Rabu, 01 April 2009

Pak Naim, Berkah Setetes Air Legen (3)

Selaksa Makna Air Legen


Peluh keringat yang membanjiri permukaan kulitnya tak dirasakan, keletihan dan kepenatan tak dihiraukannya, dan bayang-bayang kekhawatiran bahwa rejeki yang diterimanya hari ini tidak halal tak bakal menghantuinya.  


 


Hanya senyum mengembang mengisyaratkan kebahagiaan menyaksikan belasan bumbung-bumbung yang telah penuh terisi air legen yang seolah menjadi saksi buah kerja keras dan keikhlasannya menjalani profesi yang terkadang dipandang sebelah mata.


 


Matahari telah di sepertiga perjalanannya. Pak Naim pun beranjak pulang, memikul beban berat puluhan liter air legen. Dalam benaknya membayang, betapa Maha Pengasih Dzat Yang di Atas. Mendiam di bumi Dologan nan gersang, di saat sawah dan ladang cuma jadi pengangguran, dibelenggu krisis air bersih sehingga seteguk air menjadi barang yang tidak murah, di tengah ketidakpastian kapan mongso labuh akan datang, seakan air legen menjadi dewa penolong, penyumbang materi yang sebelumnya seret bahkan mampet karena ketiadaan panenan padi maupun palawijo, penyambung kelangsungan denyut nafas kehidupan Pak Naim sekeluarga. 


 


Sesampai di rumah, istrinya yang sedari tadi setia menunggu segera menyambut ‘oleh-oleh gratisan’ Pak Naim dengan wajah berbinar. Kolaborasi nan indah sebuah household relationship, mencitrakan keharmonisan dan kemesraan rumah tangga Pak Naim. Oleh Bu Naim,-yang terbiasa dipanggil Mbah, panggilan kesayangan dari pak Naim-, dituangnya air legen ‘sejuta makna’ ini ke dalam wadah kuali secara perlahan-lahan, agar tidak berceceran untuk menghargai hasil kerja suami, dicucinya hingga bersih bumbung-bumbung yang habis terpakai untuk persiapan Pak Naim menek kembali nanti sore. Dan Pak Naim pun mengisi waktu luangnya dengan sejenak beristirahat, momong putu, mengurus ternaknya, ndarus Al Quran dan mengaji atau sekedar tilik-tilik tegal, karena di saat musim kemarau seperti ini, tak banyak yang bisa dikerjakan di sawah ladangnya.


 


Tak lama kemudian, Lek Sukir, tetangganya dari Dusun Ngemplak, muncul di depan pintu, kulakan air legen hasil ladang Pak Naim, dibarter dengan sekian lembar uang rupiah, untuk nantinya dijual ke kota, menyusur pasar komunitas legeners yang tersebar luas di Blora, Cepu, Juana, Pati, Kudus, Jepon, Japah, Wirosari, Randublatung bahkan sampai ke Ngawi.


 


Dari hasil usaha sampingannya ini, Pak Naim pantas dijadikan guru kehidupan. Bagi kita mungkin jumlah rupiah per harinya tak seberapa. Namun bermodal sikap bersahaja, sabar dan nrimo menjalani hidup keseharian, gemi lan nastiti, disisihkannya sebagian hasil transaksi air legennya, sedikit sedikit lama-lama membukit, hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun, dan berkat ke-Maha Kasih dan Maha Sayang dari-Nya, hingga akhirnya Pak Naim diundang bertandang ke bumi Mekah, menjadi tamu Allah,  menyempurnakan rukun islam kelima di tanah suci,  diangkat derajatnya, naik pangkat menyandang gelar seorang haji, di tahun 2000 silam. Hal yang tak pernah diangankan Pak Naim bakal kesampaian, namun bila Gusti Kang Murbeng Dumadi berkehendak lewat setetes air legen, siapa yang tak bersukacita menyambut uluran tangan-Nya.  


 


Inilah potret kehidupan seorang penyadap air legen, yang menyiratkan sebuah pelajaran bahwa selama kita taat, manut dan munduk-munduk kepada-Nya, pandai sebagai hamba yang tak pernah putus mengucap kata syukur, di mana, kapan saja dan kondisi apapaun, bakal ada jalan rejeki yang tiada terduga, sebagai penggenap keberkahan perjalanan hidup manusia.


 


 


Thanks for all Pak Naim, you’re my inspiration,  teacher of my life…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar