Kamis, 10 Juni 2010

Sepeninggal Tragedi Tanjung Priok; Kibar Bendera “PKS” (3


Pelayaran Sunyi Marcopolo

“Hati-hati di jalan ya Mas, salam buat keluarga…”

Kalimat perpisahan pun dilisankan Pak Eko, sesaat setelah kubayar jasa hantarannya setiba di Terminal Rawamangun.

Hmm…lengang. Kabilah timur yang terlihat “cuma” Pahala Kencana (PK) Jember serta Kramat Djati (KD) B 7860 IW jurusan Denpasar. Wah, andai saja kembarannya yang nge-line, B 7861 IW, hatiku pasti terbujuk. Sementara itu, Lorena Evolution jadi satu-satunya duta swarna dwipa.

Mana ya PK Denpasar? Jangan-jangan sudah take off memulai penjelajahannya? Jarum panjang penunjuk menit menyandar di angka lima, kemungkinan aku memang ketinggalan armada incaranku.

Belum lama bertanya pada diri sendiri, datanglah jawabannya. Sesosok model catwalk nan anggun rupawan melenggang, bersiap pentas di depan podium. Masih wetlook, kinyis-kinyis dan memancarkan seribu satu pesonanya. Siapa lagi kalau bukan yang selama ini aku idamkan?

Bermodal kekuatan struktur rangka chasis MB OH 1525 dan piranti penggeraknya OM906LA, berbusana New Marcopolo besutan Adi Putro yang membebat sekujur tubuhnya. Dengan tatto tubuh terbaru berupa guyuran cat bertema grafis minimalis, perpaduan biru, silver serta kuning -- meski sederhana tapi tak menanggalkan eleganitasnya -- serta memasang banner di balik kaca depan “Jakarta-Denpasar”, benar-benar sempurna di mataku. Apalagi dibenamkannya sirip fantasi di lambung sisi depan, merefleksikan bahwa makhluk ini siap sedia merenangi lautan waktu yang membentang antara kota tua Batavia hingga Pulau Dewata, semakin menambatkan pendirianku untuk tak berpaling kepada yang lain.



Mantap, kulangkahkan kaki untuk menemui Mas Yudi yang mengageninya.

“Mas Yudi, saya mau ke Rembang. Boleh ikut yang Denpasar, Mas?”

“Tentu boleh Mas, ikut yang Jember juga silahkan…”

“Denpasar saja Mas. Oh iya Mas, saya cuma ikut saran Pak Didik, agar naik busnya Mas Yudi…” ujarku sembari kujual nama “Pak Didik SS” yang cukup kondang di keluarga PK Rawamangun. “Berapa Mas tiketnya?”

“Seratus lima puluh, Mas…”

Weih??? Tentu saja aku terperanjat dengan harga yang diberikan. Selama ini, kerapkali naik Ombak Biru dari Rawamangun tak pernah bergeming di kisaran 165-180ribu.

Rupanya, “Pak Didik Connection” jadi senjata ampuh untuk menggolakkan perhitungan Mas Yudi dalam menetapkan harga tiket ke Rembang. Pemeo “PK is most expensive to ride with…” tumbang siang ini. (Hehehe…terima kasih ya Pak Didik).

“Berangkat jam berapa, Mas Yudi?”

Karena aku ingin meng-crosschek dengan penjelasan Dek Rayyan bahwa PK Denpasar pertama diberangkatkan jam 12.00.

“Jam satu Mas. Telat-telatnya setengah dua…” jelasnya sambil melengkapi data di selembar tiket. Lho, bergeser departure time-nya?

“Eh, Mas, saya kasih seat depan ya?”, lanjutnya. (Apa Mas Yudi takut kena jewer Pak Didik ya kalau sampai berani menaruh kursiku di belakang. Hehe…)

“Terserah, Mas. Ok Mas, kalau begitu saya nyari makan siang dan sholat dulu…”

Jam 13.23, final check dilakukan sebelum bus diberangkatkan, bersamaan dengan kedatangan B 7716 VB Jakarta-Palembang.

“Siapa yang bawa, Mas?”, tanyaku pada petugas kontrol. Kali saja Pak Buntaran, Pak Max atau Pak Kodok yang bertindak jadi kusirnya.

“Pak Khamsin dan Pak Amir, Mas?”. Oh, ternyata dua-duanya bukan yang kumaksud.

Semenit kemudian, Pak Khamsin menggerakan HT 619 secara perlahan keluar kompleks terminal, mengangkut 11 penumpang. Marcopolo pun memulai pelayarannya, 15 menit di belakang bendera start Hino RG Jember . Dilihat dari garis wajahnya, driver ini pastinya cukup kenyang makan asam garam di jalanan. Terlebih cara pengendalian setirnya, begitu smooth dan terampil, menandakan jam terbang yang dikantonginya tinggi. Tapi kok sendirian ya, mana pramudi tengahnya? Sedari tadi aku tak melihat kru lain, kecuali Pak Khamsin dan asistennya.

Masuk jalan layang Ca-Pri disambung tol Cikampek, tenaga yang disemburnakan flywheel engine diesel keluaran Mercedes Benz ini benar-benar kuasa. Tanpa ba-bi-bu, langsung ambil lajur paling kanan, menyalip deretan pengguna jalan yang bergerak lebih lambat di samping kiri. Aliran darahku berdesir menyaksikan rpm seringkali di atasgreenline, dengan speed antara 100-110 km/ jam membelah kerapatan lalu lintas di jalan bebas hambatan. Tak ada sifat telapak kaki yang malu-malu menginjak pedal akselerasi, tiada istilah “gigi 0” dan nonsense akan ancaman tekor gara-gara rakusnya dapur pacu menghisap solar. Inilah era penjatahan BBM di operasional PK tak lagi berlaku. Sopir tinggal injak gas, tak perlu me-menej tetek bengek masalah fuel usage.

Satu driving style mengemuka. Pak Khamsin suka menempel bidang pantat kendaraan di depannya, sebelum menjalankan aksi overtaking. Yang membuat adrenalin makin terpacu, saat melakukan pengereman, benar-benar so close dengan jarak calon pecundang di depannya. Berkali-kali telapak kakiku berilusi dengan menginjak lantai kabin, takut pneumatic breaking-nya ngga nutut dengan kemauan pengemudi. Tapi rupanya, pria paruh baya ini cukup menyatu dengan karakter armada yang sebentar lagi bakal diskontinyu ini, digantikan OH 1526.

Adegan dramatisnya terjadi menjelang SPBU km 19, Bekasi Timur, saat navigator telat mengingatkan Pak Khamsin untuk mengisi cairan bersenyawa alkana sebagai nutrisi pokok bagi kinerja mesin. Bisa jadi, sopir-sopir masih beradaptasi dengan kebijakan baru ini, sehingga belum mampu mengingat di luar kepala tempat-tempat pengisian bahan bakar.

“Pak…pak…jangan lupa mampir!!!”

Padahal posisi bus berada di lajur 4 dan dalam kecepatan tinggi. Dengan cekatan, Pak Khamsin men-sinkronkan pedal rem, shift down gigi transmisi untuk memanfaatkan engine brake, dikombinasikan dengan aksi intip spion dan permainan lampu sein, diputarnya lingkar kemudi kuat-kuat ke arah kiri. Bus menukik tajam menyapu lajur lain. Namun, di sisi paling kiri, terdapat dump truck yang berjalan perlahan. Aku sampai memejamkan kelopak mata, karena dari perkiraanku, moncong bus bisa mencium buritan truk tanah tersebut.

Tapi, dengan skill yang tinggi, Pak Khamsin mampu bermanuver lincah, tipis lolos dari hadangan truk dan selanjutnya langsung meluncur ke dalam rest area.

Sampai-sampai aku lemparkan SMS ke Pak Didik, “Wah, bisa-bisa dua hari berturut-turut saya senam jantung, Pak”.

Saat menenggak minuman inilah, kucuri pandang pada bus Arya Prima yang tengah melaju di jalan tol. Yang jadi poin of concern-ku, pasukan Sumatra tersebut menggunakan armada lungsuran PO Haryanto, yang bermodel Skania Restu Ibu dengan livery baru ala armada Madura-nya.

Selepas memenuhi kebutuhan biologisnya, kuharap bakal bertemu lawan-lawan sepadan, yang slottime perjalanan mereka bersinggungan dengan Mercy Electric ini. Setahuku ada Akas Asri, Lorena Banyuwangi, KD Denpasar, Laskar Sakera (Kopral, Karina, KD) atau bus ranah Wonogiren yang lumayang nge-jozz, Aneka Jaya.

Bagiku, kedigdayaan sebuah bus terukur dari cara menampakkan dominasi dan superioritasnya atas bus lain. Tanpa itu, rasanya tak lengkap kalau disebut bus sess…

Tapi sayang, hingga ujung tol sepanjang 72 km ini, tak satupun bus malam yang bertebaran. Meski dibantu kemacetan di km 29, tak membuat arus bus-bus tertahan dan menumpuk. Duh, sepertinya tidak nge-pas dengan peaktime armada kloter siang.

Kalau pun ada prestasi yang boleh disebut, asap Euro 3(?) ini mampu menyembur karbon monoksida ke muka Sahabat Panorama 3, Warbex191 beserta saudaranya 134 serta Agra Mas 3097. Tapi apa sebanding kalau komparasinya dengan kelas bumel-an?

Mendekati pintu keluar Kopo, dengan rukunnya Galaxy Tentrem PK dan Aquarium OBL “XT” beriringan arah Jakarta. Berlomba siapa yang jadi tercepat untuk disematkan mahkota penguasa jalur Denpasar.

Di Pangaluh, penasaranku terjawab. Bus berhenti ketika seseorang melambaikan tangan menghentikannya. Dialah driver tengah, Pak Amir. Mengapa aku yakin begitu?

Karena secara fisik, mirip-mirip yang disebutkan Pak Didik SS, masih muda dan berkumis. Pak Didik sendiri pernah dipameri ketrampilan mengemudinya sewaktu sepulang turing sekaten di Jogja.

Antara Jomin hingga Pamanukan, senioritas Pak Khamsin makin terunggah. Pria yang logat bicaranya ber-genre Jawa Timur-an ini adalah prototipe kombinasi gaya Kudus-an dan bus Wetan-an. Mampu melarikan bus tanpa meninggalkan kenyamanan dan kestabilan armada yang dihelanya.

Sayang, cerita babak I berulang. Pantura disesaki truk-truk barang dan sesekali kendaraan pribadi dan angkutan umum rute pendek. Di daerah Sukamandi, barulah bertemu lawan segolongan, sama-sama bus malam. Tapi sekali lagi kurang mengesankan, karena tak perlu menguras keringat untuk menghempaskannya. Serba Mulya A-8, Sinar Jaya jurusan Slawi, Tunggal Daya armada 16 serta Tunggal Dara kode 23 jadi camilan ringan.

Justru duel dengan saudara sendiri, PK Madura B 7189 XB yang menarik disimak. Cukup alot, namun setelah tempel kanan, dorong kiri, pepet kanan, dempet kiri, RG1JS itu pun memberikan jalan bagi bus yang odometer-nya memampangkan angka 74ribu-an ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar