Kamis, 10 Juni 2010

Sepeninggal Tragedi Tanjung Priok; Kibar Bendera “PKS” (2)


Hitam dan Merah Adanya…(2)

Puas menelisik TKP, kudatangi workshop kerjaku. Di sini, kemarin sore aku berjibaku menembus rapatnya pagar pembatas areal perusahaan. Tak ingin menjadi mangsa konyol aksi massa yang gelap mata dan membabi buta saat mengejar satpol PP yang berlarian ke kantorku, dengan heroik kupanjat “benteng”setinggi ring bola basket dengan kawat berduri di atasnya, yang bagiku sendiri mustahil bisa melakukannya. Alhamdulillah, aku mampu lolos. Tak terbantahkan, kepanikan membidani lahirnya kenekatan serta keberanian.


Tak kuacuhkan lagi motor yang selama ini kujadikan “kaki” saat bekerja, kutinggal tergeletak begitu saja. Andai dirusak, dibakar atau diambil paksa, aku pasrah. Keselamatan badan tak bisa dibarter dengan apapun, pikirku kala itu.

Namun, dalam pelarianku aku merasa tak sendiri. Selain keluargaku nun jauh di sono, Mas Fathur, Mas Hendra, Pak Didik SS, Cah Ayu, Mas Yudi, Mas Imam dan Mas Andi bergantian menanyakan kabarku lewat pesan tertulis. Inilah yang menyumbang support dan meneguhkan sugesti, aku harus mampu “escape from the chaos”. Satu lagi bukti bahwa “BMC sejatinipun pasuduluran”.

Bersyukur, pagi ini kulihat “my matic” masih utuh, mesti 20 m di dekatnya truk kepolisian, Izusu Elf 120 PS, terpanggang dilumat api. Aku yakin, inilah doa dari BMCers yang dikabulkan Sang Penguasa Jagat, atas keselamatanku dan juga harta titipan-Nya.

Rekan-rekan kerjaku hanya segilintir yang hadir. Hari krida dadakan hanya diisi dengan ngobrol santai, sambil menunggu perkembangan keadaan. Aku pun sudah menyiapkan agenda tersendiri. Bila hari ini tidak ada kabar positif dan aktivitas pelabuhan masih berkabung, nanti siang atau sore ini kuputuskan pulang ke Rembang untuk keperluan mengungsi. (Jauh benar ya?).

Dan, who knows, kengebetan yang sejauh ini kupendam untuk menjajal Pahala Kencana Denpasar terbuka lapang dan bisa terwujud hari ini. (Sinting ya, dalam kekisruhan seperti ini masih sanggup berpikir bus apa yang akan dinaiki…)

Ah, mending main internet untuk membunuh kebosanan. Sepertinya iklim sudah kondusif dan aman-aman saja standby di kantor. Aku mesti mengubur rapat-rapat “niat nakal”ku, mengasingkan diri ke luar propinsi lebih dini.

Kunyalakan komputer…lumayan, pasokan listrik tetap terjaga dan koneksi ke dunia maya tetap lancar, tak terkena imbas tindak penjarahan kemarin.

Tentu saja, pertama yang kubuka adalah milis tercinta, bismania@yahoogroups.com. Sambil membaca email yang ada di inbox, kupantau situasi luar dari kaca jendela lantai 2. Di saat kekalutan menyelimuti suasana hati, aku dibuat terhibur dengan caper Mas Hary saat mblakrak ke Pacitan. (Wah, turing prematur itu Mas, mestinya menunggu saat Kota 1001 Goa disulap Tante Jupe menjadi 1002 Goa. Hehehe… peace ya bagi warga Pacitan….)

Lalu kubaca coretan kepingan luka buah karya Pak Didik SS berjudul tragedi Kalisari, tentang elegi cinta yang layu sebelum berkembang (benar ngga Pak Didik?). Tatkala terhanyut aura magis tulisan sesepuh BMC ini, dan mencoba untuk me-reply, tiba-tiba muncul teriakan nyaring dari bawah…

“Hey…pulang, pulang. Kantor dikosongkan. Mau ada sweeping dari F*R…!!! (nama salah satu ormas)

Entah itu intruksi dari siapa atau isu dari mana, di saat traumatis dan dikungkung “teror psikologis” pasca kerusuhan, omongan apa saja dipercaya keshahihannya.

Aku pun pontang panting berkemas dan bergegas meninggalkan kantor, serentak pula teman-teman yang lain. Kularikan roda duaku sekencang-kencangnya meski jalanan tersendat oleh keriuhan masyarakat yang tak jelas tujuannya. Di mulut pintu keluar, barikade aparat kepolisian sedang bersiap memblokade jalan. Duh, jangan-jangan informasi “hoax” tersebut benar adanya.

Dengan nafas terengah-engah seolah sehabis dikejar setan, menjelang waktu dhuhur, aku pun tiba di kost-an.

“Sudah Pa, pulang Rembang saja. Mosok kantormu memaksa karyawannya masuk kalau masih ribut-ribut begitu…”, saran istriku dengan roman rayuan melalui telepon.

Seketika teringat advice Pak Didik SS via SMS yang dikirim petang kemarin, “Mending besok (hari ini-pen) jangan masuk dulu, Mas!

Dua orang yang aku muliakan inilah yang akhirnya menjadi tukang kompor, memeledukkan kebuntuan labirin pikiranku untuk sementara pamit dari Jakarta, mencari suaka politik di kampung.

Yup, tekat bulat. Langsung packing perbekalan turing, ritual yang bagiku mempunyai kekuatan legalitas setaraf fardhu ain ini. Dan barangkali memang arwah Mbah Priok menggampangkan jalan untuk pulang mudik lebih cepat. Barangkali, inilah “durian kecil yang runtuh” dari tragedi 14 April.

“PK Denpasar berangkat jam 12.00 dari Rawamangun. Pasti dapet yang Marcopolo”

Begitu yang tersimpan di memoriku saat chatting dengan Rayyan BBG tempo hari.

Kulirik jam dinding, 11.48. Aduh, terkejar tidak schedule-nya, padahal berestafet dengan angkutan kota kurang lebih satu jam. Kalaupun naik ojek, setidaknya juga 30 menit-an. Aku seketika gusar.

Sudahlah, bis timur-an dari Rawamangun seabrek-abrek. Kalau pun plan meleset, banyak alternatifnya. Memang tidak mudah mengklopkan antara harapan dan kenyataan di lapangan.

“Pak Eko, antar saya ke Rawamangun ya, saat ini juga. Tolong, tunggu sebentar di Semper…”.

Aku pun memberi job order pada Pak Eko lewat alat komunikasi, tukang ojek langgananku yang biasa mangkal di simpang lima Semper.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar