Kamis, 10 Juni 2010

Dimabuk Neoplan (1)


Wajahmu t’lah jauh berubah

Tak lagi garang dan terkubur sudah gagah wibawamu

Yang ada, tinggal raut muka yang memajang senyum sumringah

Menawarkan keramahan bagi yang sudi memandang

Karena engkau tak muda lagi

Kemewahan tak lagi punya arti untuk diperjualbelikan

Selain sisa-sisa kejayaan masa silam

Itulah ode asal-asalan yang terlintas dalam ladang imajiku saat menangkap sosok Neoplan yang diampu oleh PO Safari Dharma Raya divisi Jakarta terdampar di Taman Eden Rawamangun, ketika aku hendak menghelat acara wira-wiri tanpa henti Hari Jumat (30/4) yang lalu.

“Maksa…”, begitulah testimoni sebagian buslovers setelah bus ini melewati masa-masa kritis pascaoperasi wajah. Dan aku pun mengamini demikian meski dalam menilai sebuah hasil garapan manusia, subjektifitas pribadi yang bicara.

Lihat saja perwujudannya yang aneh sekarang. Semua sisi eksterior tak ada yang steril dari sentuhan. Moncong muka yang futuristik khas Neoplan dilengserkan, dibenamkan jiplakan wajah New Travego ber-headlamp “Smiley”. Bodi mengalami “penurunan” sehingga default ground clearence-nya terkoreksi, membikin produk pabrikan Jerman ini ceper, ndeprok dan terlihat gambot. Hanya ada monir change di bagian lambung kanan-kiri. Kaca jendela yang sebelumnya model lengkung diubah menjadi patahan menyudut. Dan yang ekstrem terkena aksi kreativitas para penggawa Adi Putro ada di sektor buritan. Meski blind glass dan rear lamp susun empat dilestarikan, tapi penggusuran ruang sentral AC dari posisi tengah atap ke bagian belakang membuat bus ini terkesan “bersanggul” dan keberatan pantat.



Dibanding bentuk aslinya yang dulu, seakan Neo Neoplan ini ingin melepas kemurnian citranya sebagai bus luks, borjuis dan mahal, berganti karakter menjadi bus yang ramah, merakyat, up to date, tak kebal keekslusifan dan membumi di ranah bis nge-line.



Rupanya, guliran roda zaman tak pelak meminggirkan dan mengirim bus ini masuk kotak berlabel “barang jadoel”. Tak mau selamanya jadi korban modernitas -- toh kemampuan larinya masih mumpuni--, Neoplan ini pun me-make over tampilan agar terlihat remaja, segar dan menggoda. Walau bagiku, sangat-sangat disayangkan, karena inilah aksi “genocide” terhadap orisinalitas Neoplan itu sendiri.

Tetapi, dibalik pro kontra pemutakhiran Neoplan OBL, tersembul puja puji keluarbiasaannya. Inilah sedikit dari armada Neoplan di negeri pertiwi yang rendah diri dan baik hati. Bersama Neoplan B 7168 SW, berdua masih rajin menyambangi kota-kota, mampir dari satu agen ke agen yang lain, setia menyambut pinangan tangan penumpang yang butuh jasa penghantaran, menabur sapa bagi yang merindukannya dan tentu saja, yang pantang mengibarkan bendera putih, berani membusungkan dada bersaing dengan darah-darah muda di sirkuit jalan raya.

Di saat PO-PO lain mengevakuasi armada Neoplan ke operasional pariwisata --seperti Pahala Kencana, Kramat Djati atau Bandung Ekpress--, justru OBL merupakan perkecualiannya. Bus yang ber”loko” penggerak jenis OM366LA Turbo Intercooler ini masih menjalani dinas harian, menggawangi trayek reguler Jakarta-Solo PP, seperti yang tampak di sore itu.

Aku pun dibuat termangu dan bimbang di ruang tunggu terminal. Bilik-bilik batinku begitu hebatnya beradu argumen hingga bergaung di lorong-lorong akal sehatku. Dari rencana awal naik Kramat Djati Malang -- kebetulan busnya juga telah siap sedia di jalur pemberangkatan -- , ambyar tak terpetakan lagi. Bayangan menikmati timangan lembut “balon udara” New Travego dan betapa praktisnya tinggal nyemplak diantar Flying Eggs hingga ke Rembang, begitu aku asakan. Apalagi besok pagi adalah hari pertama Nyonyaku masuk kerja setelah cuti panjang melahirkan. Setidaknya aku harus memburu waktu, pengin membantu ngurus anak-anak sebelum dan pas ditinggal kerja ibunya. Namun, setumpuk dalih rasional di atas diburamkan oleh kehadiran Neoplan ini.

Jiwa bismaniaku memberontak. Tabu sebagai seorang bismania malah mempersempit dunia bus itu sendiri dengan naik PO itu-itu saja, nangkring di atas mesin itu-itu saja, dibawa jurusan itu-itu saja atau bertemu kru dan agen yang itu-itu saja.

“Hey, anak manusia. Kamu ini gimana? Mosok turun Semarang? Apa ngga repot nyambung ke timurnya? Nanti gimana menuju Terboyo? Ingat, sampai kota lunpia dinihari. Kamu buta angkutan di sono dan baru kali ini kan pergi dengan bis Solo-an?Kamu itu butuh waktu, bukan kesenangan diri…” puluhan iblis penggoda menceramahiku.

(Hii…setan kok tau ya kalau julukan Kota Semarang itu kota lunpia? Setan penggiat kuliner ini…)

Tapi, aku benar-benar sudah mendem (mabuk) dan mendadak sange berat ingin merasai kenyamanan fitur “hi-end” yang diusung Neoplan ini. Meski soal mesin tiada beda dengan MB OH 1521, tapi dengan kelebihan berupa chasis monocoque dan ditanamnya piranti air suspension, tak terbantahkan lagi bahwa bus ini menempati highest rank di masanya kala itu.

Aku belum pernah sekalipun dibuai ayunan eks bus berpredikat Jendral ini. Semenjak menyandang komuter mingguan di medio 2004, Neoplan Pahala Kencana susah ditangkap, jarang bisa ngepas jadwalnya dengan kepulanganku, hingga akhirnya dipensiunkan dari jalur Jakarta-Malang.

Pun setali tiga uang dengan acara-acara yang diadakan BMC. Meski telah dua kali menyewa armada Neoplan, waktu nikahan Mas Ivan (Bandung Ekspress) dan famgath. ke Anyer (Vista Touristama), namun dua-duanya aku miss untuk turut serta.

Sudahlah, memang Neoplan OBL anugrah terindah hari ini bagiku.

“Masih ada satu kursi buat ke Semarang, Bu? Kalau ada, tiketnya berapa?” saat aku tiba di depan loket.

“Ada Mas, 150. Kalau mau, ini seat depan nomor 4 masih kosong.”


Itulah transaksi perdanaku saat pertama kali menjajal entitas Soloensis yang dipicu oleh kekuatan sihir Si Neoplan ini. Mahal dan repot memang dampak buruknya. Biarlah jadi resiko untuk memulai petualangan baru. Neoplan makes me crazy now…

“Mas, kalau mau ke Kudus, yang gampang nanti turun mana ya?” tanyaku pada Mas Kenek saat dia selesai mengatur barang di bagasi samping.

“Cipto saja Mas, sudah dekat ke Terboyo. Bisa pakai ojek nanti…”, jelasnya.

Saat menapak ke dalam, ternyata tak ada yang istimewa di ruang interiornya. Elemen-elemen lama dipertahankan, tanpa ada perubahan yang berarti. Langit-langit, lantai dek, jok kursi, dinding kabin, TV Video, gordin hingga louvre AC sistem putar sepertinya untouchable.

Andai saja saja konsep transplantasi wajah ini dibalik, cukup bagian dalam yang dibesut total sementara yang luar hanya dipoles ringan, pasti keabadian Neoplan untuk sementara waktu masih terwariskan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar