Kamis, 10 Juni 2010

Sepeninggal Tragedi Tanjung Priok; Kibar Bendera “PKS” (1)


Hitam dan Merah Adanya…(1)

Kamis, 15 April 2010.

Kususuri jengkal demi jengkal permukaan trotoar yang menjembatani perempatan Deli dengan lokasi kantorku. Hampir setiap hari, di jalan yang sama, di saat yang sama dan di lahan yang sama, rutinitas harian yang kulakoni berulang.

Matahari baru terbit sepenggalah. Semilir angin laut lembut menyapa kulit. Langit berwarna biru benhur menularkan aksen teduh di atas perairan Teluk Jakarta. Sementara riak gelombang riuh menciumi break water (pemecah ombak) di dermaga pelabuhan, bersenandung indah membawakan lirik tentang harmoni pagi di belahan utara kota raya.

Keceriaan panorama yang dilukiskan semesta seolah menenggelamkan sebuah tragedi kelam yang belum lama berselang. Episode gegar moral dan cacat perilaku tentang keberingasan anak-anak manusia yang berpikiran keruh menyikapi benturan dalam mempersepsikan kebenaran yang diyakini, kembali mencoreng wajah ibu pertiwi.

Detik ini, hari ini, irama kehidupan ladang pencaharianku berubah begitu drastis dibanding hari-hari yang lampau. Deru truk-truk kontainer yang sedang mengantri masuk ke dalam kawasan pelabuhan senyap tak terdengar. Deretan chasis yang kepayahan membopong paket barang impor berukuran 20 atau 40 feet, menghilang. Praktis, hanya pejalan kaki dan roda dua yang bisa menembus jalan selebar 20 m ini. Krane-krane raksasa menganggur, kegiatan bongkar muat terhenti. Para pelaku bisnis dibekap keresahan, distribusi barang tersumbat. Milyaran income per hari dari jasa sebuah terminal petikemas pun menguap, menjauh dari pundi-pundi profit perusahaan. Karyawan yang biasanya tengah sibuk dengan totalitas dalam menguber target, kini hanya duduk-duduk, jobless, berharap datangnya kejelasan situasi.

Yang tampak di depan pelupuk mataku, sungguh pemandangan memilukan yang tak terperi. Lautan bangkai kendaraan dalam posisi melintang, terguling, dan terbalik, menutup secara total gerbang keluar masuk pelabuhan. Kondisinya luluh hantak, tak lagi utuh berbentuk, serta berjelaga pekat dibumihanguskan sulutan amuk massa.

Bahkan, terlihat obyek kesayangan bus lover, turut jadi korban. Empat buah bus bergelimpangan, seakan sirna sosok gagah dan menawannya ketika melahap aspal.


Alat pelindung diri berupa tameng, tongkat bambu, bongkahan batu, pentungan, helm dan penutup dada bergeletakan di seantero tempat dilupakan tuannya. Ceceran darah yang menggenang mulai mengering, menyebarkan aroma amis menusuk organ penciuman. Serpihan kaca berserakan, mengancam tapak-tapak kaki yang nekat melindas. Di sudut yang lain, pos penarikan retribusi dijarah dan dibakar, ludes tak tersisa. Jalanan beton menghitam, terpapar terik suhu ratusan derajat. Dedaunan tanaman pelindung pucat, menguning dan meranggas tak kuasa melawan jahatnya kobaran si jago merah.

Rabu kemarin, tanah Tanjung Priok berlumur kenestapaan. Kerusuhan yang melibatkan gabungan satpol PP dan polisi versus warga terkait rencana penggusuran makam Mbah Priok, telah memburamkan potret watak bangsa yang penyantun dan menjunjung nilai kemanusiaan. Nyawa-nyawa demikian murahnya dipertaruhkan dengan jargon-jargon pembangunan ekonomi yang kerapkali ditunggangi kepentingan dunia kapitalis. Dan kini, semua mesti menanggung akibat dari pemaksaan kehendak, anti-dialog, premanisme birokrasi dan pola represif dalam menyelesaikan masalah.

“Ya Allah, inilah harga yang harus ditebus oleh blunder para penguasa, yang mengesampingkan kepentingan umat saat hendak menunjukkan ketaatan dan ketertundukkan kepada perintah atasannya?” tolak batinku.

Aku pun tak berhenti melangkah meski rintangan menghalang. Di kanan kiri, titik-titik api masih berpijar, menghabiskan material yang belum sempurna terbakar. Asap tipis kehitaman mengepul ke awang-awang. Belasan orang sibuk mempreteli komponen “mayat-mayat” tanpa dosa, memutilasi puing-puing kendaraan dengan alat seadanya, mengais untung dari ekses huru hara.

Meski bau sisa-sisa kebakaran dan gas air mata begitu menyedak hidung dan memedihkan penglihatan, kuarahkan kakiku untuk melongok makam Habib Hasan bin Muhammad al-Hadad, alias Mbah Priok. Hampir 10 tahun aku “bercocok tanam” di sekitar sini, namun belum sekali pun melihat wujud bangunan yang begitu dikeramatkan oleh para jamaahnya. Harus kutuntaskan rasa penasaran ini, demikian sumbarku.

Sekumpulan orang terlihat menyemut di bawah gapura makam. Sayup-sayup kudengar ceramah yang bisa memantik obor perlawanan dan tentu, bernada provokatif.

“Ini tanah kita. Dan sekarang, milik kita mau dirampok. Jangan sampai mundur selangkah pun mempertahankannya. Wajib hukumnya bagi kita untuk membelanya mati-matian. Itu jihad…”, teriak salah satu oratornya.

Ah, entahlah, siapa yang patut ditunjuk hidungnya atas semua kesalahan ini? Aku terlalu bodoh untuk mengurai akar persoalannya.
[gallery]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar