Senin, 20 April 2009

Tak Selamanya Sarkawi itu Indah (II)

Karma itu Kejam


Setiba di terminal yang terletak di Jalan Perserikatan No.1, tinggal bis-bis plat K yang mendominasi.  Setelah kubayar si penjaja jasa ojeg, bergegas kumenuju loket Nusantara. Wajah “awu-awu” resmi PO Shantika tersenyum melihatku berjalan terburu-buru.


 


Ngga naik bis-ku Mas”, candanya, karena dia tahu aku hanya mau naik bis Jepara ini jika kehabisan tiket-nya Pak Hans.


 


Tiba-tiba petugas tiket PO Senja Furnindo menghentikan langkahku.


“Mas, Kudus cepek, dapat makan!”


“Haa…murah banget? Mana ini hari Jumat lagi”, gumamku.


“Benar Mas, Kudus dan Pati sama”, nyerocos dia untuk meyakinkanku, dan jari tangannya siap menuliskan namaku di selembar tiket.


“Mas, begini saja. Aku sebenarnya mau ke Rembang. Aku tanya ke loket Nusantara dulu. Kalau habis, aku beli tiketmu. Oke!”, jawabku untuk menurunkan tensi agresifnya.


 


Hmm…pasti ada something wrong sampai tiket bis dijual murah. Pasti penumpang sedang sepi. Yup…dan pasti tiket NS 19 masih ada yang dijual. Hatiku melonjak kegirangan.


 


“Mbak, ke Rembang satu ya”, pintaku pada Mbak Delima, ticketing girl from Medan.


“Masih banyak kursi kok Mas. Pilih yang mana? Tiket juga turun Mas, cukup seratus lima belas saja”.


Nah, benar kan? Penumpang sepi, tiketpun turun.


 


Kuambil seat no. 26, untuk menyusuri long road Rawamangun-Rembang bersama NS 19, bermesin “Raja Singa” K 124 IB. Berhubung kursi nomor 7 kosong saat pemberangkatan, akhirnya kupindah ke depan. Dengan harapan, pandanganku lebih luas ke depan, siapa tahu nanti di jalan bertemu Blue Star yang membawa rombongan BMC ke Jogja. Hehehe…


 


Namun, perjalanan dengan HS 151 kali ini kurasa menjemukan, sama sekali tak istimewa. Mungkin aku lelah hati dan kecewa mendalam dengan kegagalanku mengecap kembali Si Ungu La Viola. Bahkan kemacetan parah akibat perbaikan jalan di daerah Losari menghambat laju NS 19, jam 03.30 dinihari “baru” sampai Brebes. Semakin menjadi-jadi kekesalan dalam hati. Buyar sudah harapanku untuk segera segera bertemu putriku lebih cepat, dan kususun ulang rencana pertemuan dengan mitra kerja di kampung.  Lebih banyak kuhabiskan waktu di dalam bis untuk merenung dan berkontemplasi, menenangkan diri dan berpikir jernih. Bahwa tak selamanya sarkawi itu indah.


 


Andai aku tadi naik bis langgananku, Nusantara Pulogadung, tentu tak begini jadinya.  Andai aku memilih menjadi penumpang resmi, tentu tak perlu repot pontang panting ke sana – ke sini. Penyesalan pasti datangnya di akhir cerita. Huh…aku tak perlu meratap, toh keputusan apapun yang aku ambil, aku harus siap dengan konsekuensinya.


 


Aku bertekad, akan kubayar kekhilafanku nyarkawi di Tri Sumber Urip.


 


Bila kita berbuat salah di satu tempat, tutupilah dengan berbuat kebajikan di dalamnya.


 


Begitu petuah bijak guru mengaji-ku di kantor. Nanti pas perjalanan balik ke Jakarta, aku akan berbaju legal naik Tri Sumber Urip. Yes, I can


 


Jam 05.30, lalu lintas merayap lagi di tanjakan Banyu Putih Alas Roban. Sebuah truk Mitsubishi Colt Diesel 120 PS menumbur dengan telak pantat bis Rajawali Bandung-Solo. Saking kerasnya hingga moncong truk ringsek, terlipat, seolah menyatu dengan baknya. Hanya tinggal kendaraan yang masih di TKP, para korban tampaknya sudah dievakuasi. Praktis cuma satu lajur ke arah Semarang yang bisa dilewati.


 


Ku-SMS Mas Fathur untuk menanyakan posisi Blue Star, dan ternyata telah sampai di Gombong, setelah rombongan BMC memutuskan untuk lewat jalur selatan. Sebuah pilihan yang tepat. Jika saja lewat pantura, bisa-bisa tengah hari baru tiba di Jogja.


 


Jam 10.30, NS 19-ku mendarat di Kota Rembang. Ck ck ck…hampir 15 jam. Nuansa perjalanan hari biasa serasa arus mudik lebaran.


 


Karma yang kejam untuk membayar secuil niat menjadi seorang sarkawi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar