Kamis, 07 Februari 2013

Almost Unreal (3)

Almost Unreal (3)


When Pahala Kencana Trapped into Alas Bonggan, Todanan 


Sampai pojok desa, jalan utama itu semakin memprihatinkan kondisinya. Ngenes. Nyaris tak ada lagi aspal yang tersisa di permukaan jalan. Hanya menyisakan gravel dan tanah kuning yang menghambur-hamburkan debu kala disisir tapak-tapak roda yang melindas.


IMG-20120707-01251


IMG-20120707-01245


“Gila, jalan amburadul begini tak menyadarkan driver bus malam itu untuk setidaknya berhenti dan mengevaluasi rute yang telah ditempuhnya?” benakku diliputi ketidakpahaman.


Pertanyaan lain kembali mencuat. Mengapa ketiga kendaraan besar itu bisa menerobos Desa Ronggo, yang rumah-rumah penduduknya berderet kurang lebih 2 km-an dan berhimpitan dengan badan jalan? Bukankah suara mesin dalam kecepatan rendah pasti terdengar menderu, sehingga setidaknya membangunkan salah satu warga tentang anomali peristiwa tengah malam saat itu?


IMG-20120707-01250


Nyatanya, bertiga lolos-lolos saja, mulus tanpa mengalami kendala apapun. Ataukah memang benar adanya tentang tuduhan ‘penculikan’ si penunggu hutan terhadap mereka?


Mbuh, ah…


Setelahnya, kami berenam benar-benar merasa sendirian berada di planet yang asing, dikepung kawasan hutan dan disorot terik surya yang membakar. Meski siang, jalanan bak areal pemakaman, sungguh-sungguh lengang, jarang sekali kami berpas-pasan dengan warga setempat.


IMG-20120707-01247


 IMG-20120707-01248


Karena ragu, jangan-jangan bukan jalan ini yang menyesatkan kendaraan-kendaraan ber-cc besar tersebut, serta tak sekalipun ada jejak tapak ban besar yang menempel di atas jalan raya, kami pun bertanya pada seorang ibu yang tengah pulang merumput, mencari pakan ternak.


“Bu, niki leres radosan arah Todanan?” tanya Mas Yeremia, yang fasih melafalkan bahasa jawa halus. (Bu, benar ini jalan ke arah Todanan?)


“Leres, Mas.” jawab ibu yang sudah berumur itu. “Mas badhe tindak pundi?”(Mas mau kemana?)


“Kedung Bacin, Bu”.


“Inggih, leres niki radosane, Mas.” sekali lagi ia menegaskan. (Iya, benar ini adalah jalannya.)


“Bu, mireng menawi ndek wingi wonten bus kesasar teng mriki?” lewat lisan lajang Temanggung itu, kami mengorek keterangan satu narasumber dadakan, sebagai counter bahwa berita itu benar adanya, bukan hoax. (Bu, sudah mendengar kalau kemarin ada bus tersesat di sini?)


“Oh, inggih Mas, dereng suwe wonten bis kalih truk kesasar teng Alas Bonggan. Nggih, leres lewat radosan mriki.” ujarnya berapi-api. “Cen nggih mokal, Mas. Saestu niku digondol demit mriki!” (Iya Mas, belum lama ini ada bis dan truk tersesat. Ya benar, lewat jalan ini./ Sungguh-sungguh mustahil, Mas. Yakin, itu pasti digondol demit sini.)


Kesimpulan si ibu benar-benar membuat kami shock sesaat. Ternyata, sekelompok masyarakat konservatif dan tertinggal masih memasrahkan pada hal ghaib bila memandang fakta yang sulit dinalar akal.


Tak selang lama, melintas searah dengan kami pasutri yang berboncengan motor, dan kemudian turut berhenti, berempati terhadap kebingungan kami.


“Arep neng ngendi, Mas?” tanya Bapak yang secara umur terhitung paruh bayah itu. (Mau ke mana, Mas?)


“Kedung Bacin, Pak. Teng lokasi bis kesasar ndek wingi.” jawab Mas Pon. “Nanging dereng ngertos arahipun,” (Kedung Bacin, Pak. Tempat bis tersesat kemarin. /Namun belum tahu arahnya.)


“Wis, nututi aku wae. Mengko tak ancer-anceri dalane,” beliau menawarkan bantuan, meski dengan air muka keheranan dengan tujuan kami. (Sudah ikutin saya saja. Nanti saya kasih tahu arahnya.)


“Taksih tebih, Pak?” tanya Mas Ponirin menyidik. (Masih jauh, Pak)


“Isih, Mas”. (Masih)


Kami pun tambah ciut nyali. Mau balik, sudah kepalang tanggung. Mau meneruskan rencana, khawatir skedul Garuda Mas tak bakalan terkejar.


Sementara jam digital yang terbenam di dashborad depan memampangkan angka 10.15. Kami semakin ditindih waktu.


Sekali njebur, basah saja sekalian. Terus ah, pantang mundur!


Sepeda motor tua itu jadi voorijder bagi mobil kecil kami. Meski butut, larinya susah diikuti, karena aku sangatlah pengecut untuk melibas trek yang kasar dan berbatu, mengingat kabin mobil dalam status full load.


Sumber-20120707-01249


Kurang lebih 2-3 km memandu kami, di satu percabangan jalan beliau berhenti dan telunjuknya menunjuk arah lurus. Sementara suami-istri baik hati itu berbelok kiri, yang berdasar papan petunjuk kecil mengarah ke Desa Kalinanas, Kecamatan Japah, yang nantinya bisa menembus Kecamatan Ngawen, Blora.


Secuil dusun kemudian menyambut kami. Sebuah dusun di ujung utara pinggiran hutan, sekaligus dusun ter-utara dari Kabupaten Blora, yang terhampar dalam tlatah wilayah Kedung Bacin, Todanan.


Rumah-rumah yang begitu sederhana dan jauh dari modernitas ilmu sipil dan arsitektur dibangun berkoloni satu dengan yang lainnya. Jarak antar mereka lumayan berjauhan, menandakan populasi masyarakat di sini tidaklah banyak.


Fisik jalanan kian parah, menerjemahkan arti bahwa daerah ini memang dianaktirikan oleh pemda setempat. Bahkan ada beberapa ratus meter panjang jalan yang berkomposisi dominan batu makadam, tanpa media aspal yang memadai.


Japah-20120707-01256


 IMG-20120707-01286


Ditambah trek yang menanjak dan terjal khas kontur perbukitan, dengan lebar jalan yang tak seberapa, serta dipayungi dahan-dahan pohon yang merambah jalan, kian menambah pula kehati-hatianku dalam mengemudikan kendaraan.


Japah-20120707-01293


Sumber-20120707-01252


 Sumber-20120707-01255


“Edan…sekali lagi edan! Tidak ngeh-kah juga pengemudi-pengemudi yang telah malang melintang dan berjam terbang tinggi di jalur Pantura dengan  situasi jalan yang demikian, sehingga kudu memutuskan untuk me-reroute jalur perjalanannya?” pikiranku semakin dijejali banyak pertanyaan.


“Mas, pohon ini penunggunya berwajah seram, berbadan tinggi besar.” sesekali Agus Alay mewartakan hasil penerawangannya, setelah kami mendekat pada sebuah pohon besar yang memayungi jalan.


Sumber-20120707-01254


Ah, Agus. Kelebihan indera keenammu memang luar biasa. Tapi malah membuat darah kami berdesir, bulu kuduk berdiri.


Di ujung kampung, tak ada lagi kawasan hunian penduduk. Kanan kiri jalan hanyalah jajaran pohon jati yang masih terlihat hijau, meski kemarau mulai meluruhkan sebagian daun-daunnya. Ini pertanda, kami mulai memasuki kawasan hutan Bonggan, yang belum lama ini jadi buah bibir atas ‘kehandalannya’ menjebak salah satu armada Pak Hendro Tedjokusumo dan dua truk semen milik PT Varia Usaha, anak perusahaan Semen Gresik.


IMG-20120707-01285


 Japah-20120707-01257


Jalanan menyempit, dengan semak belukar yang rimbun di sekelilingnya. Berkali-kali mobilku mengeluarkan bunyi gesekan, bersalaman mesra dengan ranting-ranting yang menjulur ke badan jalan, meninggalkan baret-baret di bodi.


Todanan-20120707-01284


Sepertinya rute ini memang jarang dijamah kendaraan roda empat, justru malah lintasan binatang berkaki empat. Pantas saja, media mempublishnya dengan sebutan jalan ternak.


 Sumber-20120707-01287


Tudingan bahwa penyebab disorientasi arah perjalanan lantaran faktor kelelahan fisik, kondisi mengantuk, beban pikiran yang menumpuk, melamun dan menurunnya psikis para pengemudi dipatahkan dengan realita bahwa tanpa adanya konsentrasi tinggi, stamina yang prima dan daya pandang yang tajam, semestinya bus dan dua truk nahas sudah terperosok ke pinggir jalan, ataupun tubuh kendaraannya tersangkut dahan-dahan pohon. Faktanya, saat ditemukan, bodi bus cukup mulus, tanpa ada goresan akibat terserempet ranting-ranting tanaman.


Aku pun berani ‘berfatwa’, untuk menembus grey area ini butuh perjuangan ekstra, kesadaran penuh serta kecakapan di balik kemudi.  Tak bisa sembarangan dan asal-asalan.


Kalaupun ada teori konspirasi dari ahli parapsikologi yang menyatakan bahwa pengemudi mengalami halusinasi alam pikiran, mengapa penyakit psikologis itu berbarengan menghinggapi beberapa orang sekaligus? Halusinasi massal kah?

Almost Unreal (2)

Almost Unreal (2)


When Pahala Kencana Trapped into Alas Bonggan, Todanan 


Segera kupacu roda empat berdapur pacu 1,3 liter membelah keriuhan truk-truk yang melaju lambat di atas trek Pantura. Kira-kira 10 menit berlalu, sampailah kami di pertigaan Tambak Omben, Kaliori, dan segera kuarahkan kemudi menyimpang ke kiri dari jalan besar.


Hamparan tambak berhektar-hektar menyejajari jalan Desa Dresi Kulon. Petani garam tengah sibuk dengan prakaryanya, mengolah air laut menjadi butiran ‘emas putih’ yang bernilai jual. Hasil kerja merekalah yang memberi warna perekonomian bagi kabupaten miskin di ujung timur Jawa Tengah, sehingga tanah kelahiranku diidentikan dengan sebutan kota garam.


Mengarungi wilayah Kaliori bagian selatan hingga memasuki distrik Sumber, tak ada lagi pemandangan tambak-tambak garam. Gelaran alam menjelma jadi ladang dan persawahan yang keadaan tanahnya berangsur kering, merana, nelo-nelo (pecah-pecah), dipapar terik mentari.


Dua kilometer menjelang ‘ibukota’ Kecamatan Sumber, mobil MPV 7 seaters pun berbelok, merangkaki connecting road perekat Kabupaten Rembang dan Kabupaten Pati. Setelah berjibaku dengan kerusakan jalan yang masif lantaran acapkali kendaraan berat  menindihnya sebagai imbas ‘perselingkuhan’ dari jalur utama, sampailah kami di pinggir Desa Jaken, Kec. Jaken, Kab. Pati.


Dari titik inilah, kami akan mengawali simulasi sekaligus napak tilas, bagaimana Pahala Kencana jurusan Madura itu ‘kehilangan navigasi’ sehingga melenceng jauh dari ‘alur pelayaran’ yang semestinya.


Mulanya, dari jalur Juwana-Ngebruk-Jakenan-Sidomukti-Jaken -- sebagai posisi awal perjalanan bus Pahala Kencana dari barat/ Jakarta --, sampailah kami di simpang tiga Jaken. Rambu petunjuk yang berdiri menjulang, serta papan darurat yang tertempel pada badan drum yang diletakkan persis di tengah pertigaan, terlihat sangat kentara. Tanda panah ke kiri mengarahkan kendaraan ke Batangan, dan sebaliknya, ke kanan menunjukkan tujuan Blora.


Jaken-20120707-01300

Jaken-20120707-01303


Asumsi kami, driver bus berkaroseri model Setra Royal Coach E tersebut ingin menghindari Batangan, karena biasanya, daerah tersebut belum sepenuhnya terbebas dari kemacetan.  Arah yang kemudian diambil oleh Pahala Kencana divisi Jakarta tersebut adalah berbelok kanan, menyusuri jalan perbatasan dua desa, yakni Jaken dan Sidoluhur.


Dirintisnya percobaan kedua dalam usaha  kembali ke medan Pantura, yakni via Sumber. Jalan alternatif ini bisa menembus Kaliori ataupun Rembang, dua daerah yang sudah jauh dari simpul kekarut-marutan lalu lintas, efek dari pengecoran jalan di ruas Batangan-Juwana. Atau bagi yang familiar, dapat memanfaatkan shortcut Sumber-Sulang-Banyu Urip-Jape Rejo hingga berujung di Kota Kecamatan Lasem, tanpa melewati Rembang Kota.


Sumber-20120707-01305


Karena minimnya lampu penerangan serta petunjuk arah yang dipasang, – maklum setiap ada proyek yang melibatkan beberapa pihak, selalu muncul kurangnya koordinasi antar bagian terkait– sesampai di persimpangan Desa Sidoluhur, seharusnya ‘moda raksasa’ tersebut mengarahkan moncongnya ke kiri, yang merupakan jalan urat nadi penghubung Kabupaten Pati dan Kabupaten Rembang.


Memang sih, ada dua handicap yang menghadang para pelintas rute ini. Terlebih bagi kendaraan besar semisal bus atau truk. Selain dibutuhkan ketrampilan dan kejelian memanfaatkan ruang sempit, dituntut pula nyali serta keberanian.


Ada dua jembatan kecil yang jauh dari kata layak untuk dibebani kendaraan di atas 7 ton. Yakni Jembatan Sri Katon, yang membentang di atas Sungai Randu Gunting, sekaligus batas alam antara wilayah Pati dan Rembang. Bangunan peninggalan penjajah Belanda ini masih melestarikan bentuk asli berupa bridge barrier (penghalang samping) dengan ciri beraksen lengkung khas Eropa, serta buk (aproach barrier) yang fisiknya tampak tebal, kekar lagi kokoh.


IMG00542-20120714-1605


Satu lagi adalah Jembatan Sekarsari, yang diampu Desa Sekarsari, Kec. Sumber, Kab. Rembang. Jembatan ‘ala kadar’nya ini bahkan jauh lebih berbahaya, karena lebarnya sedikit di atas 2.50 meter. Bus yang nekat melewatinya harus bersiap diri, tubuhnya bakal tergores sayap jembatan bila kurang titis (akurat) dan waspada. Sementara, titik sambung antara jembatan dan badan jalan mulai ambles dan tebing sekitarnya rawan longsor, dilintasi puluhan kendaraan per hari dengan tonase di atas batas kemampuan gelagar jembatan.


IMG00544-20120714-1608


Belum lama, saat perjalanan pulang jalan-jalan bersama keluarga dari Kudus dan memilih opsi jalan kelas III ini, aku dituntut bersabar saat antri bergiliran melintasi jembatan mini. Aku pun jadi saksi mata bagaimana saat dua bus Nusantara -- NS-39 dan NS-29 --, dua Pahala Kencana Bojonegoro serta empat bus wisata Akas NNR dari timur, begitu pelan berjibaku saat meloloskan diri dari tantangan berat ini.


Faktanya, keberadaan jalan pintas ini tak berhasil diendus driver Pahala Kencana. Lantaran tak ada petunjuk jalan yang memadai ditambah buta jalur, bus bermesin Hino varian RG1J yang seharusnya membelok ke kiri, akhirnya bablas, lurus menuju ‘negeri antah berantah’.


Jaken-20120707-01304


Awalnya, kondisi medan cukup menipu.  Jalanan relatif mulus, aspal terpelihara dengan baik dan lebarnya masih memungkinkan andai saja berpas-pasan dengan roda empat yang lain. Mobil yang kutanggangi pun sanggup berlari di angka 50 km/ jam, tanpa takut penumpang bagian belakang terguncang oleh body roll kendaraan nan hebat.


IMG-20120707-01243


Kanan kiri jalan didominasi hamparan bulak (areal persawahan nan lapang) yang kini berubah fungsi menjadi ladang. Lantaran sawah tadah hujan, selama kemarau dikaryakan para petani penggarapnya untuk budidaya palawija.


Sekilas tanaman cabai, jagung, kacang tanah, tembakau, tebu serta kebun jati milik warga setempat mewarnai alam di pinggiran hutan yang cenderung berpartikel tanah lempung.


Di penghujung wilayah Sidoluhur, berdiri meraksasa empat pohon trembesi yang di mata kami cukup unik dan eksotik. Kuartet tumbuhan peneduh berumur ratusan tahun, dengan jarak tanam yang simetris, menaungi badan jalan. Seakan-akan konfigurasi dahan-dahan yang menjuntai memberi ucapan selamat datang nan ramah kepada kami.


Sumber-20120707-01296


Namun, itu tidak disepahami oleh Si Agus. Dia berucap lirih, “Mas, hati-hati. Kita mulai masuk kerajaan gaib yang besar dan megah. Ini adalah pintu gerbangnya!”


Ups… kami langsung terdiam. Sebagai ordinary people, toh, apa yang ada di sekeliling kami adalah ruang hampa, tak ada makhluk lain yang tampak dan bisa dirasakan kehadirannya.


But…well, the show must go on…


Kian masuk ke dalam, jalanan semakin rusak, bergelombang dan aspalnya mengelupas merata. Kendaraan kecil tak bisa lagi dipacu dan laju kami kalah dengan roda dua yang sesekali melintas.


Setelah ditemani kebun tebu yang cukup luas, diseling vegetasi pohon-pohon jati hasil reboisasi, menyusuri jalanan yang sepi, dan sebelumnya melewati jembatan yang sempit, kami tiba di suatu ‘kompleks pemukiman’ yang lumayan ramai. Desa Ronggo, namanya.


Sumber-20120707-01294


Kami pun membelah desa terpencil di wilayah tenggara Pati, yang dihimpit Desa Ronggo Mulyo, Kec. Sumber, Kab. Rembang serta Desa Kedung Bacin, Kec. Todanan, Kab. Blora.


Saat melintasi pasar Ronggo, dan sesekali memandang wajah-wajah innocent warga dusun, ada semacam ke-kurangwelcome-an yang kami terima. Entahlah itu perasaaanku saja ataukah benar adanya. Seakan mereka melihat kami dengan tatapan mata yang nanar, penuh curiga, tidak seperti penduduk desa-desa lain di Pulau Jawa yang habitnya ramah. Mungkin saja, adanya mobil asing yang melintas di pelosok kampung adalah sesuatu yang mereka anggap aneh dan menimbulkan tanda tanya besar.


Apalagi saat kami berpas-pasan dengan beberapa laki-laki bersepeda motor, yang hebatnya sambil menjinjing bongkahan kayu jati persegi ukuran 12 cm X 12 cm X 250 cm secara sendirian, semakin antipati saja mereka melirik kami.


“Orang sini tampangnya seram-seram ya, Mas?” ujar Mas Ponirin mengungkapkan keawamannya.


Aku hanya bisa berbisik dalam hati, inilah yang kumaksud lorong gelap di awal tulisan ini. Dan (semoga saja tidak) bisa berpotensi untuk mendatangkan ‘penyakit’ bagi kami. Ada sebuah rahasia yang saat turing waktu itupun tidak aku bongkar kepada Bayu dkk.


Hidup di tengah lingkungan yang keras, ditempa panasnya alam untuk sekadar mencari sesuap nasi, dikelilingi kawasan hutan yang angker, --- dan seringkali terjadi ‘rebutan lahan’ antara masyarakat dengan Perhutani --, kondisi sosio-ekonomi yang termarginalkan, serta jauh dari hingar bingar kehidupan kota, melahirkan sosok-sosok manusia yang tahan banting, jiwa-jiwa pemberani, darah kesatria, bermental baja, gampang tersulut, rentan, anti kompromi, labil serta tak kenal kata berdamai dengan segala urusan yang tak cocok di hati mereka.


Maka lahirlah pendekar-pendekar pribumi yang kesaktiannya cukup moncer hingga ke desa-desa tetangga.


Ada beberapa dusun yang cukup ditakuti serta disegani terkait  sepak terjang para jagoan-jagoannya. Pagak, Sobo, Keso serta Ronggo adalah beberapa di antaranya. Dahulu, setiap ada tawuran massal, keributan di pentas hiburan, atau gesekan antar geng kampung, hampir selalu di antara pemuda-pemuda dari dusun-dusun ini terlibat di dalamnya. Tak jarang, akhir dari keonaran-keonaran dipungkasi dengan tetesan darah, atau istilahnya Maduranya-nya carok.


Konon katanya, gali-gali (gabungan anak liar) itu sengaja ‘diternak’ oleh penguasa Orde Baru dengan tujuan politis, untuk mengalihkan isu-isu tingkat lokal maupun regional. Meski kini tingkat kerawanannya tak seperti dulu, tapi sisa-sisa dan bahaya laten muncul kembalinya premanisme dan laku barbar tetap wajib dicermati.


Yang lebih membelalakkan mata, dari bocoran artikel yang pernah kubaca dari website Perum Perhutani Jawa Tengah, Desa Ronggo disinyalir sebagai pasar kayu curian terbesar di Pulau Jawa. Para cukong dan mafia illegal logging banyak yang bermain, memanfaatkan masyarakat di sekitar hutan dalam menggerakkan modus operandi mereka. Siapa yang tak tergiur dengan keuntungan yang sangat besar, seiring kian mahalnya harga bahan baku kayu? Apalagi, menurut klaim kartel perkayuan, kualitas kayu jati daerah Blora adalah highest grade. Nomor wahid. Tak mengherankan, sewaktu Taman Mini Indonesia Indah (TMII) dibangun, sebagian besar kayu pembuat anjungan-anjungan rumah adat, materialnya didatangkan dari daerah ini.


Karena bukanlah bisnis resmi, tentu saja, orang-orang yang kepalang terjun ke dunia kriminal ini berbekalkan bondo nekat, sehingga perlu bermodal olah kanuragan atau ilmu bela diri sebagai tameng perlindungan serta memupuk kepercayaan diri.


Dari berita yang aku dengar, berkali-kali Desa Ronggo ini disweeping pihak Kepolisian bekerjasama dengan Perhutani untuk memutus mata rantai jaringan kayu ilegal. Namun, sekian kali itu pula gagal. Bahkan aparat negara terkesan kapok setelah mendapatkan perlawanan masyarakat di pinggir hutan, lalu angkat tangan, dan akhirnya membiarkan aksi pembalakan liar.


Namun, secara alamiah, susutnya jumlah pohon jati dengan sendirinya menyusutkan pula bisnis kayu gelap ini.


Barangkali, dengan pengalaman pahit dan hubungan yang kurang harmonis dengan para penegak hukum, masyarakat Ronggo terkesan tertutup, high resist serta low permissive terhadap kedatangan orang lain yang kebetulan melintas.


“Siapa saja yang lewat sini, patut dicurigai sebagai intel-intel yang sedang mengintai kami”. Mungkin demikian yang terpatri di benak mereka.

Almost Unreal (1)

Almost Unreal (1)


When Pahala Kencana Trapped into Alas Bonggan, Todanan 


Berita yang dibeberkan Mas Bayu Tri ke sidang milis bismania@yahoogropus.com, yang dikutip dari forum BlackBerry Messanger (BBM) BMC Jateng Utara, sungguh-sungguh menggegerkan, meletupkan kehebohan, bikin gempar, dan naga-naganya membidani lahirnya ragam opini, seteru pendapat, sengketa pemikiran, serta pro dan kontra dalam menanggapinya.


Merinding membaca status Pak Guru SoloMerinding di tengah malam, setelah menelepon Mas Ibnu Soetowo (member Bismania Community dari Todanan, Blora-pen).


Satu armada Pahala Kencana & dua truk semen mengalami musibah mistis di hutan daerah Todanan, Blora. Tiga kendaraan ‘tau-tau’ berada di tengah hutan jati, di pucuk pegunungan.


Dari olah TKP, tidak ada jejak roda sehingga kemungkinan ‘digondhol’ penunggu Hutan Todanan. Peristiwanya terjadi pada Rabu malam, pukul 02.30. Evakuasi sulit dilakukan karena bus dan truk berada di antara pohon-pohon jati. 


Menurut paranormal setempat, ketiga armada tersebut beruntung karena mendengar kokok ayam. Seandainya tidak, para penumpang berikut tiga kru tidak akan pernah kembali ke dunia beserta armadanya.


Awalnya, bus jurusan Jakarta-Madura baru saja lepas dari Kota Juwana. Karena ruas Juwana-Rembang macet oleh adanya perbaikan jalan, sopir mencoba lewat jalur alternatif. Sesampainya di pertigaan Jaken (wilayah Kabupaten Pati bagian selatan), dia merasa seolah-olah di depannya adalah Jalur Pantura. Namun nahas, ternyata jalan yang dia maksud malah mengarah ke Kabupaten Blora. 


Yang dilalui merupakan jalur desa, sementara sopir merasa melewati Jalan Pantura. Ternyata dia ‘diarahkan’ ke arah hutan Gadogan, di mana hutan ini berada di Desa Kedung Bacin Kec. Todanan Kab. Blora. Perlu diketahui, wilayah ini merupakan daerah pegunungan hutan jati. 


Entah kenapa saat mau mendahului truk yang berhenti di sebuah tanjakan, kernet mencoba menahan sopir agar truk selesai menanjak terlebih dahulu. Setelah truk berhasil, bus pun mencoba naik namun ban belakang justru selip, dan mundur. Kemudian terdengar suara benturan. 


Kernet seketika turun dan mencoba memeriksa keadaan. Setelah melakukan pengecekan bersama sopir, mesin mendadak mati. Seketika mereka kaget, karena di sekitarnya yang dilihat adalah jajaran pohon-pohon jati. Setelah berjalan mengitari sekeliling bus, barulah disadari bahwa mereka berada di tengah hutan. 


Dan kernet mencoba membangunkan penumpang yang berjumlah 33 orang. Semua panik, sopir hanya bengong. Selama empat jam di tengah hutan, tiada lampu penerangan. Sekitar pukul 06.30 WIB, kru mencoba mencari pemukiman warga dan meminta pertolongan. 


Kemudian warga melapor kepada lurah setempat dan kemudian menindaklanjutinya ke Polsek Todanan. Aparat kepolisian turun langsung ke TKP. 


Namun apa boleh buat, mobil patroli tidak bisa masuk ke lokasi karena aksesnya berupa jalan setapak/ jalan ternak. Hampir lima jam bus dan truk terdampar di sana. Mekanik Pahala Kencana yang didatangkan dari pul Kudus juga kaget melihat posisi terakhir busnya. 


Sekitar jam lima sore, bus bisa dikeluarkan dengan cara memotong sebagian pohon dan memapras tanah agar jalur lebar dan bisa dilewati bus dan truk. Pukul 18.35 WIB,  armada bisa dibebaskan dan dibawa ke jalan desa.”


Pahala-Kencana_Bus


Truk_Semen_BloraWowunbelieveable!


Dahiku berkernyit usai membaca. Akal terbata manakala menelaah kalimat per kalimat. Nalarku sulit menjangkau untuk sekadar urun kebenaran akan kevalidan kabar irasional yang demikian. Sebagai manusia yang hidup di era hyper modern, sontak logika ini ditantang untuk menjelaskan secara ilmiah bagaimana fenomena ganjil bisa menimpa bis dan dua truk, sehingga terdampar di daerah yang baru pertama kali ‘diperawani’ kendaraan besar lagi lebar itu?


Berbekal sedikit pemahaman tentang geografis alam Pati kidul wetan atau penjuru barat daya Kabupaten Rembang -- tatkala zaman berseragam putih abu-abu aku pernah menjelajahinya saat tandang ke rumah teman-teman sekelas yang tersebar di daerah Batangan, Jaken, Sumber dan Kaliori --, aku pun hanya kuasa berandai-andai mengilustrasikan rute ketersesatan ketiga kendaraan ban dobel tersebut.


Kesimpulanku, pasti dan pasti… di ‘lorong gelap’ itulah mereka terjebak dalam pusaran ‘mesin waktu’.


IMG00623-20121018-1313


“Di dalam sana itu daerah hitam, Dik. Kalau tak ada keperluan penting, tak usahlah pergi ke sana. Cari penyakit!” demikianlah nasihat salah satu kawan SMA-ku kala itu, menunjuk satu jalan ke rimba yang sepi dan seolah tak bertuan. Pepeling itu seakan menyembunyikan kemisteriusan areal hutan jati dan ‘bukit barisan’ Kendeng Utara, yang membujur dari wilayah Pati, Grobogan, Blora, Rembang, Tuban dan berakhir di Lamongan.


Dalam benak remaja sweet seventeen yang naif dan masih ijo, aku pun manggut-manggut, kutelan mentah-mentah larangan yang jelas-jelas absurd dan ku-haqqulyakin-i saja omongan karibku. Kupenuhi pamali itu, hingga belasan tahun kemudian kulanggar juga gara-gara tergelitik rasa penasaran untuk mencari jawab, mengapa obyek yang aku interest-i, -- bus --, bisa-bisanya kelayapan ke dalam area kelabu itu.


Jujur saja, aku juga bakalan keder jikalau nekat sendirian ke sono. “Lebih afdal berjamaah,” pikirku. Satu orang penakut, meski ditemani satu orang penakut, niscaya berdua jadi pemberani. Itulah premis yang jadi dalih pembenarku untuk nyari makmum.


Beruntung, waktu menunggu keberangkatan HR-47 Haryanto di Terminal Rawamangun, aku bersua Mas Yeremi Adi, yang kebetulan juga pulang ngetan dengan PO yang sama, namun beda armada.


Dari obrolan singkat dengan Pujangga Parakan, aku pun rasan-rasan, menawarkan diri sebagai host event turing mistis. Dan aku pun berharap, bukan hanya dia yang ‘mendaftar’, syukur-syukur dapat menggandeng rekan-rekan penggemar bus yang lain.


Bak gayung bersambut, ajakanku tak bertepuk sebelah tangan. Meski masih tentative, tercatat Mas Choirul Arifin, Mas Ponirin, Agus Yulianto, Mas Priya, Yuanito Bayu dan WAG’s-nya, Miss Sera, Koh Hary Intercooler feat GPS-nya, menyatakan siap bergabung.


----


“Mas, kalau Bayu dan Agus tiba di Rembang di atas jam sembilan, kita urung saja ke Todanan!” kesahku skeptis kepada Mas Ponirin dan Mas Yeremia, saat dua sejoli itu aku gelandang untuk menikmati sarapan sate srepeh di kawasan Pecinan, Gambiran, pada Sabtu pagi (7/7).


Berdua adalah anggota kloter pertama yang berlabuh di Kota Rembang lantaran start take off-nya dari jarak paling dekat, Jogjakarta. Dari tutur cerita, semalaman mereka mengekspresikan gairah malam dengan mengais sisa-sisa keganasan Sumber Kencono, bersafari bersama Royal Safari ke Semarang, dan dipungkasi acara bernostalgia naik PO Indonesia menuju bumi Dampo Awang.


“Mengapa, Mas?” tanya Arjuna Wirobrajan yang sedang mencari cinta itu penuh ketidakmengertian.


“Waktu kita sangatlah sempit, Mas. Dari sini menuju Kedung Bacin, setidaknya butuh dua jam. Praktis, waktu yang tersedia bagi kita hanya empat jam-an, karena pukul setengah dua kita mesti berkumpul di agen Garuda Mas, Blora.” kilahku saat kami bertiga duduk lesehan mencicipi kuliner sate ayam bercita rasa khas pesisir itu.


“Kita harus cermat mengatur waktu.” imbuhku.


Kecemasanku cukup berdasar.


Satu jam yang lalu, si gibol, Bayu dan Sera, yang tengah di dalam kabin Pahala Kencana Super Eksekutif dan jejaka berjuluk Alay yang lagi bermesraan dengan Mas Sulikan, driver HR-51 Redbull, sama-sama mewartakan baru menapak Kota Pati.


Adalah pengecoran badan jalan antara ruas Juwana-Batangan yang jadi akar kerisauanku. Kondisi lalu-lintas sulit diprediksi, tak gampang ditebak soal flow-nya. Bahkan, beberapa hari yang lalu, sempat stagnan lama dan butuh tiga jam untuk mengarunginya. Parah bin akut…


Inilah yang aku takutkan pagi ini bakal terjadi, walaupun dua atau tiga jam yang lalu, saat duet Santoso Lover dan Sumber Alam Lover mengaspalinya, terbilang ramai lancar.


But…it’s our lucky day. Dewi Fortuna rupanya berpihak pada kami. Tepat jam 08.00, datang rikues yang hampir berbarengan dari Bayu dan Agus, agar aku menjemput mereka di Terminal Rembang dan Taman Kartini.


Yup…meski mepet, aku harus berani berspekulasi agar tetap menggelar pelesir dunia supra-natural ke Alas Todanan. Tak akan kusiakan-siakan jerih payah, perasan keringat serta terkurasnya isi dompet mereka, yang datang jauh-jauh dari ‘negeri seberang’.


Sate sebanyak 70 tusuk dalam sekejap pindah ke dalam rongga pencernaan. Diseling bincang-bincang ringan, kami berenam menyusun alokasi waktu, memetakan jalur, serta menggarap draft sederhana tentang rundown acara yang bakal kita lakoni setengah hari ke depan.


Rembang-20120707-01242


 Sayang sejuta sayang, ‘pakar ayam goreng’ dari Mojoagung mundur dari rencana semula demi alasan yang tidak bisa aku ganggu gugat.


Pun dengan penggawa harian Tribun News, juru tinta berinisial CA. Andai beliau dapat turut serta, tentu aku tak bakal diplekotho tamu-tamuku untuk menulis cerita keisengan dan keingintahuan kami yang menggebu-gebu terhadap musibah mistis serta sarat aroma klenik itu.


Padahal aku sudah ambil ancang-ancang, andai yang ngikut lebih dari tujuh orang, hendak kusewakan Colt pick-up bak terbuka. Hehe…


“Ayo, berangkat. Tak usah buang-buang waktu!” ajakku membuyarkan keasyikan leyeh-leyeh menghirup kesejukan udara pagi, saat jarum jam menunjuk angka 08.45.

Jumat, 18 Januari 2013

Rukun Agawe Bubrah (4)

04.45


“Waduh…solar masuk angin!” kucuri dengar gumaman sopir tengah.


Sido Rukun minggir, dengan sigap ketiga kru berusaha melakukan penanganan darurat. Sementara sebagian penumpang pria mendadak menciptakan toilet panjang, berderet paralel membuang isi kandung kemih di tepian jalan.


Melihat seorang Bapak menenteng tas punggung sambil terus mengamati angkutan dari arah timur, aku pun meng-copy paste idenya.


“Lebih baik lanjut bus Cirebonan!. Terlambat kerja itu pasti, tapi jangan kebangetan hingga tengah hari.” demikian spekulasiku daripada menanti perbaikan tanpa kejelasan durasi. Ini baru daerah Kertasemaya, jarak ke Jakarta masih jauh, Bung!


Sayang, Putra Luragung ‘Koncara’ gagal kami hentikan karena posisi sedang nge-loop di trek yang lurus dan lapang. Kandas pula impianku untuk icip-icip citarasa armada-armada Bumi Kasepuhan.


“Ayo…naik…naik. Berangkat lagi!” Tak sampai 30 menit, troubleshooting itu kelar dan aku pun kecele.


Konsisten dengan gaya slow motion, bus sapu jagat-nya Muriaan dari Pulogadung ini kembali terseok-seok dari persaingan.


Pasukan kesiangan yang lain melesat cepat, berburu waktu sesingkat-singkatnya untuk mencapai wilayah ibukota.  Berturut-turut Aneka Jaya Proteus, Madu Kismo RK8, Rosalia Indah dengan nomor lambung 224 dan 374, Dieng Indah non AC, serta PO Sumanto Banyakprodo Putra menelantarkannya.


Di Losarang, terlihat aksi solidaritas tanpa pamrih ketika PO Limas yang tengah berkutat dengan engine failure dibantu oleh kru bus Putra Luhur.


07.05 


SPBU 34.41230 yang berlokasi di Pusakanegara disinggahi, me-reload bahan bakar yang mulai menipis, berbarengan dengan Kuda Tulungagung yang diwakili armada AG 7838 UR. Di area parkir, sedang leyeh-leyeh Gunung Harta Seri D, dengan stiker Green Bus Community yang tertempel di pintu kokpit.


Dari timur, telaters terus berduyun-duyun lewat seolah tiada henti. Tercatat Sumber Alam AA 1512 FL, Neo Sari Indah, Pahala Kencana Bojonegoro-Kalideres, Mulyo Indah Galaxy Exl, Rosalia Indah 244, Bejeu B13, Jaya AE 7158 US dan Tunggal Daya Travego ala body builder Tri Sakti.


“Yang turun Bulus siapa saja?” tanya Mas Kenek setengah berteriak menyensus penduduknya. Ada sekitar enam atau tujuh penumpang yang menyatakan diri turun di selatan Jakarta.


Dari hasil pembicaraan telepon kru dengan kompatriotnya, ada wacana untuk mengoper penumpang Lebakbulus dan Sido Rukun-ku langsung mengarah Pulogadung tanpa perlu wisata kemacetan di ruas jalanan ibukota. Rencana tinggal rencana, teman satu pul itu sudah unggul jarak, leading jauh di depan, tepatnya di km 62 Tol Cikampek. Sementara bus dengan livery pesona bangunan-bangunan tua di  Indonesia ini baru menggilasi aspal daerah Pamanukan.


“Ini ke Pulogadung dulu kan, Pak?” Satu orang penumpang mencoba make sure tentang jalur akhir yang akan dijelajahi.


“Iya…Pulogadung, Mas!” simpul asisten driver itu, yang dalam poin pengambilan keputusan berdasar asumsi bahwa Pulogadung adalah suara golongan mayoritas.


Sarujuk alias setuju dengan pertimbangannya. Aku bersorak…


Barisan busvora seakan datang dan pergi. Bus ini kembali jadi santapan Raya AD 1498 CG, pelat merah Damri, Kramat Djati Old Tourismo, Gunung Harta DK 9140 GH dan si Golden Dragon N 7580 UA, Sumba Putra nomor punggung 11, GMS ‘The Flash” serta Pahala Kencana Nano-Nano K 1714 B. Lalu dipungkasi oleh keroyokan oleh Sumber Alam ‘Wangi’ dan Sumber Alam AA 1728 xx.


Pangulah berubah menjadi pangkal kemacetan akibat pertemuan arus kendaraan yang mengarah/ keluar ke/dari ibukota di Simpang Jomin. Tanpa perlu kerja keras, Sido Rukun memplot Rosalia Indah 324 sebagai kapal pandu untuk berkelit dari keruwetan lalu-lintas, dan selanjutnya memilih gate in Dawuan sebagai lorong terang untuk mencapai Tol Cikampek-Jakarta.


Hikmah yang didapat dari jam kesiangan adalah bisa merasai apa yang dimaksud dengan jalan bebas hambatan dalam artian yang sesungguhnya.


Angkutan massal yang berkantor di alamat Jalan Seroja V No. 14, Semarang, ini mulai panas dan menggigit. Daya gedor mulai meluap, agressivitasnya sedikit demi sedikit tampak. Banter untuk level setir seukuran tampah.


Hanya Bejeu B20 , Shantika ‘Sukun’ H 1632 DA serta AO-Transport Laksana Comfort yang kuasa menyalipnya, masing-masing di Km 39, 17 dan 13.


09.03


Dalam kondisi terkantuk-kantuk, aku mengindikasikan sikap plin-plan terkait pengeksekusian planWho is the First; Pulogadung or Lebakbulus?’. Menjelang percabangan Cikunir, bus malah berada di jalur kiri, bukannya pasang ancang-ancang untuk lurus mengarah Jatibening.


Lha, kan  benar…


Dengan tampang innocent, juru mudi ingkar dari rencana semula dengan memasuki area Tol JORR Cikunir-TMII. Alasannya, bus ini tem-tem-an sore Pulogadung, ribet dan memboroskan andai rute yang ambil Pulogadung-Lebakbulus-Pulogadung.


Wis jan, Rukun agawe bubrah, Rukun membikin kacau-balau…


Para penumpang, tentu termasuk pula aku, yang terlanjur kesal karena time of arrival dipastikan kelewat molor semakin tambah meradang. Bahkan ada yang me-riquest paksa untuk turun di exit Pasar Rebo dan Ragunan, namun tak sekalipun digubris oleh kru.


Unloading segelintir sewa diselenggarakan di kompleks terminal yang bertetanggaan dengan stadion kebanggaan Tim Macan Kemayoran, Persija, bersamaan dengan kedatangan Pacitan Jaya Putra model Genesia dan Harapan Jaya 11, Magetan-Lebakbulus.


IMG00153-20130107-0955


11.10


Setelah hampir 1.5 jam khusyuk menekuni kemacetan di Jalan Ciputat Raya, Tol Fatmawati dan simpang susun Cawang,  bus malam yang pernah jadi favorit kaum komuter Muria-an di era 90-an ini kuakhiri kiprahnya di depan kantor Gudang Garam, Cempaka Putih.


Mpfuhh…getir, manis, asam, serta pahit rasanya bergumul dalam kabin ekonomi selama 18 jam!


11.45…accepted


Itulah display penanda waktu yang terpampang di mesin pemindai kehadiran tatkala kulangsungkan prosedur absensi bermetodekan kesesuaian sidik jari. 3 jam 45 menit yang kutilep dari masa kerja normal 8 jam.


Tentu tak ada yang perlu dirisaukan tentang pemangkasan tunjangan transport di penghujung bulan yang kerap menjadi tumbal ketidakdisiplinanku.


Namun, ada yang jauh lebih berharga dan bermakna dari sekian rupiah yang bakal kena amputasi. Setidaknya aku lulus ketika berhasrat menggoreskan arsiran baru dalam warna ritual mingguanku. Semoga yang demikian bisa mengikis kebosanan dan kejenuhan yang membekapku belakangan ini, dan sekaligus menumbuhkan kembali semangat ‘hot sensation on the bus’, mencumbui bus itu selamanya mengasyikkan.


Meski untuk hajatan itu, kali ini aku kudu menebusnya dengan acara ‘pecah rekor’ bus paling siang masuk Pulogadung dan finally…kulayangkan sapaan perdana, “Selamat Dhuhur, Jakarta!” pada ladang pencaharian nan menafkahi.


IMG00143-20130106-1640


-Tamat-

Rukun Agawe Bubrah (3)

Ruangan berukuran 11 m X 2.5 m penuh sesak oleh penumpang saat bus bernomor polisi H 1609 AA ini melakukan restart. Hembusan semilir AC mulai megap-megap, kurang lagi segar dihirup, seakan tak sanggup meladeni kebutuhan oksigen yang bakal diperebutkan oleh para peneduh di dalamnya.


“Maaf, Mas, mau ambil kursi dulu!” pinta kenek kepada penghuni baris terakhir.


Sebuah jok panjang minus sandaran diangkat dari sela-sela bangku dan kaca belakang. Selanjutnya digelar di depan ralling pintu belakang, disangga besi siku di bawahnya, dan duduk lah dua orang yang tak tercatat dalam manifes jalan.


Tol Kaligawe-Krapyak mempertontonkan laga tak seimbang antara nafas tua melawan darah muda. Letter K gangs; dua Royal Platinum Class dari Pengkol, Jepara, Scania Irizar-Irizan, Selamet New Tavego made in New Armada, Era Trans 065 serta Selamet Black Evobus seolah menyindir realita bahwa PO kampung ternyata jauh lebih ngedap-ngedapi disandingkan dengan PO kota.


Tak mau ketinggalan, laskar kidul-an mengerek bendera kemenangan di turunan Karangmalang. Checkmate yang dilancarkan Mulyo Indah Scorpion King, Ramayana line Jambi, penggawa Demak Ijo, Putra Remaja, dengan jubah Jupiter Li serta Budi Mulya AB 7620 CD membuat Sido Rukun menggulingkan rajanya.


Sebelum aku menutup layar, Muji Jaya Citra Mandiri  CM-010, ‘purple pearl” menyetor lekuk pantatnya, yang merupakan hasil kerajinan tangan-tangan Adi Putro.


Teng…tong…teng…tong…


Sirine persimpangan sebidang rel kereta dengan jalan lama Weleri menyalak dan membuatku terbangun.


“Wah…bisa lelap juga. Kayaknya sensor tubuh sudah mulai nyetel dengan keterbatasan bus jenjang jelata.” aku membatin bersyukur.


Saat palang pintu telah terbuka, dengan tergesa-gesa, dari samping kanan deras melaju GMS New Marcopolo, yang kian menegaskan bahwa bus yang berlogo ‘merpati perdamaian’ ini cuma liliput di tengah gelanggang Pantura.


IMG00150-20130106-1914


Ces…ces…ces…


Daerah sentra penghasil Sarkawi dihampiri. Untung pun teraih, dua penganut paham sarkawiyah dibaiat. Penumpang mulai ngoceh, melempar kritik pedas, karena tiada space lagi selain lorong masih saja menyeser. Tapi tak kurang akal, oleh kru #3, keranjang wadah minuman teh botol dikaryakan sebagai ‘tahta nista’.


Kini kesan sumpek, desak-desakan, ciut, sempit, terkurung dan overload semakin kental. Yang aku bayangkan, andai saja terjadi kondisi tanggap darurat yang mengharuskan penumpang bersegera meninggalkan bus, bakalan horor situasinya di bagian belakang. Pintu tak lagi bisa dibuka, terganjal bangku tambahan, sementara di sisi kanan tak dilengkapi dinding way out. Roof hole pun tak ada,  kaca geser di pintu terkunci mati. Setali tiga uang dengan ketiadaan alat pemecah kaca.


“Ya Allah…semoga aman, selamat dan sentosa hingga tujuan akhir,” doa suci kupanjatkan kepada Yang Maha Esa.


Tiba-tiba kurasakan hawa belakang begitu pengap. Meski pendingin ruangan bekerja baik, tapi mengapa udara yang dihisap menyesakkan dada?


“Pak, itu rokoknya dimatikan!!!” sergah seorang penumpang. Ah,…itu tho sumbernya.


Beruntung bus yang rintisan bisnis awalnya membuka bumel Semarang-Lasem ini tak jauh lagi dari bangunan Rumah Makan Raos Eco, Gringsing, sehingga tak membuat mabuk asapku semakin parah.


“Mas, tiket saya termasuk service makan ngga?” tanyaku pada kenek. Sungguh-sungguh, aku terlupa menanyakan hal tersebut pada agen Pati.


Diperiksanya  selembar kertas berwarna merah jingga non sampul yang baru saja kuserahkan.


IMG00161-20130110-2108


Ngga, Mas.” terangnya singkat.


***


Karena gagal membelah interchange yang cukup padat, Sido Rukun pun terdampar di jalur lama Plelen, yang dinamai buku geografi dengan sebutan Tanjakan Poncowati.  Kinerja OM-366A tertolong oleh sepinya truk-truk angkutan berat sehingga leluasa melenggang. Namun tak ayal, HS-150 berhulu ledak buatan pabrikan negeri Skandinavia sukses mendahuluinya.


Bentang Alas Roban hanya secuil yang bisa kunikmati sebelum tertidur kembali. Itupun mampu menyuguhkan kesaktian Nusantara Premiere Class berserta koleganya, ber-STNK K 1708 BB. Sejumput torehan positif lalu dipahatkan, ketika bersusah payah menang adu sprint dengan angkutan wisata, PO Jaya Mandiri.


Senin, 7 Januari 2013 


00.35


Tangisan anak kecil memecah keheningan, menyiratkan pesan bahwa atmosfir di dalam kabin menuju ambang ketidaknyamanan.


Kubuka mata, dan seketika panorama di sekeliling transporter jurusan Tayu-Pati-Pulo Gadung-Lebak Bulus ini dipenuhi lautan bus yang nyaris tak bergerak. Empat lajur dikangkangi, menciptakan ketersumbatan lalu-lintas di region Petarukan.


Kuabsen satu per satu dari jalur dua arah barat sebagai posisi GPS-ku.  Sisi kiri diisi Shantika Premiere, serta PO Williams eks New Rejeki Baru yang dulu aku naiki, AA 1616 FM.


Samping kanan jauh lebih meriah. Hiba Utama bikinan Tri Sakti, Raya 04, Pahala Kencana Proteus OH-1525, Puspa Jaya ‘Raja Kalajengking’, Santoso AA 1434 AA, Blue Sindoro Satria Mas XBC-1518 dan poolteamnya, 226 berbusana Legacy SR-1, menjejali jalur berlawanan.


Kemudian turut berebutan juga di sana antara lain : Shantika dengan latar abu-abu H 1418 CG, Rajawali Golden Dragon, Haryanto Green Titans 67, Sari Mustika ‘Muria Putra’, Shantika ‘The Style Five Star Bus’, Shantika ‘Panoramic’, Haryanto bekas PO Tridiffa, Kramat Djati Selendang Setra, HS-182, dan sang pencipta ‘Beautiful of Pantura’ dengan sinaran lampu aksesoris yang memukau. Siapa lagi kalau bukan HR-16, dengan ikon lambang Tatto 505.


Akar penyebabnya adalah perbaikan jembatan di ringroad kota Pemalang, sementara kendaraan yang mengarah ke Cirebon tersendat oleh lintasan rel yang malam itu tengah peak hours oleh traffic kereta api.


Rewind kemacetan terjadi lagi di daerah Cimohong, Brebes. Bus-bus pengusung aliran so-fasty driving menembus area kanan, sementara busku taklid buta pada aturan jalan raya. Duo Harapan Jaya dan PO dari Karanganyar, Langsung Jaya, mempraktekkannya.


Tol Pejagan diemohi, dan bus yang tuna fasilitas seperti bantal, selimut, hiburan audio-video, toilet dan kandang macan ini lebih memilih akses Kanci.


Selepas membayar gerbang tol Ciperna, aku terjaga karena kegerahan. Tak terkecuali dengan Bapak-Bapak di sudut belakang, yang resah dan gelisah seraya sibuk melonggarkan ikatan pakaiannya.


 “Duh Gusti…louver AC cuma menghembuskan angin, membawa penderitaan bagi yang duduk di atas kompartemen mesin.” keluhku.


Tak ingin ‘matang terpanggang’, aku pun beringsut ke depan mengingatkan sopir dan beliau merespon dengan menghidupkan kembali switch pengatur freon. Hal-hal seperti ini seringkali disepelekan padahal satu-satunya pemberi nafas kehidupan di ruang tertutup adalah piranti air conditioned.


“Pak, Palimanan masih jauh?” tanya anak muda saat aku akan kembali beranjak ke tempat semula.


Kutoleh kepala, “Sebentar lagi, Mas. Ujung tol ini daerah Palimanan!”, jawabku, sambil mengaborsi niat return to base, menunggu penumpang tersebut turun, untuk kemudian menyuksesi bangku dia secara cuma-cuma.


“Duduk di baris ketiga pasti jauh lebih manusiawi dibanding nangkring di atas tungku bakar.”,  aku tersenyum lega.

Rukun Agawe Bubrah (2)

Bergegas kudaki tangga menuju singgasana nomor 55 lewat pintu belakang. Inilah kali kedua aku mempercayakan strata ekonomi untuk mengisi diary trip mingguanku, setelah sebelumnya gagal finish di Pulogadung kala diuji oleh Garuda Mas, setahun silam.


“Ayo, berangkat…berangkat!” seru controller setelah sewanya hampir lengkap, menyisakan dua jok untuk agen Demak dan sepuluh kursi yang didedikasikan untuk wong Semarang.


IMG00147-20130106-1712

17.05


Ritme nafas mesin Mercy era OH King memburu, tersaruk tanggungan berat sasis berikut bodi setara 12 ton, plus total bobot penumpang yang mencapai 3.5 ton. Belum lagi dera untuk memutar kompresor AC sebagai penyumbang kebutuhan udara bersih bagi kelima puluh sembilan penghuni resminya.


Di kawasan Gunung Bedah, bus garapan karoseri Ungaran ini kres dengan NS-47 Pulogadung-Tayu. Disusul kemudian di Daerah Jekulo, bertatap muka dengan Pahala Kencana jurusan Bangilan. Ini sebagai penanda, bahwa jalur Pantura sepanjang pagi, siang, dan sore itu lancar manunggal. Tapi yang demikian bukan jaminan bahwa malamnya status free flow masih terjaga.


Bus hanya melaju pelan, jarum kecepatan imajiner bermain di skala 60-70 km/ jam. Kalah gesit dengan truk-truk ringan pelat P bermuatan cabe yang hendak didropping ke pasar-pasarnya Pak Jokowi.


Drivernya pun sepuh, usia rata-rata sopir bus Wonogiren, selaras dan sepadu dengan performa armada yang dikendalikannya. Miskin fighting spirit, gelora all out ataupun laku mobat-mabit yang diemban. Yang diagungkan adalah kesopanan, ketertiban, safety driving serta style alon-alon asal kelakon. ‘I Love Slow’, demikian slogan yang pas untuk mendeskripsikan kepribadiannya.


Mendekati perempatan Tanjung, Lingkar Kudus, bus pariwisata Sindoro Satrimas 106B pamer kedigdayaan. Tak ketinggalan pula Pahala Kencana K 1594 B, yang dengan kenekatannya merampas jalur arah Purwodadi untuk menerobos lampu merah.


Berdua bukan lawan sepadan. Hehe…


Terminal Jati dicueki, langsung bablas ke jalur orisinal Pantura tanpa merasai derita oleh perbaikan Jembatan Tanggulangin yang telah paripurna.


Di depan SPBU Wonoketingal -- yang belum lama ini jadi TKP kecelakaan OBL Alap-Alap B 7168 PD --, giliran Nusantara dari keluarga CN membabatnya. ‘Smiley New Travego’ yang berjalan kesetanan itu sepertinya didapuk sebagai angkatan pertama Pulogadung. Tak lama berselang, dua Scorpion King Bejeu kompak mengasapinya. Wusss…


Dari arah barat, terlihat NS-52 Pulogadung-Jepara yang tinggal sehasta lagi akan menuntaskan mandatnya.


Sementara itu, penumpang di kanan kiriku tak henti-hentinya bercanda, gojegan, ledek-ledekan, menambah riuh kabin yang disarati penumpang. Sekilas kupandangi wajah-wajah orang dusun ini, dan kutemukan bahwa air muka mereka secara jujur berbicara tentang gambaran hati yang sesungguhnya. Dibalik topeng keceriaan, ada semacam ganjalan berat yang mereka ampu.


“Turun mana nanti, Mas?” tanyaku pada sebelah, yang secara bilangan umur tak beda jauh.
“Pulogadung, Mas.” jawabnya ramah.
“Tujuannya ke mana?”
“Ke Halim, PT xxxx.”


“Perusahaan bidang apa, Mas?” kembali kuselidik, meski itu sekedar basa-basi untuk mengakrabkan diri.


“Anu, Mas, PJTKI”.
“Oh, jadi Mas-Mas ini mau bekerja di luar negeri?”
“Iya, Mas. Rabu besok berangkat ke Arab Saudi. Dikontrak dua tahun kerja di sana, ikut proyek perluasan Masjidil Haram.” bebernya, yang setelah itu kuketahui bahwa dia adalah kepala suku dari keempat temannya.”Dan kemungkinan, kontrak itu bisa diperpanjang lagi.”


“Wah…enak ya, Mas, gajinya lumayan gede.” pancingku.
“Habis gimana, Mas, di rumah tak ada kerjaan, nyari uang palingan cukup untuk hidup sehari-hari.” curhatnya.”Padahal saya sudah punya anak, pasti nanti kebutuhannya juga tidak sedikit.”


“Gimana tadi suasana pamitan sama anak, istri dan keluarga?”
“Ya…yang pasti berat, Mas. Apalagi kata orang kantor, selama dua tahun kemungkinan tak bisa pulang. Hati kecil ini tak tega meninggalkan mereka. Belum dua tahun saya berumah tangga, usia anak juga baru tujuh bulan. Lagi manis-manisnya.” ucapnya seraya menghela nafas.


“Tapi ini semua demi masa depan. Biarlah sekarang saya prihatin dan tirakat dulu, yang penting kebutuhan anak bisa saya cukupi.” imbuhnya dengan tabah nerimo.


So wise…pribadi yang hebat, ruarrr biasa lagi tahan banting.


Dua tahun tak ketemu anak? Hmm…Aku saja hanya mampu memendam rindu bersua dengan bidadari-bidadari kecilku tak lebih dari dua minggu. Aku tak setegar mereka.


“Sido Rukun dua orang…dua orang!”


Anouncement dari kenek menggema saat menapak Terminal Demak membuyarkan lamunanku. Bus berbasis bodi model Comfort itu parkir terjepit di antara armada Bayu Megah dan Haryanto Red Titans.


Lari-lari kecil kembali diperagakan. Tak ada aksi nyetick tipis, late braking, nyendok kanan kiri, membleyer-bleyer pedal gas meminta jalan dalam mencairkan kepadatan lalu-lintas. Mending bersabar, menunggu situasi aman dan lengang saat melakukan prosesi overtaking.


Dan sikap itu kemudian digugat oleh Nusantara HS-174, yang dalam hitungan detik tampak membuntuti, menyejajari, menyalip separuh badan dan kemudian berlenggak-lenggok menghilang dalam keremangan senja di Karangtengah.


Kebutuhan asupan cairan berenergi dipenuhi di Pom Bensin Sayung, beridentitas 44.59503. Tercatat 118 liter untuk memenuhi lambung bahan bakar sebagai bekal gerilya sepanjang malam. Saat hendak berangkat, dimakmumi Sari Mustika berbaju Proteus, yang dimataku ada barang langka yang bertengger di atapnya. Yakni unit AC yang digunakan bermerek Songz.


Lagi tengah gontai berjalan, jatah pion Pak Hans, K 1596 BB, yang menjerembabkannya. Calon jadi lumbung gol ini. *Tepok jidat…


Sein kiri berkedip, dan haluan bus berbelok blusukan ke gang yang tak sebegitu lebar. Dari pelang nama suatu pabrik, ini adalah kawasan industri Gebangsari, Kaligawe. Hendak kemana gerangan?


Sebuah gerbang besi terbuka, yang ternyata akses masuk ke dalam garasi. Roda-roda OH-1518 pun bermanuver di atas lapangan yang becek, berlumpur hitam, ditebari liang-liang menganga dan ditumbuhi rumput liar pada border-nya. Homebase yang kurang terawat, itulah kesimpulanku, setelah menumpang ke toilet dan meminjam mushola untuk menjamak salat Magrib dan Isya, yang kondisi keduanya kotor.


Aku hitung ada 10 armada yang sedang mematung, entah keperluan perpal ataukah stand by. Yang pasti mayoritas bertuliskan ‘Pariwisata’ di kaca depan.


Barangkali inilah refleksi bahwa Sido Rukun perusahaan otobus pada level medioker. Sederhana dalam berbisnis, tak segemebyar PO-PO dari Semenanjung Muria.


Kadang timbul pertanyaan yang jadi slilit dalam pikiran ini, ada apa dengan PO-PO dari ranah Semarang Kota? Sumber Larees, Karya Jaya, Sari Mustika, Adam, dan Sido Rukun, yang telah lusinan tahun malang melintas dan makan asam garam di kosmos per-bus-an tanah Jawa seolah tak berdaya, tenggelam dalam hegemoni dan dominasi kompetitor muda dalam percaturan usaha angkutan darat.


“Penumpang 84 siap, busnya datang!” panggil Mandor Pul kepada penumpang yang sedari tadi menunggu.


Seketika hati ini ditikam kecemburuan, menatap armada dalam balutan Legacy SR-1, H 1584 CA, melenggang masuk markas. Sayang, ‘si VIP’ ini jatah dari Blora/ Purwodadi.


Malam ini aku tak disayang Dewi Fortuna …

Rukun Agawe Bubrah (1)

Jenuh…Jemu…Boring Total…Bosan…Sumpek…Muak…Enek…Pening…Stres tingkat dewa…


Ungkapan-ungkapan yang membahasakan ekspresi kekesalan itu sepertinya cocok untuk melukiskan perasaanku menyikapi amalan wira-wiri mingguan. Adalah lumrah lagi kodrati, menyusur jarak 1.200 km pulang pergi di akhir pekan selama hampir delapan tahun, semakin lama semakin mendatangkan monotonitas nan akut. Naik bus bukan lagi barang yang wah untuk dinikmati, bukan sesuatu yang menghadirkan sukacita dan riang gembira, bukan pula upacara sakral yang perlu lestari dikeramatkan.


Setiap kali punggung ini bersetubuh dengan sandaran kursi, kaki terjulur mencari tempat berlabuh nan nyaman, dan kemudian terdengar raungan pedal akselerasi yang mengisyaratkan perintah go, diri ini rasanya tak betah berdiam lama dalam sejuknya hawa kabin bus. Pengin, pengin dan pengin untuk selekas mungkin sampai ke destinasi akhir. Momok yang terbayang adalah handicap sepanjang jalan yang harus dihadapi, yang kian hari malah meningkat takaran siksanya.


Jalanan rusak, proyek perbaikan jalan dan jembatan yang tak berujung, kesemrawutan lalu lintas, truk-truk yang merayap kepenatan diangkuti tonase berlebihan, sepeda motor yang makin menyemut, lebar jalur nan terbatas – hingga tak mampu mengimbangi pertambahan populasi roda empat, aktivitas pasar tumpah dan pasar modern, perilaku unsafe pengguna jalan, kualitas jalan yang buruk, potensi kemacetan di sana-sini, panjang ruas tol yang hanya sejengkal, cuaca tak menentu, insiden dan kecelakaan, serta kendaraan mogok adalah deretan konstanta pendongkrak kian mahalnya harga binatang yang bernama kelancaran, akhir-akhir ini.


Dampaknya, waktu tempuh tambah menjulang, fisik kudu ekstra afiat, dan hati mesti tebal mental berdamai dengan kejengkelan dan kekecewaan selama mengaspali medan Pantura.


Kerunyaman itulah yang selama setengah tahun ini benar-benar membungkam keliaranku untuk mencari pengalaman dan sensasi anyar, dengan mencari korban ‘PO-PO baru’. Aku acapkali takluk diri dan terbuai dalam zona nyaman yang disajikan langgananku, NS-39 untuk pulang ngetan, atau HR-66/67 untuk balik ngulon. Tinggal nyemplak, dinina-bobokkan alunan musik koplo, dihembusi semilir angin pendingin udara, persetan dengan ragam scene di jalanan, dan selanjutnya tidur nyenyak…tahu-tahu esok sudah sampai tujuan.


Kurva rutinitas yang cenderung datar, satu nada satu irama, dengan setting serta alur ceritanya yang sama identik, lama lama membikin diri ini ogah-ogahan menggelutinya.


‘Lebih baik menyalakan lilin daripada menyalahkan kegelapan’.


Quote pencerahan itu sungguh-sungguh menginisiasi untuk memodifikasi warna perjalanan mingguanku. Aku tak boleh kalah melawan kejenuhan. Lantaran turing ini bukan sekadar keinginan, melainkan kebutuhan. Demikian tekad yang kutinggikan.


Sabtu siang, 5 Januari 2013


“Mas Didik, besok pulang?” tanya Bu Tin, agen PO Haryanto, lewat media pesawat telepon.
“Iya, Bu, seperti biasa.” jawabku.
“Aduh…saya kira ngga pulang, Mas. Bangku nomor 3 sudah saya jual.” ujarnya setengah kelabakan. “Ini tinggal satu, nomor 11. Gimana?”
“Hmm…terima kasih, Bu, lain waktu saja ya.” pungkasku.


Tentu bukan masalah hot seat yang terlepas sehingga aku urung menggunakan jasa armada Pak Kaji Haryanto. Ini sedang bicara soal bagaimana me-menej kebosanan.


“Benar nih, Pa, ngga pesan tiket balik?” protes istriku. “Nanti bla…bla….bla….”.
“Serius, Ma. Aku mau beli dadakan di Pati,” kilahku.”Berangkat seperti biasa kok, jam setengah tiga, ngga sampai memotong jatah waktu buat keluarga. Ngga usah repot nganter sampai Rembang, nanti aku pakai bis mini dari Sulang saja.”


Dengan roman merajuk, aku berharap permaisuri meng-acc permintaan. Meski terlihat berat, anggukan kepala kudapat. Yes…


Minggu, 6 Januari 2013


14.35


“Gara-gara tiket dari Sulang habis, jadinya kita nyari di Pati. Kalau ngga dapat, terus gimana ya?” lirih kudengar kesah empat atau lima orang di atas bus engkel penghubung Rembang-Blora.


“Blaik…kukira ini minggu sepi setelah liburan sekolah dan tahun baru. Seat kok sold out?” aku terperanjat. Mereka rupanya senasib denganku, memilih take off dari Terminal Pati, meski alasan mengapa mesti go show dari sono, pastilah tidak seragam.


Handicap satu menghadang. Tiket bus ternyata masih langka. Aku keliru timing.


“Bos…dari pagi Juwana macet. Suroboyo-an pada lewat Jaken.” remind seorang pengamen kepada kondektur Jaya Utama, moda yang aku estafeti dari Rembang menuju Bumi Mina Tani.


“Walah, macet apalagi? Bukannya pengecoran jalan sudah selesai?” aku kembali terkaget-kaget.


Aral kedua menghalang.


Segera ku-BBM Mas Iwan Madurip untuk menanyakan kondisi ter-update dunia perpenumpangan di Kota Pati. Jawaban mengambang yang kudapat “Aku ngga tahu, Mas, sepi atau ramai. Aku libur”.


Semakin tidak jelas!


Untunglah, AC Tarif Biasa yang di-ngadimin-i Koh Hary Intercooler di grup FB itu memaksakan diri lewat jalan Daendels. Dan ulah nekatnya dengan menganeksasi bahu jalan di sisi arus berlawanan lumayan membabat luasan kemacetan.


Ampun…kemacetan berarak panjang, kira-kira 4 km menjelang dan sesudah Jembatan Juwana. Spot baru ini adalah titik geser kemacetan pasca ‘pengoperasian kembali’ buku jalan antara Juwana-Kaliori.


Namun tetap saja, 30 menit masa yang berharga terbuang percuma, membuatku cemas tak terkira, gusar tak dapat menangkap slottime pemberangkatan bus malam dari Terminal Sleko.


16.38

“Masih ada bangku, Mas? Jurusan manapun tak masalah!” kukorek ketersediaan itu pada agen Bejeu, setiba di stanplat yang berlokasi di seberang pemancar radio Harbos FM.
“Dari kemarin sudah habis, Mas”.


Uh…kugeser badan ke loket sebelah, yang memajang armada high grade untuk melayani kelas ekonomi, Hino keluaran terbaru dengan jersey Jetbus, beregistrasi B 7003 UGA.


“Beli berapa, Mas?” tanya Mas Agen pada pengantri di depanku.
“Empat, Mas”.
“Pas, kebetulan ini tinggal empat lagi”.


Aku pun gigit jari, ludes pula tiket Garuda Mas.


“Selamet…Selamet… Bulus masih satu, PG ada dua…” lantang awu-awu berbaju non formil menjajakan dagangan.


Ngga dulu, ah.


“Masih ada, Mas?” aku mengiba pada penjaga lapak PO Bayu Megah.
“Penuh.Sebenarnya ada CD, Mas.”
“Ok, saya beli, Mas” segera kusambar tawarannya dengan tak sabar.
“Iya, tapi nunggu sopirnya. Dia lagi makan. Kalau boleh dijual, nanti buat Mas.” redamnya.”Tunggu saja di sini!”


5 menit…10 menit…tak ada kepastian. Sementara waktu kian menghimpit, mengingat jam 5 teng mulai memasuki injury time ‘tutupnya’ terminal, sementara aku belum menunaikan kewajiban salat Asar dan belum berhasil mengais secarik tiket. Menit berikutnya, berita itu datang.


“Sopir bawa anaknya, Mas!”


Alamak, mengapa mesti menunggu lama untuk mendapat ‘warta ranaduka’?


“Mau Sido Rukun, Mas!” rayu seorang broker yang nguping kegagalan transaksiku.


Yo wis lah, buat apa pilih-pilih, sedapatnya bus sudah merupakan anugerah terindah yang kumiliki sore ini.


Dengan semangat 45, aku pun diantarkan menemui petugas tiket PO Sido Rukun.


“Tinggal nomor 55, 58 dan 59. Pilih saja! Tiket 90 ribu.”


Segera kubayar saja tanpa banyak tanya. Yang kutahu, dari lembaran sket, itu adalah deretan bangku terbelakang.


Entah tergolong murah atau mahal, aku tak ingin sambat dan tidak mau peduli. Toh, dari kabar teman-teman komuterku, hari itu tiket eksekutif masih bercokol di angka 150 ribu.


“Busnya di ujung timur, Mas!” instruksinya seraya menyerahkan selembar duit ceban sebagai uang kembalian.


IMG00142-20130106-1640