Kamis, 10 Juni 2010

Sepeninggal Tragedi Tanjung Priok; Kibar Bendera “PKS” (6)


Berlari dengan Napas Tua (2)

Ketidakberdayaan terekam saat memanjat tanjakan Plelen. Meski sudah bagus dalam ancang-ancang, menge-loop dari bawah sembari tangkas mencari celah di antara kendaraan yang hendak mendaki, dan sempat mengasapi Black Kopral Tayu-Ciledug, akhirnya OM366A benar-benar kehabisan napas.

Greeggg…Bus pun menyerah.

Cesss…driver mengaktifkan hand brake, sejurus kemudian mesin off .

“Ya Allah…semoga jangan sampai melorot mundur”, pintaku pada Yang Kuasa.

Semua penerangan dimatikan, hanya lampu hazard yang tersisa. Satu per satu bus lain menyodoknya, diawali oleh si Hitam -- Haryanto Setra Tentrem--, GMS, Merta Sari serta Rosalia Indah Concerto, 274.

Sekitar semenit, bus langsiran medio 90-an berhenti sebelum dipaksa direstart. Beruntung, masih bisa menyala. Dengan perlahan merayap meski dengan hembusan napas yang ngos-ngos-an. Dan sejak drama “jump ball” di tengah permainan, ruang pacu berkapasitas 5900 cc ini kehilangan daya dorongnya.

Di etape menantang, Alas Roban, melemah sudah keperkasaannya, yang tersisa tinggal napas terengah-engah. Bus pun terkesan asal nggelinding, tak ada lagi acara kejar tayang maupun perburuan waktu.

Gerak putaran roda hanya seirama dengan truk-truk angkutan berat, seakan didera keletihan dan kepayahan yang amat sangat.

Ombak biru sedang pasang surut. Hanya jadi pemirsa dan penikmat saat seteru-seterunya menjerembabkan dari top chart reli Pantura malam ini. Haryanto Setra Adi Putro, Gunung Mulia Panorama DX, Shantika Ijo Sprinter, Selendang Ramayana, Handoyo Setra New Armada, Santoso, dua saudaranya, armada PK serta Nusantara NS 01, seakan berkonspirasi menenggelamkannya. Bus super eksekutif inilah yang jadi petunjukku, bahwa parade armada di belakang mulai mendekat jaraknya.

Kuputuskan untuk tidur kembali, dan terjaga saat ada kegaduhan.

Ternyata, tiga penumpang yang kuduga ilegal tersebut beramai-ramai turun di daerah Pemalang. Oh, pantas saja berani mengangkutnya, toh turunnya sebelum check point Kota Tegal.

Kuteruskan beristirahat kembali dan terbangun saat roda bus menapak jalanan rusak di daerah Kertasemaya, daerah perbatasan Cirebon-Indramayu.

Tapi masya Allah, rupanya mimpi buruk belum menjauh dari kenyataan yang tersuguhdi hadapanku. Bus yang nge-line Bojonegoro-Cepu-Kudus-Rawamangun-Pulogadung ini seakan jadi sansak hidup, bertubi-tubi pukulan telak mendarat ke haluan Classis Travego jadoel. Tidak sampai seperempat jam berdiam dalam kehampaan kabin , ditemani erangan mesin, mataku ini jadi saksi keporakporandaan pertahanan “The King” ini. Handoyo RG, PK Central Madura, Handoyo Laksana Comfort serta Dedy Jaya Djibless semakin mengkandaskannya sebagai juru kunci di dasar klasemen akhir.

Ya sudahlah…nikmati apa pun adanya, naik bus adalah satu anugrah indah dari-Nya.


Jam 07.25, perjalanan napas tua berakhir di jalur debarkasi Terminal Pulogadung. Tidak jelek juga, meski dengan total waktu tempuh hampir 16 jam untuk rute Sulang-Rembang-Pulogadung. Namun, dengan kondisi Pantura yang relatif lancar, bagiku tetap merupakan noktah “dosa” bagi PO yang cikal bakalnya merintis trayek Surabaya-Solo ini.

Mengapa aku menganggapnya “rapor merah”?

Karena di parkiran pojok belakang sebelah barat telah penuh sesak bus-bus Kudus-an yang lebih dahulu tiba, yang notabene jam pemberangkatannya di atas “napas tua” ini. Yang lebih mencoreng “prestasi”, saat bertemu Shantika Ijo Sprinter yang melibasnya di Banyu Putih, terjebak macet di Jalan Perintis Kemerdekaan, dengan arah yang berbeda. MB OH 1525 eks PO Dewi Sri Asri itu dalam kondisi putar kepala, dalam perjalanan membawa pelanggan setianya dan menyetor keuntungan bisnis transportasinya menuju Jepara.

Berapa jauh selisihnya dengan kedatangan Pahala Kencana-ku???


Sampai kapankah berkah “nama besar” masih mampu menangguk kepercayaan dari para konsumen, tanpa dibarengi kualitas pelayanan dan ketersediaan armada nan prima?

----

Membandingkan dua divisi berbeda di tubuh Pahala Kencana ibarat membandingkan dua hal yang tak seharusnya diperbandingkan. Meski proses persalinan dari satu rahim, nyatanya divisi Kudus dan divisi Jakarta tidaklah apple to apple untuk disejajarkan. Beda siapa yang menyentuh, lain pula efek rangsang yang diterima.

Sama-sama satu nama, Pahala Kencana, namun laksana datang dari planet lain dan berasal dari tata surya yang lain.

Itulah sekelumit kisahku, berawal dari tragedi Tanjung Priok, akhirnya merasai dua nuansa berbeda antara “adem dan gerah”nya bertamu di meja sekretariat sebuah institusi yang berbendera “PKS”, Pahala Kencana Sejati.

Salam damai bagi PKS…


- Tamat-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar