya. Hehehe...

Bangun tidur tidur lagi...bangun lagi tidur lagi...

Gringsing-Kendal-Semarang-Demak-Kudus-Pati-Juana tak terekam, terkalahkan timang-timang lembut suspensi leaf spring MB OH-1525 yang membuaiku dalam peraduan.

Saat tersadar, sudah tak jauh lagi dari batas kota Pati-Rembang. Aplusan driver pun sudah dilakukan, dan Pak Johny kembali yang mengontrol arah kemudi. Saat bersiap turun, kusempat melirik tachometer yang seringkali jarum indikatornya di atas greenline saat mengintili bus Tri Sumber Urip New Travego Smiley Morodadi Prima, K 1548 AD, menandakan bus ini memang digeber untuk menyingkat waktu tempuh Jakarta-Denpasar.

Dan ”Sweet Pinky” dari Lasem itu mengingatkan akan Langgam Sarkawi, karena bus itulah yang pernah jadi lokasi bisu kenekatanku bertransaksi haram menjadi penumpang gelap. Dan anehnya, Langgam Sarkawi jadi syair kebangsaaan saudara kembarnya Cak Aswin, Adinda James. (Piss yo Cak Win...)

Aku pun turun di depan obyek wisata Dampo Awang Beach, sembari mengucapkan kalimat terima kasih kepada Pak Johny dan Mbah Nur atas jasanya mengantarkan aku pulang ke tanah kelahiran.

Jam menandakan pukul 01.27 yang berarti perjalanan Rawamangun-Rembang ”hanya” ditempuh kurang dari 11 jam, tepatnya 10 jam 54 menit. Yang berarti pula, rekor waktu tempuh Akas Asri 11 jam 05 menit pun tak berusia lama. Andai saja tidak banyak berhenti di agen-agen, niscaya, catatan waktu Sprinter ini bakal bisa dipertajam.

Demikian secuil kisah perjalanan bersama Safari Dharma Raya B 7168 XT, yang benar-benar kurasakan ”cruising speed”nya untuk bus antar kota antar propinsi antar pulau. Aku berani memberikan rate 5 atau exelent atas kebintangannya dan andai bisa bakal mengirim cendol ijo buatnya. (Kok pakai bahasa Kaskus ya?)

Sip...benar-benar jago sprint, pelari cepat marathon jarak jauh. Belasan korban yang bergelimpangan di atas bisa dijadikan data empirisnya.


Bagi bismania yang hobi travelling dan penyuka kecepatan, Sprinter Aquarium layak dijadikan pilihan. Buruan saja, karena bisa jadi bulan-bulan ini adalah masa paripurna ” XT” sebelum digantikan the newest generetion of Mercedes Benz, OH-1526.

Very very recommended...

Gajah Sprinter, Jago-nya Sprint (2)


Aku lebih suka menyebut Rawamangun sebagai showroom mesin bus dan karoseri, bukan semata terminal belaka. Di areal yang luasnya tak lebih dari 1 ha ini, sudah adatnya owner-owner PO menerjunkan armada-armada terbaiknya untuk merebut pasar. Wadah aktualisasi imperium bisnis para bigboss dengan memamerkan bus-bus nomor wahid, menampakkan gengsi dan mengejawantahkan hegemoni serta superioritasnya atas perusahaan otobus yang lain.

Demikian pula Jumat sore itu.

Pasukan malam north beach disekondani tiga armada Pahala Kencana; Setra with new livery for Blitar, Jupiter B 7914 IW Banyuwangi dan Setra Butterfly Bojonegoro.

50-an meter di depannya…ugh, sial. Kramat Djati cuma menugaskan Setra Adi Putro untuk dinas ke Malang. Mungkin dewi fortuna sedang ke salon merias diri, hingga tak mendengar permintaan lelaki pemujanya. Hiks…

Di sampingnya berdiri kekuatan kavaleri, Gajah OBL Denpasar. Sedangkan garda terdepan diisi Green Jacket, LE-420 Malang.

Sedangkan yang siap sedia sebagai pejuang yang akan menjelajah bumi Andalas masing-masing New Giri Indah, Kurnia Aceh-Jakarta, LE-236 RS Evolution dan bus ¾ PO Arya Prima.

Dari semua armada yang sedang “pasang kuda-kuda”, tentulah Gajah OBL yang menarik hati dan menyolok mataku. Mengapa?


Tentu saja postur tubuhnya. Berbasis model Setra yang menanggalkan “selendang”nya, yang jamak disebut model Sprinter, dengan kaca samping nan lebar dan posisi tempat duduk yang tinggi, kabin mengusung theme hi-deck, masterpiece buatan Adi Putro ini ibarat ”aquarium” yang mempertontonkan isi dalemannya.

Kudekati dan kutatap lebih lekat salah satu ”pion” Pak Hendro Darmoyuwono ini. Wah…mantap nian, eklusif. Sepengetahuanku, tidak banyak populasi Sprinter di tanah Jawa. Yang pernah tercatat dalam memoriku, hanya satu unit Senja Furnindo yang dipakai “Si Kuning” dan beberapa armada PO Efisiensi.

Dan menurut analisis seni marketingku yang dangkal, mengapa Adi Putro Wira Sejati menamai Sprinter -- yang kalau diartikan “atlet lari cepat” -- untuk memberi gambaran dan citra kepada khalayak bahwa karakter bus yang membebat unit chasisnya dengan baju Sprinter adalah bus yang mampu berlari cepat, bus yang nyepeed jalannya.

Bisa jadi ada benarnya kalau mengambil contoh sepak terjang ”Si Kuning” Lebakbulus-Jepara yang cukup disegani koleganya dari sesama warga Muria. Meski bermodal mesin tua, tapi sanggup meladeni tenaga-tenaga muda.

Pelan-pelan kulihat nomor polisinya…B 7168 XT. Weih, great!!!

Seketika itu pula teringat obrolan dengan Mas Wahyu, komuter Denpasar-Jakarta dan chating-an dengan Penjaja Kompor BBG 3 kg, Si Rayyan, bahwa ”XT” ini masyhur dikenal sebagai bus banter di kerajaan Safari Dharma Raya, mengalahkan Scania Van Hool B 7168 IB, MAN Van Hool B 7168 VK, XBC-1518 Automatic B 7168 MS, OH-1525 B 7168 BK maupun yang kemarin ”disewa” Mas Himawan, Hino RK8 B 7168 IZ. Tentu hal ini tak lepas dari pramudi batangannya, yakni Pak Yongki dan Pak Tessy. Jangan-jangan, inikah bus dimaksud?

Dari luar kaca, tampak petugas agen mulai membagikan snack yang pertanda bus siap take off.

Bismillah…kucontreng bus ini saja untuk mengantarku pulang ke Rembang. Setengah tahun yang lalu pernah menjajal V-engine B 7168 MK, apa salahnya mencoba Gajah yang lain.

Dengan setengah berlari, bergegas kutuju loket No. 10.

“Pak, bisa turun Rembang?” tanyaku pada seseorang berbusana batik biru colourmark OBL yang berdiri tak jauh di depan loket.
“Tanya ke dalam saja, Mas”, jawabnya menggantung.

Seorang wanita muda tampak sibuk menghitung setoran ketika aku sampai di meja loket.

“Rembang bisa naik, Mbak? Kena berapa?” aku pun nyerocos takut ketinggalan kereta …eh…bus.

Dia hanya diam, dan sesaat menoleh pada wanita di sebelahnya.

“Rembang itu mana? Dikasih tarif berapa?” bisiknya, tapi aku mampu mencuri dengar pertanyaannya.

Ya ampun Mbak…mentang-mentang kota kecil ngga dikenal ya? Kalau Mbak pernah belajar sejarah pahlawan RA Kartini, pasti nama Rembang akan harum di ingatan. Motor penggerak emansipasi wanita itu pernah menjadi ibu negara Kabupaten Rembang jaman doeloe. Bahkan, kalau Mbak mau ikut pergi bersamaku, nanti aku antar ke makam beliau yang lokasinya tak jauh dari rumahku, gumamku.

Sejurus kemudian,

“165 Mas,”
“Ngga boleh 150 Mbak?”
“Ngga Mas, segitu harganya”

Ya bagaimana lagi, posisi tawarku memang kalah. Meski lebih mahal dibanding Kramat Djati maupun Malino Putra, tapi setidaknya masih dibawah harga tiket Pahala Kencana, yang dipatok 180 ribu untuk tujuan Rembang bila numpang bis timur-an.

“Siapa yang bawa, Mbak?” tanyaku kembali.
“Itu Mas, Pak Yongki…”, sambil menunjuk laki-laki berperawakan besar yang tadi aku tanya.

Oh itu tho namanya Pak Yongki, yang dijuluki “The Legend”.

Yes…pas busnya, pas driver-nya…

Gajah Sprinter, Jago-nya Sprint (1)


Friday is freeday…

Jumat, selain diagungkan sebagai hari raya mingguan umat Islam, bagiku pun tak ubahnya holy day-nya komuter lintas region. Betapa tidak? Setelah lima hari bergelut mengayunkan “alat bajak dan cangkul” mengolah sumber pencaharian, meneteskan buraian keringat demi menjemput jatah rejeki, meninggalkan anak istri nun jauh di sono guna menutup lubang-lubang kebutuhan rumah tangga, mengendapkan sementara waktu kebahagiaan melewati hari bercengkerama bersama keluarga, datangnya hari Jumat tentulah terasa istimewa.

Bayangan tawa ceria putriku karena esok bapaknya pulang, imajiku akan senyum manis nan menggoda pendamping hidupku ketika menyemai kembali benih-benih kemesraan sesaat sebelum kami berdua melampiaskan kerinduan, momen pertemuan dengan orang tua, handai taulan dan sanak kadang yang tersebar di pelosok kampung, serta bersua teman seperjalanan sepenanggungan, bagiku harga yang tak ternilai dibanding lelah didera buslag dan sekian rupiah yang “tercecer” di jalan.

Terlebih bagi seorang bismania sekaligus komuter sepertiku, perjalanan jarak jauh dengan bus bukan lagi ajang mengekspresikan kegilaan serta mencari sensasi dan esensi dari kotak raksasa beroda enam, bukan lagi “wisata aspal” mencumbui eksotisme lanskap malam di jalan pantura, namun hukum pengikatnya telah bergeser dari sunnah muakkadah menjadi fardhu ain. Bila tidak ditunaikan, akan ditimpakan dosa dan kesalahan besar. Hehehe…

Demi setumpuk alasan itulah, selama aku diberikan kesehatan dan vitalitas, kelonggaran beban pekerjaan, dan kemampuan finansial, alam Jakarta akan selalu ku-blacklist dari agenda menikmati holiday di akhir pekan.

Tak terkecuali hari Jumat, 19 Maret 2010 silam.

Awal mulanya, aku tak berencana pulang mengingat Rabu baru saja tiba di ibukota setelah mengecap manisnya Harpitnas (Hari Kejepit Nasional) pada Senin sebelumnya. Di-pressure pula oleh isi SMS dari istri yang kuterima Jumat pagi, yang bernada wanti-wanti agar aku tak memaksakan diri untuk pulang ngetan. Aku mesti ingat badan ingat uban, karena umur dan fisik makin digerogoti gulir perputaran jaman. Apalagi saat balik ke tanah kelahiran Si Pitung pada Selasa malam, berdua dengan sohib komuterku berduet duduk di balik kemudi kendaraan varian MPV-nya Suzuki. Tiga hari rasanya belum cukup untuk memulihkan stamina seperti sedia kala. Dan satu lagi alasan klasik, weekend ini sudah memasuki slottime tanggal tua. Jadi, kalau pun pulang, apa yang mau dibawa? Duh..duh...elegi seorang kuli pelabuhan.

Sampai menjelang sholat Jumat, aku pun masih berketetapan untuk patuh pada nasehat sayang dan petuah bijak ibunya anak-anak.

Tapi entah sebab apa, tiba-tiba setan menghampiri dan menggodaku saat duduk terpekur mendengarkan khotbah imam Masjid Jakarta Islamic Center (JIC). Sekompi seteru abadi manusia itu menghembuskan penyakit hati yang bernama ”dilematika kulosis”. Argumenku yang telah mantap menumpang istirahat di kota metropolis dikaji ulang, digugat kevaliditasnya, digoyang mosi tak percaya, dan lembaran surat keputusannya pun bersiap akan dirobek-robek oleh tangan jahatnya hingga aku tak concern dengan content ceramah Jumat.

Ah dasar, meski kawasan eks-lokalisasi terbesar di Asia Tenggara, Kramat Tunggak, telah disulap menjadi bangunan dan lingkungan agamis, rupanya iblis-iblis laknat itu tak serta merta enyah dan masih banyak yang bersemayam di sini.

Pergulatan batinku demikian hebatnya berdebat. Antara ”meng-iya-kan” atau ”men-tidak-an” untuk pulang kampung. Teringat slogan di bak belakang truk yang sempat kubaca tempo hari, ”Pulang Malu Tak Pulang Rindu” seakan menohok kebimbanganku. Hidup memang dilematis.

Pulang saja ah...tiba-tiba saja pikiran sehat melabrak pendirianku semula. “Duit bisa dicari, kesepian dan kesendirian tak bisa terobati”, begitu dalih shahih sisi kalbuku sebagai api penyalanya.

Dan tipikalku, selalu percaya dan taklid buta dengan kata hati kecilku. Apapun itu dan dalam hal apapun. Karena kuanggap itulah pancaran bimbingan Yang Kuasa dalam menuntun ayunan langkahku.

Usai beribadah, kuurungkan niat kembali ke kantor. Workload-ku sudah menipis dan tak bersifat urgen karena aku berupaya mengkondisikan agar Jumat adalah hari bebas dan santai. Setang motor matic-ku kuarahkan ke kost-an, bersiap diri untuk packing berbekalan mudik di luar lebaran.

Berhubung plan dadakan, on the spot aja, begitulah mauku. Tak ada preferensi untuk naik PO tertentu, karena (maaf) aku bukan PO Mania, jadi kenyataan apapun di lapangan dihadapi saja nanti. Meski aku sendiri berharap baik budi dewi keberuntungan agar memayungi nasibku dijodohkan dengan armada Marcopolo Kramat Djati.

(Sah-sah saja kan aku nge-vote “The Flying Eggs” meski kalau ditanya “why”, aku pasti tak bisa menjawabnya dengan exact? Hehehe…Namanya juga impian, terwujud ya syukur, tidak pun tak akan membuatku ngambek, patah arang terus ngga jadi pulang)

Dengan mengambil rute Islamic Center-Semper-Plumpang-Utan Kayu-Rawamangun, dengan berestafet naik angkutan dalam kota meliputi KWK 07-Metromini 41-PPD P43-Metromini 49, pukul 14.25 sampailah telapak kaki ini mencium terminal favoritku.