Rabu, 09 Juni 2010

Berdamai dengan “Sapu Jagat” (2)


Pukul 16.24, saat berangkat dari pondok kedamaianku yang terletak jauh di pelosok kabupaten, diantar ibunya anak-anak berboncengan naik roda dua.

Ketika di tengah jalan, tiba-tiba ada SMS masuk. Sambil tetap di atas motor, kuminta istri untuk membacanya, khawatir agen memberi info kalau busnya sudah menunggu. Ternyata dari sohibku, Mas Hary Intalan Intercooler yang mengabarkan habis kres dengan NS 19 serta NS 39 di Kaliori. Loh, kemana arek ini? Sedang menunaikan ritual wajib bismania-kah?

Ternyata oh ternyata… Petinggi PO Cendana beserta couple-nya ini sedang turing tanpa restu orang tua, naik RK8 berbaju Prestige yang dipunya PO Indonesia. (Hayo, tak bilangin Papi nanti…)

Dan kuminta istriku untuk menjawab pesannya karena aku sedang pegang setang kemudi. (Maaf ya Mas Hary, kalau bahasa SMS bukan aku banget, soalnya istriku yang menulisnya. Hehehe…)

Jam 16.50, tiba di Terminal Rembang. Suasananya sudah lengang, tinggal empat orang yang senasib sepenanggungan denganku, menunggu kedatangan armada TSU.

Sekali lagi datang SMS dari lelaki berpostur atletis ini, sesaat setelah bus patas Semarang-Surabaya yang disewanya melewati kota kecamatan Lasem.

“Karangturi tainment : Calon mantu Bah Do abal-abal mengabarkan ada TSU biru panorama 3, gubuk reyot part 2. Hahaaiii…”

Aku hanya tersenyum kecil selepas membacanya.

“Mau dapat armada “sebusuk” apapun, aku sudah siapkan mental Mas,” gumamku.

Sesuai adat, armada sapu jagat TSU ini tak pernah seragam, lebih bersifat untung-untungan. Kalau nasib baik, bisa berjodoh dengan Mercy XBC-1518 New Travego Morodadi Prima, setengah beruntung naik OH King Setra Morodadi Prima, kalau apes ya dihadiahi Sprinter ala Tri Sakti, yang sering dicap gubuk reyot dengan pagupon doro nangkring di atasnya.

Lantunan ayat-ayat Al Qur’an dari corong Masjid Besar Alun-Alun Rembang lantang berkumandang, penanda Maghrib akan segera tiba. Tapi, TSU tak kunjung juga terlihat sosoknya. Sinar terang mentari telah menyurut, berganti rona lembayung senja yang mulai menggantung di ufuk barat tanah kelahiranku.

Satu penumpang yang sedang duduk di emplasemen terminal mulai resah dan gelisah.

“Sudah setengah enam, kok belum datang ya Mas,” tanyanya padaku.
“Ah, biasa telat kok Mas. Pernah jam enam seperempat baru datang” kilahku.

Aku sih tidak kaget, namanya juga sapu jagat. Semua serba asal-asalan. Jadi wajib hukumnya berdamai dengan segala keterbatasannya.

Justru yang terlihat melintas Pahala Kencana Madura dengan bodi racikan Centralindo. Tumben, cepat benar sebelum matahari tenggelam sudah menjejak jalanan kota Rembang.

Di susul kemudian Galaxy Tentrem memajang jurusan Madura-Jakarta. Nah, ternyata benar soal gosip kalau armada-armada kelas premium Ombak Biru mulai digeser ke jalur Madura, setelah Marcopolo Adi Putro mulai berdatangan memperkuat skuad divisi Jakarta.

Tepat di belakangnya, akhirnya datang juga.

Oh me…, yang datang ternyata kembaran Marcopolo Tri Sakti berlivery dunia bawah laut yang pernah aku naiki sebelumnya.

http://didiksalambanu.wordpress.com/2009/05/26/ada-cerita-dari-balik-gubuk-derita-1/

Meski beda dalam hal body painting, yang ini mengusung corak grafis minimalis dengan theme “Pinky”, tapi soal “kesederhanaan” armada, setali tiga uang. Sami mawon. Bahkan, plat nomornya yang dipakai “The Blues” dulu sekarang berpindah kepemilikan ke bus ini. Akal-akalan yang jamak lumrah dilakukan para pengusaha otobus.

Tak apalah, toh aku sudah men-declare, “I’m busmania not PO mania”. Aku harus belajar menyayangi bus yang tampil apa adanya ini.

Kondisi interior sungguh memprihatinkan. Kulit jok dan langit-langit tampak kusam dimakan usia edar bus ini. TV tabung dan CD Player hanya jadi pajangan semata. Jok bermerek “Perfect” yang aku duduki piranti reclining sudah rusak, tanpa dilengkapi selimut, apalagi bantal. Kaca samping mengusung dual mode, kaca mati dan kaca buka tutup, yang notabene ciri khas bus bumel. Meski tubuh luar masih terlihat mulus, tapi di beberapa titik cat terlihat mengelupas. Bahkan, di sisi kanan, tulisan “Urip” telah hilang, menyisakan sepenggal nama “Tri Sumber”. Benar-benar tak terawat sebagaimana mestinya.

Meninggalkan terminal Rembang, dengan 70% kapasitas kursi reserved, bus langsung disambut hujan lebat. Entahlah, apakah Sang Pencipta sedang memberkahi bumi kawista yang beberapa hari ini dihujami panas terik ataukah alam sengaja memandikan bus bernomor K 1585 AD agar terlihat segar, wetlook dan kinclong? Petir yang menggelegar bersahutan seakan memberi cambuk bus ini agar segera berlari, sekaligus membentakku karena melupakan teman lama (Nusantara) setelah kenal sahabat baru.

Ya Allah, tak mengapa Engkau pertemukan hamba dengan bus macam begini, tapi hamba mohon, lancarkan perjalananku malam ini. Amin…

Baru saja selesai berdoa, tiba-tiba penumpang di seat 23 dan 24 meloncat.

“Oalah Pir, gendenge bocor…”, teriak salah satunya dari belakang. (Oalah Pir, gentengnya bocor)

Hahaha…cucuran air dari atap deras membasahi jok berwarna merah maroon kucel itu.

“Ember bocor ngene kok isih dilakokno tho Pir. Koyok ra nduwe bis liyo…”, imbuhnya.
(Ember bocor begini kok masih dijalankan. Seperti tak punya bis yang lain)

Demikian kekritisan, kevokalan dan kevulgaran penumpang Muria Raya dalam menyampaikan uneg-uneg, keluhan dan aspirasinya.

Tiba di Batangan, bus mampir di agen. Tapi herannya, setelah penumpang naik, bus tak jua berangkat. Malah terdengar tools beradu dengan komponen bus…kluthak kluthik…entah kru sedang memperbaiki apa, karena rinai gerimis masih membumi serta suasana agak gelap sehingga tak tampak jelas apa yang dikerjakan.

Bus berjalan kembali. Tapi sungguh di luar dugaan, bus malah menyiput. Tak ada greget cara pembawaan pramudinya. Yang aku tak habis pikir, lampu besarnya begitu redup, tak kuasa menerangi jalan. Bahkan, acapkali separo roda bus terbuang ke bahu jalan karena tak bisa melihat jalan. Ada apakah ini?

Jam menunjuk angka 18.29 ketika melenggang masuk Terminal Juana. Sekitar 8-10 penumpang naik memenuhi kursi yang masih kosong. Aku akui, kota bandeng adalah tambang emas PO berlogo bola dunia ini. Selain banyak loyalis dari daerah ini, banyaknya pengusaha kuningan memanfaatkan TSU sebagai bus paket untuk mengusung produk mereka ke Jakarta.

Telah 15 menit berhenti, bus tetap tak beranjak dari tempatnya. Malahan, sopir mengajak kenek makan malam di belakang terminal. Ya ampun, mana pendekatan ke konsumen agar TSU makin dipercaya kalau seenaknya begini dalam melayani penumpang?

Menyinggahi terminal Pati, laksana masuk area kuburan. Sepi, hening dan remang-remang karena tak ada lagi aktivitas. Yang menginap di dalam terdapat dua armada Sumber Larees dan beberapa bus medium Purwodadi-Pati.

Di jalur Pati-Kudus, seolah Mercy Intercooler ini semakin tak berdaya. Bahkan suara gemlodagan makin menjadi-jadi karena jalur sepanjang 25 km ini penuh lobang dan konturnya bergelombang. Tak ada aksi pecicilan, yang ada malah jadi bahan blong-blongan truk-truk bermuatan sedang. Aku semakin bingung, sebenarnya bus ini sakit apa? Kapan kau tunjukkan merahmu, TSU? Kalau very very slow begini, jam berapa sampai Pulogadung?

Tiba di Terminal Jati Kudus, tak terlihat satupun armada Muria Raya. Yang sudah-sudah, saat singgah di kota Mas Fathur Raras ini, setidaknya masih menemui kabilah bumi Kartini, PO Muji Jaya dan satu armada PO Haryanto.

Yang semakin aku tak mengerti, di saat TSU perlu memangkas waktu, yang ini malah masih sibuk mencari penumpang. Padahal semua kursi telah terjual. Tebakanku, yang dicari adalah sarkawi-an.

Memang profit bagi kru, 3-4 penumpang ilegal didapat. Meski harus berdesak-desakkan di space depan toilet, karena sudah tidak ada bus alternatif yang lain lagi.

Penumpang mulai menggerutu. Apalagi ada dua penumpang baru sebagai tambahan memaksa turut.

“Iki tok anggep gabah opo piye Pir…ditumpuk-tumpuk ngene”, olok-olok dari salah satu penumpang. (Ini apa dianggap gabah…kok ditumpuk-tumpuk begini).

Akhirnya, jam 20.48 keluar dari terminal baru tersebut dan bertemu pantat LE-411, bus Lorena pertama dari Surabaya. Secercah rasa pesimis mulai merambat dalam pikiranku. Besok aku terlambat ngantor. Hiks…

Lagi dan lagi, sopir masih berusaha memungut Si Sarkawi di depan Ponpes seberang SPBU Nusantara.

Duh…duh…duh…pan sudah full seat, mestinya sekarang kan waktunya berlari, apalagi yang mau dicari?

Bis kembali melaju, tapi tak ada kemajuan, tetap saja pelan. Kalau aku kira-kira tak sampai 80 km/ jam. Satu persatu laskar Sakera mendahului. Karina, Kramat Djati, Haryanto dan Pahala Kencana.

Untunglah, ada poin baiknya dari bus kelas VIP ini. Selain bunyi klaksonnya yang unik mirip bus Cirebon-an, adalah hembusan pendingin udara yang begitu dingin menusuk tulang. Hati penumpang yang sedang panas bisa diredam kesejukan AC Thermo King kandang merpati ini.

Ya sudah, pasrah. Obat kecewa ya tidur…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar