Rabu, 09 Juni 2010

Berdamai dengan “Sapu Jagat” (1)


Di entitas railfans, fusi dua kata “Sapu” dan “Jagat” yang membentuk idiom “Sapu Jagat” tentu bukanlah barang baru yang terdengar asing di telinga. Kosakata yang diadopsi dari istilah “Doa Sapu Jagat” menjadi “Kereta Sapu Jagat”, seringkali menjadi salah satu bahan pembicaraan hangat di forum masyarakat transportasi tentang keberadaannya yang kontroversial. Meski penampakan wujudnya hanya saat momen ramai penumpang, -- semisal arus mudik lebaran -- sebutan yang merujuk pada kereta terakhir yang dibebani tugas mengangkut sisa-sisa penumpang yang tak tertampung kereta reguler, sempat diakui secara resmi oleh Pemerintah sebagai penamaan baku salah satu rangkaian kereta api. Meski kini kereta sapu jagat dihapus dan bermetamorfosis menjadi kereta komunitas, namun kepopuleran sapu jagat terlanjur melekat dan melebur di dalam dunia perkereta-apian tanah air.

Tak perlu ditanya soal kenyamanan di atas kereta sapu jagat. Kereta yang berstatus moda angkut tambahan ini diterjunkan ala kadarnya, minim fasilitas dan cenderung tidak manusiawi. Hingga kereta kargo sah-sah saja disulap menjadi jajaran gerbong tanpa isi, hanya los tanpa sekat dan tempat duduk. Penumpang dipersilahkan duduk lesehan bila dengan terpaksa mau ikut. Karena kembali kepada fungsi awal Sang Sapu Jagat, “membersihkan” penumpang yang masih tertinggal di stasiun lantaran tidak mendapatkan tiket kereta terjadwal.

Meski dalam konteks berbeda, di kosmos perbisan pun tertular “virus” sapu jagat ini untuk mewakili “the last bus standing”, menawarkan solusi bagi penumpang yang kemalaman tiba di terminal, melakukan trip tanpa perencanaan atau tak kebagian kursi yang diincar sebelumnya. Mengambil contoh, di trayek Jakarta-Surabaya ada Setia Bhakti dan Agung Bhakti, PO Tri Mulia di jalur Solo-Jakarta atau Purwokerto-Jakarta yang diisi Anggrek Cempaka.

Sekali lagi, jangan menuntut soal pelayanan berkelas dan armada yang up to date. Karena yang dijual bus ini adalah waktu take off paling akhir dengan harga yang bersahabat, mengais rejeki dari ketidakberuntungan calon pengguna bus.

Dan dalam persepsiku, tak jauh berbeda dengan PO berkebangsaan Lasem, Tri Sumber Urip (TSU). Bus ketiga yang berangkat setiap harinya dari timur ini layak kalau aku angkat sebagai sapu jagatnya jalur Rembang-Kudus-Jakarta.

Mengapa tidak?

Dengan pemberangkatan paling malam dibanding bus-bus lain, yakni jam 5 sore dari Terminal Kota Rembang, 1-2 jam dibelakang Pahala Kencana, Nusantara, Haryanto, Karina maupun TSU I dan II, melayani segala jurusan mulai Pulogadung, Lebakbulus, Cibinong hingga Gunung Putri serta fare tiket yang sedikit rendah dari pesaingnya, adalah sederet requirements yang mampu dilengkapinya untuk mendapatkan gelar sapu jagat.

Aku juga paham diri untuk tidak berharap banyak dari “tukang sapu” ini. Aku sungguh rela hati berkompromi soal armada yang tua, tingkat kenyamanan yang pas-pasan, service on board yang biasa-biasa saja, skill driver yang kurang smooth dan anti ngeblong, asal satu harga mati yang kudu dipenuhinya. Yup, absensi kerja kantor Senin pagi jam 08.00 (meski mepet di injury time) harus bisa dikejarnya.

Dalih shahihku mengapa aku berani menyandarkan badan pada sapu jagat ini karena ada nilai berharga yang bisa kuunggah, yakni berupa bonus tambahan waktu di rumah. Bayangkan, biasanya jam 3 sore sudah sibuk berkemas mengejar schedule Nusantara, kini selepas waktu ashar masih cukup leluasa buat berleha-leha di rumah. Bisa ikut momong yang kecil, mengantar jemput si sulung sekolah di madrasah diniyah, ngurusi sawah atau bbs (bobo-bobo siang) barang sebentar.

Sebagai bukti pertaruhanku, hampir dua bulan terakhir ini saat bertandang kembali ke ibukota, penguasa jagat ini kupilih sebagai tungganganku. Dan puji syukur, meski pesona armada Muria Raya jarang aku rasakan bersama TSU ini, namun rekor cleansheet tak pernah terlambat sampai kantor bagiku prestasi yang fenomenal.

Tak terkecuali Minggu sore, 11 April silam. TSU kembali kucontreng sebagai “bouraq” yang membawaku balik ke ladangku. Tak terbesit bayangan untuk melirik bus lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar