Senin, 20 April 2009

Kekonyolan; Ekses dari Persaingan Sengit

Semarang-Surabaya merupakan salah satu jalur terpanas dalam kancah bisnis transportasi bis di Pulau Jawa. Indikasi sederhananya bisa dilihat dari interval antar bis yang sempit, tidak lebih dari 10 menit,  dan karakter jalan para pengemudinya yang speed oriented, untuk tidak dibilang ugal-ugalan. Bukan adu jago dalam hal mencari penumpang, melainkan berlomba pula dalam pertaruhan gensi dam reputasi perusahaan.  “Bis di belakang jangan kebagian sewa”, seolah itulah “fatwa haram” yang ditanamkan para owner kepada para kru bis.


 


Namun, dibalik sengitnya persaingan antar PO --khususnya antara Widji Lestari kontra Restu Grup (Restu dan Sinar Mandiri)-- muncul cerita konyol yang terkadang menjadi intermezzo dalam perang Bharatayudha di “Padang Kurusetra” yang membentang dari Kota Lunpia hingga Kota Rujak Cingur.


 


Kejadian ini saya alami sendiri ketika selesai menjajal armada Hino terbaru Shantika tanggal 06 Maret silam. Bermesin RK8 R260 dengan baju New Travego Marcopolo Adi Putro, yang dibenamkan piranti tambahan berupa air suspension di kaki-kakinya. Berhubung Si Ijo Tosca ini tidak melayani trayek sampai ke Rembang, saya turun di Terminal Kudus untuk meneruskan perjalanan.


 


Di dalam terminal, terlihat PO Widji Lestari ATB sedang berhenti. Tak selang lama kemudian PO Restu kelas Ekonomi masuk terminal juga. Dua-duanya ke arah Tuban. Saya ogah masuk ke dalam terminal, dengan alasan saya tidak mau gambling naik bis. Yang saya cari adalah bis yang berangkat lebih dahulu. Saya ingin memangkas waktu yang telah tersita oleh perjalanan bis Jepara tersebut. 12 jam untuk rute Rawamangun-Kudus bagi saya terlalu lama. Maka saya cukup menunggu di dekat pintu keluar.


 


Ternyata PO Restu hanya mampir sesaat untuk membayar retribusi dan langsung melenggang keluar. Dengan sigap saya pun melompat naik, ketika sopir menghampiri setelah melihat lambaian tangan saya. Saya memilih duduk di bangku paling belakang di dekat pintu. (Sepertinya ini hobi Cak Awan…). Dari balik kaca belakang, saya sempat  melihat bis Widji sepertinya tidak terima disalip dan langsung mengikuti dari belakang.  


 


Bisa ditebak, kedua bis langsung terlibat sprint race di sirkuit sentulnya Kudus, yakni jalan lingkar kota, dengan titik start di Terminal Jati hingga garis finish di lampu merah Ngembal (dekat Pool PO Haryanto). Seakan terbayar kekecewaan naik Shantika yang slow but not sure, dibalas oleh goyangan maut sopir Restu. Hasilnya, Setra New Armada PO Widji cukup kewalahan dan akhirnya hilang ditelan asap bis Restu. Lepas dari tugu batas kota Kudus, tensi darah sopir makin memuncak.  Gaya menyetirnya mengadopsi  western rules, berjalan di sebelah kanan. Hehehe…Sopir-sopir angkutan barang yang diblong hanya bisa geleng-geleng kepala. Cukup 30 menit untuk menaklukan jalur Kudus-Pati. It is not only a  bus, it is a rocket bus…


 


Tiba di pertigaan Sleko, Pati, si Ijo dari Lawang Malang pun berhenti untuk ngetem. Maklum, penumpang baru terisi 1/3 dari kapasitas. Mungkin kru juga berpikir ulang, tidak mau memperturutkan nafsu aksi gila-gilaan di jalan tapi minim pendapatan. Toh, bis Widji Lestari jelas-jelas telah tertinggal jauh.


 


Sopir dan kenekpun turun dan ngopi di warung sebelah halte Sleko. Mungkin adrenalin yang “mendidih” memicu rasa haus mereka. Sementara kondektur sibuk menemani controller mengecek tiket dan mencocokkan dengan jumlah penumpang yang ada.


 


Setelah 10 menit bis berdiam diri dalam posisi idle, tiba-tiba kondektur melongok keluar pintu dan teriak, “Heyyy, Widji wis ketok !!!” (Hey, Widji sudah kelihatan). Serempak sopir dan kenek langsung terbirit-birit ke dalam bis. Entah sudah dibayar apa nge-bon kue dan kopi yang telah dihabiskan. Penjaja asongan cepat-cepat menyelesaikan transaksi dengan penumpang karena bis akan berangkat kembali.


 


Buru-buru gas diinjak dalam-dalam, bis langsung “meloncat”. Saya pun ikut mengintip, tampak di belakang seteru abadinya, “Widji Lestari”, yang terhalang sebuah light truck produksi Tiga Berlian dan beberapa kendaraan kecil. Gendeng…Jalur Pati-Juana yang sebagian besar sudah mulus jadi ajang kejar-kejaran. “PO dari Lamongan” itu juga terus membuntuti dari jarak sekitar 25 X panjang truk gandengan. (Hitung sendiri ya!). Wah seru…“Si Putih Biru” ini juga tak mau kalah. Kondektur yang berdiri di belakang terus mengasih aba-aba kepada sopir “Mburi rapet…mburi rapet!!!” (Belakang mulai rapat). Seolah mendapat cambukan cemeti, bis makin kencang melaju. Jangan ditanya soal kenyamanan, yang penting bagaimana bisa kembali meninggalkan bis belakangnya. Penumpang lebih banyak yang terdiam sambil memegang erat kursi di depannya, menahan kengerian. Restu dengan karoseri relatif baru ini pun tak kuasa menghasilkan bunyi-bunyian riuh rendah di dalam kabin.


 


Tapi sayang, masih ada titik perbaikan jalan Pati-Juana sehingga semua kendaraan melambat karena ada antrian. Sopir dan kondektur terlihat pasrah, “Wis, kenek sakiki”, kata kondektur kepada sopir dengan kesal. (Sudah, kita tertangkap).


 


Di belakang, “Bis Widji” lambat laun mendekat. Sekonyong-konyong, kondektur berteriak kembali, “Eh dudu, bis Lorena. Sepurane Cak !!!” (Eh bukan, Bis Lorena. Maaf…). Karena penasaran saya pun berdiri. Hahaha…ternyata LE 440 Jakarta-Jember yang kesiangan. Pantas saja dia ikut “ngebut” karena jamnya pun molor.


 


Para penumpang pun tertawa terbahak-bahak. Sopirpun hanya berteriak bernada umpatan dengan logat Jawa Timur-an.”***cuk, tiwas ngebut, tibakke dudu Widji”. (Tiwas ngebut, ternyata bukan Widji).


 


Persaingan terkadang membutakan mata…

2 komentar:

  1. waduh...sampean iku numpak bis koyok ngombe es teh..meh sakbendino be'e...
    emang saiki jalur semarang - surabaya ruame...beda waktu aku masih kuliah dulu..kalo mau cepet ngantrinya harus diluar terminal smg...soale kalo di dalam pasti ditolak kalo cuma turun rembang..dan penumpang rembang sudah pasti..BERDIRI..

    BalasHapus