Senin, 20 April 2009

Tak Selamanya Sarkawi itu Indah (III)

Voice from The Sky, “Say No to Sarkawi”


 


Minggu pagi menjelang siang (01/03) di Terminal Rembang


“Bu, pesan tiket Sumber Urip ke Pulogadung buat nanti sore ya!”, kataku kepada seorang ibu penjaga loket Tri Sumber Urip.


“Mau yang jam berapa Mas,  4 apa 5?”


 


Wah…ternyata ada bis yang lebih malam berangkatnya dari Rembang. Lumayan, menambah sedikit waktu di rumah, mengganti kerugian kemarin yang dirampas kerusakan jalan pantura.


 


“Yang paling sore saja ya Bu. Dapat bis yang baru ngga Bu?”


“Tergantung Mas, bisnya sering diputar-putar antara trayek Tuban-Jakarta dan Bangilan-Jakarta. Yang jam 5 bis dari Tuban”


“Pesan satu ya Bu. Harga tiket berapa?”


“Seratus Mas, dapat makan”


 


Sorenya, tepat pukul 17.15, dia datang kembali. New Travego Morodadi Prima K 1548 AD, bermesin Hino. Ini bis yang tempo hari menjadi ajang transaksi haramku dengan kru. Tepat sasaran…aku bisa menebus dosaku dengan kebaikan di tempat yang sama.


 


Kondisi bis hampir penuh penumpang. Dan menurut penumpang sebelahku, sambutan para calon penumpang di daerah Tuban terhadap Tri Sumber Urip cukup baik. Bis asal Karangturi, Lasem ini memberikan alternatif perjalanan yang murah tapi tidak murahan. Harga tiket “hanya” Rp.140.000,00 dari Tuban, selisih jauh dengan tiket bis-bis pendahulunya seperti Pahala Kencana, Kramat Djati dan Lorena, yang menawarkan harga menyentuh angka dua ratus.


 


Demikian pula dengan penumpang daerah Juana. Bis ini favorit sebagai “angkutan ekspedisi” barang-barang hasil kerajinan kuningan dan tembaga, yang dibawa ke Jakarta dan sekitarnya. Disamping harga ekonomis per koli-nya, kru Tri Sumber Urip pintar mengambil hati para pengusaha home industry kuningan yang tersebar di daerah Juana. Selama puluhan tahun, hampir tidak pernah ada barang paket yang bermasalah bila dibawa oleh bis ini. Mereka terpuaskan atas pelayanannya.


 


Tiba di salah satu rumah makan di seputaran Gringsing, saatnya penumpang untuk menukar kupon makan malam. Saat menyantap menu ala Rumah Makan Kota Sari, kulihat sebuah bis Tri Sumber Urip, saudara kembar bis yang aku naiki, teronggok di pojok rumah makan. Sama-sama berkaroseri Morodadi Prima New Travego. Tak tampak tanda-tanda kehidupan di dalamnya. Sehabis makan dan menunaikan sholat, kucoba kudekati bis “mati” ini.


 


Ya ampun… bis berplat nomor K 1580 AD ini bagian depannya hancur berantakan. Kaca besar, lampu-lampu utama, TV LCD 19’, spion dan aksesoris smiling lamp pecah, serta bodi depan tak berbentuk lagi.


tsu-laka


Sedang asyik “mencumbui bangkai” ini, tiba-tiba datang menghampiri seorang kru Tri Sumber Urip yang begitu akrab aku kenal. Beliau adalah Pak Yusman, driver yang aku dan Mas Fathur pernah temui di Terminal Pulogadung, yang malam itu bertugas menjadi menjadi sopir pertama.


 


“Pak, apa yang terjadi dengan bis ini?”, tanyaku penuh selidik.


“Kecelakaan beruntun di Banyu Putih Mas. Ada truk menyundul belakang bis Rajawali, dan karena jarak kurang aman, bis ini menabrak truk naas itu”, kata Pak Yus, sopir yang sudah 25 tahun menjadi pengemudi bis, yang merintis profesinya di PO Artha Jaya.


 


Masya Allah…tiba-tiba terlintas dalam ingatan tentang kecelakaan yang terjadi hari Sabtu pagi di tanjakan Banyu Putih. Jadi Si Ungu ini pun terlibat di dalamnya. 


 


“Bis ini berangkat dari terminal mana Pak?”


“Pulogadung Mas”


“Ah…Jumat sore tidak ada bis Tri Sumber Urip dari Pulogadung Pak. Saya sampai jam 6 sore menunggu, nihil Pak”, tungkasku.


“Ada kok Mas. Bis ini keluar terminal jam setengah tujuh, berhubung penumpang sepi”


 


Astaghfirullah…andai aku “bersabar” 30 menit lagi menunggu, bisa jadi aku naik bis celaka ini. Andai garis Tuhan tetap seperti skenario awal, aku pasti turut di dalam kecelakaan Alas Roban. Berapa banyak lagi waktuku terbuang percuma di jalan. Betapa susahnya terlunta-lunta di jalanan, sementara tujuan akhirku masih jauh. Andai hingga aku mengalami cedera fisik, ah…ngeri membayangkannya.  


 


Seketika air mataku berlinang.


 


Ya Allah...Engkau masih menyanyangiku, dengan memberi teguran lembut. Aku memang tidak Engkau ridhoi untuk berkolusi dengan kru. Engkau tak merestui transaksi abu-abu antara aku dan kenek. Engkau menyadarkanku, bahwa tak selayaknya aku menjadi sarkawi. Langit-Mu telah menggemuruhkan suara berisi peringatan.Sekarang bola di tanganku, berani tidak aku selanjutnya berkata “Say No to Sarkawi”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar