Rabu, 01 April 2009

Pak Naim, Berkah Setetes Air Legen (1)

Menepis Mimpi, Membuka Hari


Tatkala kokok ayam jantan saling bersahutan membangunkan fajar untuk membuka pintu menyambut tibanya pesona pagi. Dan gaung kumandang ayat-ayat suci dari pengeras suara Musholla Nurul Huda mendayu-dayu ke setiap sudut dusun Dologan nan permai hingga menembus dinding hati setiap insan yang mendengarnya. Seolah rangkaian kata-kata rayuan mesra dari langit bagi yang beriman untuk bersegera bersimpuh di hadapan sang Khalik. Bergegas pula Pak Naim beranjak dari pembaringannya nan hangat. Diusirnya aura kemalasan, diagungkannya nilai ketakwaan, ditinggalkannya mimpi indah namun sejatinya semu, bergegas menuju kiwan nan sederhana di belakang rumah, untuk membersihkan badan, berwudhu mensucikan diri.  


 


Lalu dipakai busana religiusitasnya,  baju koko hijau pupus, polos tanpa ornamen, dipadu bawahan sarung tenun warna putih dengan corak lembut garis kecoklatan, yang warnanya pun mulai memudar dimakan guliran waktu. Disematkannya di atas kepala peci putih  favoritnya, yang berbahan rajutan  benang-benang yang direnda secara apik oleh pembuatnya. Dan tak lupa dibelitkannya surban merah maroon barunya di leher, surban tanda cinta dari istrinya.


 


Langkah kakinya pun diarahkan ke musholla yang tak seberapa jauh dari rumah. Bangunan peninggalan leluhur bumi Dologan, yang belum lama ini selesai dipugar. Muadzin pun melafalkan kalimat adzan, memanggil setiap hamba Allah untuk cepat-cepat memenuhi shaf musholla yang masih kosong, yang biasanyapun hanya dua baris yang terisi. Sembari menunggu sebagian jamaah mengerjakan sholat sunah fajar, disambungnya  dengan menyanyikan syair-syair lagu pujian buat pemimpin agung yang  dijunjung umat Islam, Nabi Muhammad SAW.


 


Semenjak ditunjuk menjadi imam musholla, sudah menjadi kewajiban Pak Naim untuk mengemban amanah menjadi warasatul anbiya, pengayom kaum muslimin muslimat di kampungnya. Dijadikan panutan dan teladan, sandaran pertanyaan masalah keagamaan, atau konselor problematika hidup warga Dologan. Pemimpin spiritual. Beliau merupakan etalase berjalan seorang hamba Allah yang berbalut baju keislaman nan tebal. Di kala goda dunia makin nyata adanya, hanya ulama-lah yang mampu mengingatkan dan membimbing umatnya dengan petuah bijak dan kata-kata penyejuk. Tak terkecuali di ambang pagi ini, kakek satu cucu ini memikul tugas menjadi imam sholat shubuh di musholla tempat masa kecilnya belajar mengaji, yang dari namanya bermakna sang cahaya petunjuk.


 


Semuanya larut dalam kekhusyukan ibadah sholat shubuh yang dipimpin pria paruh baya ini. Disempurnakan dengan dzikir panjang sesudahnya, ngudo roso mencurahkan isi hati di altar Sang Pencipta, penuh doa dan pengharapan agar dimantapkan niat mengisi hari ini dengan amal ibadah, dilapangkan  jalan penghidupannya, dikaruniai kesehatan lahir dan batin serta dianugrahi keberkahan hidup.  


 


Saat mentari mulai meninggi dan sinarannya mendatangkan terang bagi bumi, Pak Naim pun bersiaga menjemput jatah rejeki. Ditanggalkannya baju dan sarung simbol pengakuan sebagai hamba yang lemah, terkecuali peci putih kebanggaan, oleh-oleh adik iparnya dari tanah Arab, berganti kaos oblong nan usang, bercelana kulot hingga batas bawah lutut,- lengkap dengan rokok kretek dan korek api di sakunya-, yang seakan menjelma menjadi pakaian dinasnya hari ini


 


Diraihnya belasan bumbung-bumbung bambu kosong tanpa isi yang teronggok di dapur, disatukan menjadi dua bagian agar pikulannya sanggup membawanya secara seimbang. Tak ketinggalan arit kecil yang telah direkayasa menjadi pisau tajam dan seutas tali made in sendiri berbahan  daun lontar yang dipilin hingga padat, singset dan kuat sebagai alat bantu panjat nantinya, dimasukkan ke dalam salah satu bumbung. Lengkap sudah peralatan yang dipersiapkan untuk ‘berperang’, menggugurkan kewajiban menafkahi keluarga.    


 


Dengan tumpuan pundak yang terlihat masih kekar di usianya, ditentengnya sejumlah potongan ruas bambu petung yang telah berubah wujud menjadi bumbung dengan sebatang pikulan dari bongkotan pohon bambu. Sebatang rokok terjepit di sela bibirnya yang hitam sembari dihisap dalam-dalam dan sejurus kemudian dihembuskannya secara kuat-kuat asapnya untuk membuang kejenuhan rutinitas. Ditapakinya rute tanah berbatu dengan kaki-kaki telanjangnya menuju lahan pencahariaan, yang terhampar di pojok dusun. Jalur setapak yang dilewatinya tiap hari seperti dipayungi rimbunnya rumpun bambu yang menguasai  kerajaan flora di kanan kiri jalan. Sebagian batang hijaunya nan panjang melambai hampir berebahan, tak kuasa melawaan kencangnya terpaan angin.  Dan bunyi gegesekan antar batang bambu akibat hempasan udara yang mengalir, diiring senandung kicau burung-burung emprit dan tekukur yang berloncat-loncatan di dahan jati, menciptakan simponi musik kampung nan merdu merindu, menggambarkan suasana pagi yang riang di ujung jalan desa.


 


Jangkauan langkah Pak Naim pun terhenti di pematang yang tak rata. Dipandanginya ladang luas miliknya yang garing kemringking pertanda kemarau sedang puncak-puncaknya. Tanah pun nelo-nelo, seakan menyerah melawan sengatan panas  matahari yang membakar. Rumput-rumput pun tampak kuning layu, merana, mengiba kepada cucuran rinai hujan, dan seketika pula Pak Naim teringat akan ternaknya di kandang. Sedih membayangkan nasib tiga ekor sapinya, yang hanya mendapat asupan makanan ala kadarnya. Hanya jerami kering residu panenan padi kemarin, dan terkadang diimbuhi daun pohon pisang sebagai tambahan vitamin, agar hewan kesayangannya bisa survive mengarungi musim kering yang diperkirakan akan berlangsung lama.. Berkali-kali Pak Naim menghela nafas, mengusap keringat yang membahasi wajahnya yang mulai keriput, mengusir hawa panas meski pagi baru saja memulai peredarannya. Seolah semua yang tampak di depan matanya adalah korban bisu dari ganasnya efek degradasi lingkungan.


 


“Hidup jangan mudah menyerah Dik. Derita karena alam bukan tanda Tuhan tak sayang abdi-Nya, petaka kecil seperti ini bukan untuk diratapi, justru harus menambah rasa syukur. Ini adalah ujian tak tertulis dari Gusti Allah, untuk menilai seberapa besar kualitas penghambaan awakke dhewe. Yakin ae, dibalik kesulitan, pasti ada kemudahan, selama kita berpegang teguh kepada simpul ajaran-Nya. Kita makhluk yang sempurna, kita dibekali akal, pasti ada jalan keluar selama kita mau berpikir ”,  itulah nasehat arif yang dilontarkan Pak Naim sewaktu aku temui di ladangnya.

1 komentar:

  1. cerita yg sungguh menarik. bersambung ya?? lanjutt...
    terima kasih kontribusinya..

    BalasHapus