Kamis, 10 Juni 2010

Berdamai dengan “Sapu Jagat” (4)


Di etape pamungkas inilah keluar karakter bus Muria yang sesungguhnya, trengginas jalannya. Bahkan, Gaya Putra tadi berhasil disalipnya dan mampu menguntit dua armada dari grup Ijo, Lorena. Wow, selambat-lambatnya bus Kudus-an, masih lebih lambat bus dari tlatah Mangkunegaran.

Tapi tetap saja, determinasi yang ditunjukkan itu meaningless…

Sementara, raja siang sudah mulai “say hello” di cakrawala timur saat bus keluar dari tol Kanci. Sekarang gantian aku mengkalkulasi, kira-kira telat berapa jam saat melakukan fingerprint di piranti kehadiran kantor, dengan variabel Senin adalah hari potensi macet kota Jakarta.

Bus berhenti di SPBU di daerah Lohsarang. Memberi kesempatan penumpang untuk membuang sampah metabolisme sebab toilet bus praktis tak bisa digunakan lagi karena ketiadaan air bersih.

Jalan kembali dengan driver I yang “urang awak” sebagai Pak Kusir-nya. Yang lucu, gara-gara concern pada kecepatan, terlupa masuk RM Taman Sari. Sehingga bus memutar di kolong jembatan layang Pasar Pamanukan. Ternyata “kekacauan” bus ini belum berakhir.

“Napa masuk rumah makan segala sih Pak, sudah kesiangan ini…”, protes penumpang di kursi depan.

“Kalau ngga mampir, kita yang disalahkan Mas…”, ungkap driver dengan tampang yang dihiasi kumis tebal.

Mendingan lah, cuma nge-cek jumlah penumpang, tidak sampai makan pagi. Tapi kok ya jadinya absurd, masak kontrol ketat masih saja ada celah bagi kru untuk menaikkan penumpang haram.

Di sinilah kru diomeli oleh controller.

“Temenmu sudah masuk setengah empat, bus ini kemana saja?”

Sebelum kru menjawab, penumpang bersahutan memberikan penjelasan akar penyebabnya.

“Ya…ya…nanti saya lapor bos-e. Mosok jam setengah delapan baru masuk Pamanukan”, katanya untuk mendinginkan suasana.

“Jangan lapor thok, tapi ya diperbaiki busnya….”, eyel penumpang.

Lalu lintas mulai padat oleh kegiatan warga, sehingga laju OH-1521 tidak bisa lagi maksimal. Mulai Pamanukan hingga Jatisari, saling beriringan dengan dua Karina, Rasa Sayang, OBL Mataram dan Gaya Putra.

Di pertigaan Jomin, Si Pinky mulai tampil agressivitasnya. Seperti kesetanan, diblongnya deretan kendaraan yang tengah merayap, hingga bus-bus Tegal-an dari arah depan dibuang ke bahu jalan. Lampu dim kendaraan bergantian mengedip, saat bus ini nekad merenggut jalur berlawanan. Padahal di daerah ini seringkali Pak Polisi “rajin” mengintai mangsa.

Jangan-jangan sopir dihinggapi stres akibat molornya waktu tempuh perjalanan dan menghadapi problem sulit di jalan?

Tapi kok ya sia-sia usahanya barusan, saat bus kembali mampir di ruko Cikampek, tempat pos Pahala Kencana dan Lorena.

Mau apalagi bus ini?

Waduh….unloading beragam paket di depan kantor Pahala Ekpress divisi Cikampek. Dan petugas PE ikut membantu mengalokasikan kargo. Jangan-jangan ada kerjasama antara TSU dan Pahala Ekpress ya? Karena di salah satu bungkus kemasan paket tertulis tujuan pengiriman “Palembang”, kemungkinan barang ekspedisi diestafetkan dari TSU ke Pahala Kencana jurusan Sumatra.

Untung saja, jalan tol Cikampek relatif lancar. Kemacetan parah hari Senin pagi menjelang jam kerja tampaknya sudah terurai. Sehingga bus VIP ini terbantu untuk menuntaskan kewajibannya mengantar penumpang ke terminal AKAP tertua di Jakarta.

Jam 10.15, sapu jagat landing di Pulogadung. 16 jam 30 menit total time on board-nya. Ceritanya malah sapu jagat tersapu malam. Ffuhhh…I am so tired now.

Tapi omongan Pak Sopir terbukti, Gaya Putra berhasil dipukul balik, diberi pelajaran setimpal gara-gara merampok penumpang bus lain yang sedang kesusahan. Hanya beda tiga menitan, Gaya Putra baru bisa menyusul kemudian. Aku pikir, pasti penumpang yang pindah bus bakal menyesal. Sudah bayar ekstra, waktu kedatangan di terminal destinasi tak signifikan jedanya.

Beraneka ekpresi dari roman muka penumpang yang hendak melangkah turun. Ada yang mengomel, berkomentar pedas, menggerutu, cemberut dan sebagian ada yang memaklumi, yang penting tiba di tujuan dengan selamat.

Semua itu disikapi driver dengan senyum yang sarat keakraban.

“Matur nuwun ya Mas, Pak, Bu. Semalam sudah banyak dibantu. Saya hanya mohon maaf sedalam-dalamnya atas perjalanan semalam yang jauh dari harapan. Kalau semuanya tidak memaafkan, dosa saya makin bertambah besar. Jadi sekali, sepurane nggih…”, ucapnya tulus sebagai salam perpisahan.

Kuacungi jempol pada twin brother Cak Brodin ini atas manajemen konfliknya yang begitu elegan dan luar biasa. Serasa kami sebagai penumpang mudah melupakan kenangan pahit serta sengsara tadi malam. Justru yang akan selalu kami ingat tentang kedewasaan, kebersahajaan dan kebijakan Bapak Sopir dalam mengatasi gap kekisruhan dengan para penumpangnya.


Kapokkah aku naik bus “Sapu Jagat Pemangku Buana” pendekar dari Karangturi ini? Hmm…(sambil menerawang langit).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar