Kamis, 07 Februari 2013

Almost Unreal (3)

Almost Unreal (3)


When Pahala Kencana Trapped into Alas Bonggan, Todanan 


Sampai pojok desa, jalan utama itu semakin memprihatinkan kondisinya. Ngenes. Nyaris tak ada lagi aspal yang tersisa di permukaan jalan. Hanya menyisakan gravel dan tanah kuning yang menghambur-hamburkan debu kala disisir tapak-tapak roda yang melindas.


IMG-20120707-01251


IMG-20120707-01245


“Gila, jalan amburadul begini tak menyadarkan driver bus malam itu untuk setidaknya berhenti dan mengevaluasi rute yang telah ditempuhnya?” benakku diliputi ketidakpahaman.


Pertanyaan lain kembali mencuat. Mengapa ketiga kendaraan besar itu bisa menerobos Desa Ronggo, yang rumah-rumah penduduknya berderet kurang lebih 2 km-an dan berhimpitan dengan badan jalan? Bukankah suara mesin dalam kecepatan rendah pasti terdengar menderu, sehingga setidaknya membangunkan salah satu warga tentang anomali peristiwa tengah malam saat itu?


IMG-20120707-01250


Nyatanya, bertiga lolos-lolos saja, mulus tanpa mengalami kendala apapun. Ataukah memang benar adanya tentang tuduhan ‘penculikan’ si penunggu hutan terhadap mereka?


Mbuh, ah…


Setelahnya, kami berenam benar-benar merasa sendirian berada di planet yang asing, dikepung kawasan hutan dan disorot terik surya yang membakar. Meski siang, jalanan bak areal pemakaman, sungguh-sungguh lengang, jarang sekali kami berpas-pasan dengan warga setempat.


IMG-20120707-01247


 IMG-20120707-01248


Karena ragu, jangan-jangan bukan jalan ini yang menyesatkan kendaraan-kendaraan ber-cc besar tersebut, serta tak sekalipun ada jejak tapak ban besar yang menempel di atas jalan raya, kami pun bertanya pada seorang ibu yang tengah pulang merumput, mencari pakan ternak.


“Bu, niki leres radosan arah Todanan?” tanya Mas Yeremia, yang fasih melafalkan bahasa jawa halus. (Bu, benar ini jalan ke arah Todanan?)


“Leres, Mas.” jawab ibu yang sudah berumur itu. “Mas badhe tindak pundi?”(Mas mau kemana?)


“Kedung Bacin, Bu”.


“Inggih, leres niki radosane, Mas.” sekali lagi ia menegaskan. (Iya, benar ini adalah jalannya.)


“Bu, mireng menawi ndek wingi wonten bus kesasar teng mriki?” lewat lisan lajang Temanggung itu, kami mengorek keterangan satu narasumber dadakan, sebagai counter bahwa berita itu benar adanya, bukan hoax. (Bu, sudah mendengar kalau kemarin ada bus tersesat di sini?)


“Oh, inggih Mas, dereng suwe wonten bis kalih truk kesasar teng Alas Bonggan. Nggih, leres lewat radosan mriki.” ujarnya berapi-api. “Cen nggih mokal, Mas. Saestu niku digondol demit mriki!” (Iya Mas, belum lama ini ada bis dan truk tersesat. Ya benar, lewat jalan ini./ Sungguh-sungguh mustahil, Mas. Yakin, itu pasti digondol demit sini.)


Kesimpulan si ibu benar-benar membuat kami shock sesaat. Ternyata, sekelompok masyarakat konservatif dan tertinggal masih memasrahkan pada hal ghaib bila memandang fakta yang sulit dinalar akal.


Tak selang lama, melintas searah dengan kami pasutri yang berboncengan motor, dan kemudian turut berhenti, berempati terhadap kebingungan kami.


“Arep neng ngendi, Mas?” tanya Bapak yang secara umur terhitung paruh bayah itu. (Mau ke mana, Mas?)


“Kedung Bacin, Pak. Teng lokasi bis kesasar ndek wingi.” jawab Mas Pon. “Nanging dereng ngertos arahipun,” (Kedung Bacin, Pak. Tempat bis tersesat kemarin. /Namun belum tahu arahnya.)


“Wis, nututi aku wae. Mengko tak ancer-anceri dalane,” beliau menawarkan bantuan, meski dengan air muka keheranan dengan tujuan kami. (Sudah ikutin saya saja. Nanti saya kasih tahu arahnya.)


“Taksih tebih, Pak?” tanya Mas Ponirin menyidik. (Masih jauh, Pak)


“Isih, Mas”. (Masih)


Kami pun tambah ciut nyali. Mau balik, sudah kepalang tanggung. Mau meneruskan rencana, khawatir skedul Garuda Mas tak bakalan terkejar.


Sementara jam digital yang terbenam di dashborad depan memampangkan angka 10.15. Kami semakin ditindih waktu.


Sekali njebur, basah saja sekalian. Terus ah, pantang mundur!


Sepeda motor tua itu jadi voorijder bagi mobil kecil kami. Meski butut, larinya susah diikuti, karena aku sangatlah pengecut untuk melibas trek yang kasar dan berbatu, mengingat kabin mobil dalam status full load.


Sumber-20120707-01249


Kurang lebih 2-3 km memandu kami, di satu percabangan jalan beliau berhenti dan telunjuknya menunjuk arah lurus. Sementara suami-istri baik hati itu berbelok kiri, yang berdasar papan petunjuk kecil mengarah ke Desa Kalinanas, Kecamatan Japah, yang nantinya bisa menembus Kecamatan Ngawen, Blora.


Secuil dusun kemudian menyambut kami. Sebuah dusun di ujung utara pinggiran hutan, sekaligus dusun ter-utara dari Kabupaten Blora, yang terhampar dalam tlatah wilayah Kedung Bacin, Todanan.


Rumah-rumah yang begitu sederhana dan jauh dari modernitas ilmu sipil dan arsitektur dibangun berkoloni satu dengan yang lainnya. Jarak antar mereka lumayan berjauhan, menandakan populasi masyarakat di sini tidaklah banyak.


Fisik jalanan kian parah, menerjemahkan arti bahwa daerah ini memang dianaktirikan oleh pemda setempat. Bahkan ada beberapa ratus meter panjang jalan yang berkomposisi dominan batu makadam, tanpa media aspal yang memadai.


Japah-20120707-01256


 IMG-20120707-01286


Ditambah trek yang menanjak dan terjal khas kontur perbukitan, dengan lebar jalan yang tak seberapa, serta dipayungi dahan-dahan pohon yang merambah jalan, kian menambah pula kehati-hatianku dalam mengemudikan kendaraan.


Japah-20120707-01293


Sumber-20120707-01252


 Sumber-20120707-01255


“Edan…sekali lagi edan! Tidak ngeh-kah juga pengemudi-pengemudi yang telah malang melintang dan berjam terbang tinggi di jalur Pantura dengan  situasi jalan yang demikian, sehingga kudu memutuskan untuk me-reroute jalur perjalanannya?” pikiranku semakin dijejali banyak pertanyaan.


“Mas, pohon ini penunggunya berwajah seram, berbadan tinggi besar.” sesekali Agus Alay mewartakan hasil penerawangannya, setelah kami mendekat pada sebuah pohon besar yang memayungi jalan.


Sumber-20120707-01254


Ah, Agus. Kelebihan indera keenammu memang luar biasa. Tapi malah membuat darah kami berdesir, bulu kuduk berdiri.


Di ujung kampung, tak ada lagi kawasan hunian penduduk. Kanan kiri jalan hanyalah jajaran pohon jati yang masih terlihat hijau, meski kemarau mulai meluruhkan sebagian daun-daunnya. Ini pertanda, kami mulai memasuki kawasan hutan Bonggan, yang belum lama ini jadi buah bibir atas ‘kehandalannya’ menjebak salah satu armada Pak Hendro Tedjokusumo dan dua truk semen milik PT Varia Usaha, anak perusahaan Semen Gresik.


IMG-20120707-01285


 Japah-20120707-01257


Jalanan menyempit, dengan semak belukar yang rimbun di sekelilingnya. Berkali-kali mobilku mengeluarkan bunyi gesekan, bersalaman mesra dengan ranting-ranting yang menjulur ke badan jalan, meninggalkan baret-baret di bodi.


Todanan-20120707-01284


Sepertinya rute ini memang jarang dijamah kendaraan roda empat, justru malah lintasan binatang berkaki empat. Pantas saja, media mempublishnya dengan sebutan jalan ternak.


 Sumber-20120707-01287


Tudingan bahwa penyebab disorientasi arah perjalanan lantaran faktor kelelahan fisik, kondisi mengantuk, beban pikiran yang menumpuk, melamun dan menurunnya psikis para pengemudi dipatahkan dengan realita bahwa tanpa adanya konsentrasi tinggi, stamina yang prima dan daya pandang yang tajam, semestinya bus dan dua truk nahas sudah terperosok ke pinggir jalan, ataupun tubuh kendaraannya tersangkut dahan-dahan pohon. Faktanya, saat ditemukan, bodi bus cukup mulus, tanpa ada goresan akibat terserempet ranting-ranting tanaman.


Aku pun berani ‘berfatwa’, untuk menembus grey area ini butuh perjuangan ekstra, kesadaran penuh serta kecakapan di balik kemudi.  Tak bisa sembarangan dan asal-asalan.


Kalaupun ada teori konspirasi dari ahli parapsikologi yang menyatakan bahwa pengemudi mengalami halusinasi alam pikiran, mengapa penyakit psikologis itu berbarengan menghinggapi beberapa orang sekaligus? Halusinasi massal kah?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar