Senin, 20 April 2009

Tak Selamanya Sarkawi itu Indah (I)

Jalan Buntu


Sudah hampir satu setengah jam aku hanya berdiri terpaku di emperan sebuah counter HP, di sebelah pool PO Dewi Sri, Pulogadung. Makhluk idamanku belum tampak juga batang moncongnya. Aku begitu melambungkan angan-angan dan bahkan sampai berani mempertaruhkan diri untuk kembali ke lembah sarkawi, dengan harapan mendapat armada Tri Sumber Urip yang berbalut baju Jupiter Tentrem. Aku tak mau repot ke Terminal Pulogadung, lebih banyak ribetnya daripada dapat mudahnya.  Jadi bukan hanya alasan dana pas-pasan seorang menjadi benalu transportasi, menyandang status sarkawi.


 


Sosok Setra Adi Putro Pahala Kencana New Butterfly Pulogadung-Bangilan, tak membuatku tergerak untuk menghentikannya. Disusul Karina Old Travego Adi Putro KE 530 Pulogadung-Sampang yang seatnya masih banyak tak laku, tak memalingkan mataku untuk meliriknya. Dan terakhir Sido Rukun Pulogadung-Blora berkaroseri Setra Piala Mas, --Pak Sopir sampai memberi kode dengan lampu dim ke arahku--, tak menggoyahkan pendirianku untuk menggenggam mimpi yang masih semu.


 


Jarum waktu tinggal berjalan 5 menit lagi untuk menggenapkan menjadi pukul 18.00 WIB. Keringat dingin mulai mengucur di dahiku, menunggu “kekasih baru” tak kunjung datang.


 


“Mas, kalau jam segini bis ke Kudus sudah tak ada lagi. Tinggal bis-bis Cirebon dan Tegal”, kata anak muda penjaga counter, yang seakan lebih tahu jadwal bis daripada petugas terminal Pulogadung.


 


Cepat-cepat kuhubungi teman komuterku,-yang apesnya,- sedang tidak berencana pulang ke Blora.


 


“Pak San,  sampai jam segini kok Sumber Urip ngga ada ya Pak”, tanyaku gemetaran.


“Oh iya Pak Edhi, kalau ngga ada, biasanya bisnya dipakai buat wisata. Tapi coba tunggu sebentar lagi, siapa tahu jalanan macet”, jawabnya.


 


Duh…semakin ciut nyaliku untuk menanti sebuah ketidakpastian. Teringat anakku yang masih butuh recovery pasca sakit, pasti menunggu bapaknya besok pagi lekas sampai di rumah. (Hal ini yang menggagalkan rencanaku turut Famgath Bismania Community di Jogja). Belum lagi ada rekan bisnis mendadak mengajak janjian bertemu di Sabtu pagi, yang berarti time is money (beuh…lagaknya). Bagaimana aku bisa mengejar waktu kalau menjelang malam begini belum mendapat bis yang membawaku pulang ke Rembang?


 


“Pak, tolong antar saya ke Rawamangun”, suruhku pada tukang ojeg yang mangkal di samping pool Garuda Mas.


 


Aku harus berpikir pragmatis dan bertindak cepat. Kutanggalkan perhitungan spekulatif. Kincir raksasa agendaku berubah 360 derajat. Nasibku kini kusandarkan di punggung Terminal Rawamangun. Kukembangkan “isi dompetku” menghadapi pilihan sulit. Alamak…ini juga hari Jumat menjelang weekend, alamat tiket Nusantara NS 19 sudah full booked. Sudahlah…apapun yang terjadi di Rawamangun, harus aku hadapi. Hampir delapan tahun menggelandang di jalanan, apa yang mesti aku takutkan.


 


Sejengkal lagi ufuk barat akan menenggelamkan raja siang, pertanda hiruk pikuk kehidupan malam akan segera di mulai. Rencana sarkawi-ku menemui jalan buntu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar