Kamis, 10 Juni 2010

Sepeninggal Tragedi Tanjung Priok; Kibar Bendera “PKS” (5)


Berlari dengan Napas Tua (1)

“Kok naik Pahala sih Pa? Ingat lho, sudah dua bulan ngga naek Nusantara. Ngga enak sama Mbak Aik (agen Nusantara-pen) yang selama ini sudah banyak membantu. Dikiranya ada apa-apa…”

Demikian protes nyonyaku saat aku bersikukuh mencontreng Pahala Kencana untuk perjalanan balik ke Jakarta. Inilah tak nyamannya menjadi komuter mingguan. Karena seringnya berhubungan dengan agen, bukan lagi persoalan demand and supply, melainkan juga kedekatan personal.

“Sekali ini aja Ma, Minggu depan pasti Nusantara. Pan Jumat kemarin sudah bolos Ma, Senin besok pantang kalau telat. Makanya, nyari bus siang…” pungkasku untuk meredakan ketidakmengertian pendampingku yang menilaiku sedang “pisah ranjang” dengan Nusantara.

Bukannya aku mengingkari kecepatan tembak “peluru-peluru” Pak Hans, tapi sebagai langkah antisipatif jika saja akhir pekan besok jalanan macet. Demi leluasanya, aku bersandar pada bus yang start lebih awal dari Sulang, kota kecamatan terdekat dari rumah yang dilalui bus malam Bojonegoro-Jakarta. Meski aku sendiri juga mafhum, Pahala Kencana divisi Kudus sudah termarginalkan dari jajaran bus banter Muria Raya. Tapi bercermin pengalaman saat naik Butterfly berstandar VIP yang kunaiki sebelumnya, dengan arrived time di jalur kedatangan Pulogadung sebelum jam lima pagi, apa salahnya kalau sekarang kuandalkan kembali?

Minggu, 18 April, kulakukan perjalanan berulang dengan Ombak Biru chapter Kudus. Kali ini, aku meng-upgrade kelas menjadi eksekutif. Bermodal selembar tiket yang kutebus dengan nominal Rp.130.000,00, dan seat number 6C, akan kubuktikan, bisakah “the highest class” ini lebih baik dibanding VIP-nya?

Namun, rasa optimisku menumpul seiring kedatangan K 1564 AB yang molor dari jadwal tetapnya. Berdasar catatan di tiket dan pengamatanku, jam keberangkatannya tak pernah lebih dari jam tiga sore. Tapi kali ini, menjelang setengah empat armada baru mampir di agen dari arah Cepu. Dan artinya, hanya beda 15 menit-an dengan NS 39 dan NS 29 yang sebentar lagi akan lewat di belakangnya. Justru, yang ontime armada B 7889 ZX Bogor dan B 7289 X jurusan Kalideres.

Bus berbaju Old Travego ini tampak mulai usang dikunyah guliran zaman. Bahkan, dinding dalamnya banyak yang ditambal dengan lakban karena sudah menua, retak serta bolong-bolong. Tak ada hiburan audio video sama sekali, padahal itu hak penumpang yang harus dipenuhi sebagai salah satu bentuk service on board.

Aku hanya bisa berharap, semoga bus ini masuk waiting list untuk dirombak tampilannya. Sebagian koleganya telah berganti wajah, baik New Travego Smiley atau Marcopolo hasil racikan Tri Sakti ataupun Tri Jaya Union, meski sisi jeroan tak ada pemutakhiran.

Baru saja hendak duduk, lho kok?

Sudah ada dua sejoli nangkring di kursi 6C dan 6D. Tidak biasanya begini? Setahuku, agen-agen PK hanya menjual tiket sesuai dengan trayek bus yang melintasinya, tak kenal istilah penumpang langsiran atau operan. Untuk itulah, bus-bus bertujuan akhir Bogor, Tangerang, Rawamangun-Pulogadung, Lebakbulus dan Kalideres semua masuk Bojonegoro.

“Mas, nomor kursinya berapa?” tanyaku dengan sopan.

Si Cowok malah salah tingkah dan belingsatan, kemudian mencolek ceweknya.

“Ayo pindah ke sono…”, dan mereka bergeser ke tempat duduk lain yang kosong.

Aduh, tercium bau ketiak Sarkawi ini?

Bus yang ber-ID HT 722 ini pun memulai pelariannya. Cukup kencang dan greget juga cara Pak Sopir meng-handle-nya meski yang kurasakan energinya terbatas. Feeling-ku, power keluaran mesin tak mampu melampaui angka 200 HP. Dugaanku, setali tiga uang dengan B 7415 NL, sama-sama bermarga OH King.

Saat berhenti di agen Jl. Diponegoro, Rembang, ada kejadian yang membuatku tertawa ngakak dalam hati. Di seberang jalan, yang merupakan agen pembantu PO Tri Sumber Urip (TSU) , terlihat “Kaleng Bocor” yang kujadikan selingkuhan seminggu sebelumnya, menghampiri penumpang. Wah, ternyata pujaan hati Mas Hary Intercooler ini masih jago buat nyari duit meski soal kelayakan di nomor sekiankan.

Memang tak dapat dipungkiri, nama Pahala Kencana masih laris jual meski dengan amunisi yang pas-pasan. Selepas kota Rembang, tak sampai tujuh seat yang masih kosong, jatah yang diisi agen Juana, Pati, Kudus dan Semarang.

Kejadian yang paling mendidihkan adrenalin saat bus lebih memilih lewat ringroad kota Gandul, Pati, dibarengi teman satu juragan, B 7275 WV. Berdua adu sprint di sirkuit sepanjang hampir 5 km yang lengang, karena pemanfaatan jalan lingkar ini masih ambigu. Kadang diuji coba untuk jalur truk-truk barang, kadang diveerboden oleh regulator, dalam hal ini dishub Kota Pati. Konon katanya, meski sudah diresmikan penggunaannya, Jalan Lingkar Selatan (JLS) ini masih bermasalah dalam desain dan kontruksinya, yang dianggap kurang safe bagi pemakainya.

Hmm…pertarungan King vs RG. Dan tentu bisa ditebak, prinsipal Jepang lebih unggul, baik umur, tenaga maupun tarikan.

Jam 17.40, MB OH 1518 ini singgah di pool Kudus, untuk melapor dan mengangkut titipan berupa paket barang. Kusempatkan melongok bagian dalam garasi, dan tampak skuad Pahala Kencana Kudus. Tidak ada bus anyar, sebaru-barunya armada model Proteus. Sementara itu, dari kejauhan, sekawanan armada dari pesisir timur Jateng terlihat memadati terminal Jati. Bejeu, Senja Furnindo, Nusantara, Selamet, Haryanto, Shantika, dan TSU mulai berdatangan.

Meski berangkat dari Sulang sudah kesorean, namun jam take off dari Kudus masih termasuk kloter awal. Biar kata mesin uzur, pramudi mampu memaksimalkan tenaga yang ada. Andai saja bus ini berkilometer rendah, pasti fakta berbicara lain melihat karakter driver I yang menerapkan tensi tinggi saat menjelajah jalanan. Kapan ya OH 1525 generasi awal dilungsurkan ke Kudus?

Di agen Dr. Cipto, pertanyaanku terjawab. Saat semua penumpang telah duduk di lapak punggungnya masing-masing, pasangan ABG tadi tersingkir dan rela rebahan di space kecil depan toilet yang telah dilambari tikar. Ternyata bukan cuma dua orang, tetapi tiga. Sepertinya…memang ada praktek kotor di dalam bus ini.

Saat agen Semarang mengecek, satu dari mereka ditanya,

“Tiketnya mana, Mas?”

“Ikut sopir, Pak”

Dan petugas itu pun berlalu, diiringi raut muka penuh keheranan, keraguan dan tanda tanya.

Mbuh lah, mosok PO sekelas Pahala Kencana tertular “bad habit” PO-PO tetangganya yang menghalalkan penumpang gelap. Aku pun memejamkan mata untuk tidur, memimpikan besok pagi situasi kantor dan aktivitas pelabuhan telah berjalan normal pasca ledakan kerusuhan antara aparat ketertiban dan warga.

Royal Coach E ini tiba dan berangkat kembali nyaris paling akhir dari Rumah Makan Sendang Wungu, Gringsing. Tertinggal dari kompatriot sesama PK, baik yang departure area-nya dari Bangilan, Lasem, Bojonegoro, Wonogiri, maupun Jogjakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar