Rabu, 01 Juli 2009

BMC Jelajah Bumi Rembang (1); Geliat PO-PO Kota Garam

Hawa segar semilir angin dari puncak Argopuro dengan ramah menyapa rombongan Bismania Community (BMC) saat menjejakkan kaki di pusat kota Lasem.  Kota kecamatan di sebelah timur Kota Rembang ini sengaja dipilih sebagai tujuan kunjungan BMC, karena Lasem turut memberikan andil sejarah bagi perkembangan dunia transportasi darat di tanah air. Kota yang berjuluk “Litle Cantoon”  merupakan tempat kelahiran PO yang cukup legendaris, yaitu PO Artha Jaya, PO Indonesia, PO Kaloka serta PO Tri Sumber Urip, disamping angkutan ekspedisi, Hasil Lasem.  


 


Berawal dari chatting room antara penulis dengan Mas Hary Budi Wijaya saat membahas caper Ada Cerita dari Balik Gubuk Derita, akhirnya terbesit niat kami berdua untuk “mengetuk pintu”, bertamu ke pool PO Tri Sumber Urip (TSU). Bukan hal yang sulit, sebab arek Suroboyo ini memiliki kemudahan akses dengan owner TSU karena tidak lama lagi Mas Hary akan menjadi bagian dari keluarga besar PO TSU.


 


Setelah mendapatkan permit dari pemilik TSU, meski “proposal kunjungan” hanya secara lisan, kami sepakat menaikkan acara dadakan ini menjadi agenda kegiatan BMC, khususnya BMC Jateng Utara (Jatut). Bak gayung bersambut, Mas Ferry selaku Ketum BMC Jatut merespon dan memasukkan kunjungan ke TSU ini sebagai gawe resmi BMC.


 


Berdasar persetujuan dari pihak TSU, acara ini  dihelat pada hari Minggu, tanggal 14 Juni 2009.


 


Tri Sumber Urip, “Survive” Berkat Persaingan


 


Pintu gerbang bercat hijau pudar seakan hangat menyambut langkah kaki kami ketika memasuki areal pelataran pool TSU yang berada di pinggir daerah pecinan, Karangturi, Lasem. Sebelumnya kami sempat diwanti-wanti Bapak Paryono-selaku pemilik TSU- via Mas Hary, bahwa kemungkinan besar kami kurang beruntung menangkap fisik armada TSU karena sowan kami menjelang musim liburan sekolah, sehingga banyak bis yang di-charter wisata. Namun, Dewi Fortuna memayungi kunjungan kami. Tampak tiga armada TSU sedang standby, masing-masing bis bumel Lasem-Semarang yang dikaryakan sementara untuk pariwisata berbaju Laksana tipe Panorama, bis AKAP Tuban-Jakarta berwajah Sprinter produk Laksana dan “Si Pinky” dengan kostum Jupiter Li sentuhan Karoseri Tentrem.


 


Pertama kali, kami diterima oleh Om Ang dan Pak Kasimin, yang berprofesi sebagai mandor lapangan. Dalam acara ramah tamah dengan wakil TSU, kami mendapatkan informasi bahwa sekarang ini, kekuatan armadanya mencapai 40-an unit, meliputi 18 unit bermesin Hino baik dari generasi AK, RG hingga RK8 dan selebihnya Mercedes Benz, mulai era OH King, OH Intercooler dan “armada generik”, XBC-1518. Bahkan, Om Aang membeberkan berita, bahwa TSU sedang menunggu kiriman chasis MB 1525 dari pihak dealer MB.


 


Keponakan dari owner TSU juga menambahkan, saat ini pengoperasian bisnis angkutan bis tinggal menyisakan trayek bumel Lasem-Semarang, AKAP Bangilan/Tuban-Jakarta serta divisi pariwisata.


 


Tak berselang lama, seorang Bapak nan bersahaja datang dengan sepeda motor butut. Penampilannya pun sederhana, mengenakan kaos kasual dan beralas kaki sandal jepit. Kami dikenalkan Pak Kasimin, bahwa beliau adalah Bapak Paryono. Kami tak menyangka, sungguh low profil, sederhana dan jauh dari kesan seorang bos PO.  Beliau tak segan berbaur dengan karyawannya di pool dan turun langsung di lapangan.


 


Setelah berjabat tangan dan perkenalan, kami pun menjelaskan maksud kunjungan, mempromosikan BMC dan menjalankan salah satu misi BMC yakni menjalin kerjasama dan berpartner dengan para pemilik PO. 


 


Bapak Paryono, yang kerap dipanggil Koh Tho (baca : do) dengan antusias menjamu rombongan BMC.


Owner TSU





 

“Saya kaget saat Mas Hary menyampaikan rencana, dia dan teman-temannya berkunjung ke TSU. Ya…maklum, kondisi pool kita acak-acakan dan kotor begini. Jauh dari bayangan teman-teman Bismania, pool yang bersih, rapi dan tertata. Kita sedang melakukan renovasi bangunan ini. Harapan saya, semoga nanti saat kunjungan berikutnya, pool ini semakin cantik”, paparnya dengan gaya bercanda.


 


Seperti yang dituturkan, awal rintisan usaha TSU adalah bisnis angkutan truk barang yang didirikan oleh ayahanda Koh Tho. Pada tahun 1976, oleh Koh Tho, perusahaan ekspedisi dilebarkan sayapnya merambah usaha angkutan bis dengan nama PO Sumber Urip. Armada yang dipunya saat itu adalah Ford tipe D yang berbodi kayu dan melayani jurusan Kudus-Surabaya.  Jalur Pantura kala itu masih sepi dari hingar bingar persaingan bis. Kompetitornya hanya PO Marsadam, Indonesia, Adam dan Kaloka. Semua bis hanya beroperasi siang, karena belum jamak lumrah penumpang bepergian malam hari. 


 


Langkah selanjutnya adalah penambahan armada dengan Mercy LP 911. Termasuk saat di-launching OF 1113, TSU termasuk PO pertama yang  mencicipi.  Tak bisa dibantah, saat itu TSU boleh berbangga diri, karena inilah PO dengan trayek pendek pertama yang memakai mesin buatan Jerman dilengkapi dengan pendingin udara. Lebih maju selangkah dibanding dengan PO Artha Jaya, bis malam Lasem-Jakarta, yang belum mengaplikasikan Air Conditioned (AP). Dengan tambahan armada ini, trayek baru pun digulirkan, yakni Lasem-Tegal. Puas mencicipi armada Mercedes Benz, di tahun 1982, TSU mencoba pertaruhan dengan melirik Mesin Hino seri mesin BX.


 


“Sejak itu, kita hanya mengandalkan mesin Hino dan Mercy. Dahulu, saya sengaja mengadu dua mesin ini, dan kesimpulannya, ada nilai plus serta minus. Demikian pula untuk urusan karoseri. Kami telah merasai buatan Morodadi Prima, Laksana, Tri Sakti dan Tentrem. Tentu dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing.  Kami tengah menjajaki karoseri Rahayu Sentosa untuk unit teranyar. Yang saya dengar, pengerjaannya tidak terlampau lama dan secara model, saya juga suka, luwes dan elegan, apalagi yang model Evolution. Kami ingin, sebelum lebaran, armada baru kami sudah siap”, ujarnya berbagi ilmu dan wawasan secara terbuka kepada BMC, berbekal pengalaman selama 30 tahun lebih menangani PO kebanggaannya.


 


Seiring berjalannya waktu, PO-PO bermunculan dan karena kekurangsinergian antar propinsi dalam  pengaturan jam keberangkatan bis dari terminal, membuat persaingan trayek Kudus-Surabaya tak terkendali.


 


“Contohnya bis saya yang telah mendapatkan prime time, jam-jam bagus. Tahu-tahu PO dari propinsi lain mendapatkan trayek dengan jam yang nyaris sama, bahkan hanya beda satu menit. Kita dipepet depan belakang secara rapat, sehingga feeling saya, terjadi persaingan tidak sehat. Apalagi TSU ini terhitung PO kecil, sehingga susah bertahan dalam desakan PO besar. Senasib pula dengan bis bumel Lasem-Semarang sekarang ini, yang tak kebagian penumpang. Semua diseser bis AKAP Surabaya-Semarang. Kami tetap paksakan jalan, karena saya juga harus memikirkan nasib kru bis. Soal keuntungan tidak perlu dibicarakan,” kenangnya dengan ekspresi muram.


 


“Akhirnya kami memutuskan menutup trayek Surabaya dan membuka trayek Jakarta di akhir tahun 1990. Dan nama Sumber Urip kita imbuhkan kata Tri di depannya, menjadi Tri Sumber Urip. Sebagai penanda, tahun itu kita tampil dengan semangat baru. Itupun sebenarnya langkah nekat, karena jalur tersebut juga telah dijejali trayek PO lain. Bisnis bis pun tak kalah sengit. Kalau tidak membunuh, ya bakal dibunuh. Namun saya yakin, selalu ada jalan dalam sengitnya persaingan,” tandasnya penuh optimis.


 


Bisa dinilai, periode saat ini adalah masa keemasan PO TSU. Setelah mengakuisi trayek dan armada tetangganya, PO Artha Jaya dan PO dari Tayu, Pati, Madu Kismo, dua tahun ini, PO ini rajin meremajakan armada lamanya dengan pembelian bis-bis tambahan, baik yang 0 kilometer maupun bis seken. Divisi pariwisatanya juga sedang berkibar. Banyak agen dan biro wisata menjadikan TSU sebagai mitra dalam menyediakan armada untuk paket wisata yang ditawarkan. Terlebih sekarang livery PO yang memiliki karyawan hampir mencapai 100 orang ini makin eyecatching dengan label “Pinky”, merayu mata calon pengguna jasa TSU, ikon moderen “kota dua budaya” ini.   


 


Kami pun dipersilahkan untuk menjelah isi pool dan melihat detail armada yang sedang “off tugas”. Kami tak melewatkan kesempatan ini dengan berfoto bersama, mencumbui armada dan memasang sticker BMC di armada TSU. Di hangar raksasa yang sedang tahap dibangun, kami menyaksikan sebuah armada model Celcius RS eks PO Efisiensi yang sedang menjalani proses air brushing, ganti stripping.


Foto Bersama Owner TSU


 


Di ruang belakang, kami menemukan chasis armada jadoel yang dipakai PO Artha Jaya dan beberapa bangkai komponen bis. Seolah melukiskan rangkaian waktu nan panjang dalam menemani kiprah PO TSU dalam kancah bisnis angkutan bis di bumi Jawa.


 


Saat kami berpamitan, ada perasaan bangga dan satu ucapan kata “salut” yang pantas dialamatkan kepada PO TSU. Meskipun PO dengan status medioker yang dimiliki orang kampung, tapi cara Om Tho menangani perusahaannya dengan penuh totalitas, pantang menyerah dan tak gentar menghadapi ketatnya persaingan dengan usaha sejenis, membuat kami  menyanjungkan apresiasi, bahwa Bapak Paryono layak ditokohkan menjadi pengusaha bis yang sukses mempertahankan kerajaan bisnisnya.


 


 


Lontong Tuyuhan, BMC meng-klik www.selalulapar.com.


 


Perlahan tapi pasti, hari merambat siang. Dan saat itu kami harus aspiratif terhadap tuntutan perut yang berangsur berteriak, “Lapar…!!!”. Perjalanan rombongan BMC diarahkan ke tempat wisata kuliner Kota Lasem, yaitu lontong tuyuhan. Wisata PO takkan lengkap tanpa wisata kuliner. Begitu dalih kami.


 


Di kedai nan sederhana yang terletak di kaki bukit Bugel, Lasem, di tengah areal persawahan dan kebun tebu, rombongan BMC mencicipi warisan masakan jaman Sunan Bonang saat menyebarkan ajaran Islam di daerah pantura timur Jawa Tengah.


 


 


Sedikit menginformasikan. Sebenarnya, lontong tuyuhan tidaklah jauh berbeda dengan opor ayam. Kekuatannya berada pada kuah santan yang lebih kental, gurih dan pedas hasil olah tumis cabai merah dan jahe, dengan sedikit tambahan kecap manis, serta perpaduan rasa rempah-rempah kemiri, bawang merah, bawang putih, lengkuas, kemiri, ketumbar, kencur, pala, dan kunyit.


 


 


 


Namun, dengan menikmatinya sambil berwisata alam, menghadirkan citarasa dan kelezatan yang lebih dengan opor ayam biasa.


 


“Maknyuss…” komentar Mas Ferdy, BMC dari Kota Pati, saat selesai melahapnya.


Selalu Lapar


 


Dalam suasana menyantap lontong tuyuhan yang kenikmatannya khas dan unik ini, kami semua berembug dan spontan lahir gagasan untuk berkunjung ke PO fenomenal “Subur Jaya”.


 

1 komentar:

  1. Saya salut dan mendukung kegiatan BMC Jateng Utara (Jatut) yang melakukan kunjungan ke pool PO. Tri Sumber Urip di Kota Lasem Jawa Tengah. Dan lebih salut lagi dengan usaha dan kerja keras pemilik PO. Tri Sumber Urip, Pak Paryono yang tidak pernah menyerah dan gentar dalam mengarungi bisnis angkutan penumpang bis di Indonesia umumnya dan pulau jawa khususnya.

    Saya menyarankan kepada BMC Jateng Utara dan kepada manajemen PO. Tri Sumber Urip kalo bisa bikin buku tentang Manajemen Bisnis Transportasi bus, karena referensi buku manajemen bus di Indonesia masih kurang. Ini bisa menjadi sumbangan buat generasi muda yang akan datang.

    Sekali lagi saya ucapkan selamat dan sukses.

    Terima Kasih

    BalasHapus